KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI DENGAN KURANG ENERGY KRONIK PADA IBU HAMIL
Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik Ibu Hamil.
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study.
Hasil penelitian, di dapat bahwa pendapatan keluarga ≤ Rp 845.000 dengan risiko KEK pada ibu hamil yaitu 9%, tidak risiko KEK yaitu 28%. Pendapatan keluarga > Rp 845.000 dengan risiko KEK pada ibu hamil yaitu 11%, tidak risiko KEK yaitu 52%. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan statistik uji Chi- Square (x2) pada tingkat kemaknaan 95% (α=0,05), ternyata pendapatan keluarga tidak mempunyai hubungan dengan risiko KEK pada ibu hamil dimana nilai x2 0,331 dengan nilai p>0,05 (p=0,565).
Status gizi ibu hamil pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Untuk kesehatan ibu selama kehamilan maupun pertumbuhan dan aktifitas diferensiasi janin, maka ibu dalam keadaan hamil harus cukup mendapat makanan bagi dirinya sendiri maupun bagi janinnya (Paath dkk, 2001). Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, dan pertumbuhan komposisi dan metabolisme tubuh ibu, sehingga kekurangan zat gizi tertentu saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurnah (Lubis, 2003). Masa hamil adalah masa dimana seorang wanita memerlukan berbagai zat gizi yang jauh lebih banyak dari pada yang diperlukan dalam keadaan biasa (Moehji, 2003).
Angka kematian ibu dan bayi serta bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang tinggi, pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami (Kurang Energi Kronik) KEK cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada risiko kematian yang lebih besar dibanding dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan berat badan yang normal (Saimin, 2008).
Prevalensi risiko KEK pada Wanita Usia Subur (WUS) di Indonesia sebesar 19,1%. Terdapat keragaman prevalensi risiko KEK menurut Propinsi, diantaranya yang termasuk kategori berat ditemukan di NTT (40,8%), kategori sedang di lima Propinsi yaitu NTB (26,7%), Papua ( 25,7%), Bangka Belitung (22,4%), Jawa Tengah (22,2%), dan Jawa Timur ( 2 1,9%). Prevalensi risiko KEK pada WUS di kawasan Timur Indonesia adalah tertinggi dibandinngkan Sumatra, Jawa, dan Bali. Berdasarkan daerah desa dan kota menunjukkan prevalensi risiko KEK pada WUS di pedesaan (21,1%) lebih tinggi daripada di perkotaan (17,3%) sedangkan menurut kategori status ekonomi menggunakan garis kemiskinan diketahui
prevalensi risiko KEK 23,1% pada WUS yang miskin dan 17,3% pada WUS yang tidak miskin (Harahap, 2007).
Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil dengan KEK akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku. Seoarang ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg perhari, sedangkan kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg perhari (Lubis, 2003).
Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan yang merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera. Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan yang optimal antara lain dengan melihat unsur kualitas hidup serta unsur-unsur kematian yang mempengaruhinya, yaitu kesakitan dan status gizi. Kurang gizi berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian (Hermawan, 2003). Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, keterediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik (Anonim, 2008). Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan banyak keluarga tidak lagi mampu memperoleh makanan yang layak baik karena harga yang melambung tinggi maupun karena jumlah pendapatan yang menurun. Sebagian besar populasi yang kurang gizi selama krisis ekonomi disebabkan oleh
ketidakamanan pangan pada skala rumah tangga terutama pada masyarakat miskin (Arisman, 2004 a).
Pendidikan merupakan salah satu ukuran yang digunakan dalam status sosial ekonomi. Pada perempuan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan ibu (Timmreck, 2005). Pada tingkat pendidikan yang relatif tinggi, pekerja perempuan lebih mampu memiliki akses terhadap pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik karena proses seleksi yang relatif lebih terbuka (Sianturi, 2002). Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan akan membaik pula (Suhardjo dkk, 2002). Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang-orang tak mampu membeli bahan pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Rendahnya pendapatan mungkin disebabkan karena tidak adanya pekerjaan dalam hal ini pengangguran karena susahnya memperoleh lapangan pekerjaan yang tetap sesuai dengan yang diinginkan (Anonim, 2002).
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam kondisi sosial ekonomi yang baik banyak kegiatan rutin bagi seorang ibu rumah tangga di lakukan oleh pembantu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi ibu rumah tangga yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang rendah, karena dengan jarang bahkan tidak adanya kegiatan yang dilakukan kesehariannya dan hanya mengharapkan dari suami sebagai kepala keluarga sehingga mengakibatkan tidak adanya hal rutin yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga. Para peneliti juga menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai pekerja, sekaligus sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, umumnya memiliki kesehatan yang lebih baik. (Surasmo, 2002).
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota jumlah ibu hamil yaitu 9670 jiwa. Puskesmas merupakan salah satu Puskesmas di Kota dengan jumlah wilayah kerja sebanyak 5 kelurahan. Jumlah ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas sebanyak 634 ibu hamil yaitu di Kelurahan Singkil II sebanyak 111 orang, Kelurahan sebanyak 157 orang, Kelurahan sebanyak 150 orang, Kelurahan sebanyak 107 orang dan Kelurahan sebanyak 109 orang.
Untuk mengurangi jumlah ibu hamil dengan risiko KEK, maka penulis tertarik melakukan panelitian tentang “Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko KEK pada Ibu Hamil di Kelurahan”.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Kelurahan?
1.3. Hipotesis
1. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
2. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
3. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik Ibu Hamil di Kelurahan.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
2. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
3. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dapat dijadikan data dasar dan sumber informasi untuk dinas kesehatan dan instansi-instansi terkait lainnya.
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis mengenai hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kurang energi kronik pada ibu hamil.
3. Sebagai bahan masukan dan sumber informasi bagi para pembaca.silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI DENGAN KURANG ENERGY KRONIK PADA IBU HAMIL
HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI DENGAN KURANG ENERGY KRONIK PADA IBU HAMIL
ABSTRAK
Angka kematian ibu dan bayi serta bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang tinggi, pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami (Kurang Energi Kronik) KEK cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada risiko kematian yang lebih besar dibanding dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan berat badan yang normal. Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan.Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik Ibu Hamil.
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study.
Hasil penelitian, di dapat bahwa pendapatan keluarga ≤ Rp 845.000 dengan risiko KEK pada ibu hamil yaitu 9%, tidak risiko KEK yaitu 28%. Pendapatan keluarga > Rp 845.000 dengan risiko KEK pada ibu hamil yaitu 11%, tidak risiko KEK yaitu 52%. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan statistik uji Chi- Square (x2) pada tingkat kemaknaan 95% (α=0,05), ternyata pendapatan keluarga tidak mempunyai hubungan dengan risiko KEK pada ibu hamil dimana nilai x2 0,331 dengan nilai p>0,05 (p=0,565).
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangStatus gizi ibu hamil pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Untuk kesehatan ibu selama kehamilan maupun pertumbuhan dan aktifitas diferensiasi janin, maka ibu dalam keadaan hamil harus cukup mendapat makanan bagi dirinya sendiri maupun bagi janinnya (Paath dkk, 2001). Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, dan pertumbuhan komposisi dan metabolisme tubuh ibu, sehingga kekurangan zat gizi tertentu saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurnah (Lubis, 2003). Masa hamil adalah masa dimana seorang wanita memerlukan berbagai zat gizi yang jauh lebih banyak dari pada yang diperlukan dalam keadaan biasa (Moehji, 2003).
Angka kematian ibu dan bayi serta bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang tinggi, pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami (Kurang Energi Kronik) KEK cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada risiko kematian yang lebih besar dibanding dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan berat badan yang normal (Saimin, 2008).
Prevalensi risiko KEK pada Wanita Usia Subur (WUS) di Indonesia sebesar 19,1%. Terdapat keragaman prevalensi risiko KEK menurut Propinsi, diantaranya yang termasuk kategori berat ditemukan di NTT (40,8%), kategori sedang di lima Propinsi yaitu NTB (26,7%), Papua ( 25,7%), Bangka Belitung (22,4%), Jawa Tengah (22,2%), dan Jawa Timur ( 2 1,9%). Prevalensi risiko KEK pada WUS di kawasan Timur Indonesia adalah tertinggi dibandinngkan Sumatra, Jawa, dan Bali. Berdasarkan daerah desa dan kota menunjukkan prevalensi risiko KEK pada WUS di pedesaan (21,1%) lebih tinggi daripada di perkotaan (17,3%) sedangkan menurut kategori status ekonomi menggunakan garis kemiskinan diketahui
prevalensi risiko KEK 23,1% pada WUS yang miskin dan 17,3% pada WUS yang tidak miskin (Harahap, 2007).
Ibu hamil yang menderita KEK dan Anemia mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru, sehingga dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya. Selain itu juga ibu hamil dengan KEK akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian bayi karena rentan terhadap infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar, serta masalah perilaku. Seoarang ibu hamil juga memerlukan tambahan zat gizi besi rata-rata 20 mg perhari, sedangkan kebutuhan sebelum hamil atau pada kondisi normal rata-rata 26 mg perhari (Lubis, 2003).
Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan yang merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera. Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan yang optimal antara lain dengan melihat unsur kualitas hidup serta unsur-unsur kematian yang mempengaruhinya, yaitu kesakitan dan status gizi. Kurang gizi berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian (Hermawan, 2003). Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, keterediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik (Anonim, 2008). Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan banyak keluarga tidak lagi mampu memperoleh makanan yang layak baik karena harga yang melambung tinggi maupun karena jumlah pendapatan yang menurun. Sebagian besar populasi yang kurang gizi selama krisis ekonomi disebabkan oleh
ketidakamanan pangan pada skala rumah tangga terutama pada masyarakat miskin (Arisman, 2004 a).
Pendidikan merupakan salah satu ukuran yang digunakan dalam status sosial ekonomi. Pada perempuan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan ibu (Timmreck, 2005). Pada tingkat pendidikan yang relatif tinggi, pekerja perempuan lebih mampu memiliki akses terhadap pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik karena proses seleksi yang relatif lebih terbuka (Sianturi, 2002). Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan akan membaik pula (Suhardjo dkk, 2002). Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang-orang tak mampu membeli bahan pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Rendahnya pendapatan mungkin disebabkan karena tidak adanya pekerjaan dalam hal ini pengangguran karena susahnya memperoleh lapangan pekerjaan yang tetap sesuai dengan yang diinginkan (Anonim, 2002).
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam kondisi sosial ekonomi yang baik banyak kegiatan rutin bagi seorang ibu rumah tangga di lakukan oleh pembantu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi ibu rumah tangga yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang rendah, karena dengan jarang bahkan tidak adanya kegiatan yang dilakukan kesehariannya dan hanya mengharapkan dari suami sebagai kepala keluarga sehingga mengakibatkan tidak adanya hal rutin yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga. Para peneliti juga menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai pekerja, sekaligus sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, umumnya memiliki kesehatan yang lebih baik. (Surasmo, 2002).
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota jumlah ibu hamil yaitu 9670 jiwa. Puskesmas merupakan salah satu Puskesmas di Kota dengan jumlah wilayah kerja sebanyak 5 kelurahan. Jumlah ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas sebanyak 634 ibu hamil yaitu di Kelurahan Singkil II sebanyak 111 orang, Kelurahan sebanyak 157 orang, Kelurahan sebanyak 150 orang, Kelurahan sebanyak 107 orang dan Kelurahan sebanyak 109 orang.
Untuk mengurangi jumlah ibu hamil dengan risiko KEK, maka penulis tertarik melakukan panelitian tentang “Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko KEK pada Ibu Hamil di Kelurahan”.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Kelurahan?
1.3. Hipotesis
1. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
2. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
3. H0 : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada ibu hamil di kelurahan.
H1 : Ada hubungan pendidikan ibu dengan risiko kurang energi kronik pada
ibu hamil di kelurahan.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Risiko Kurang Energi Kronik Ibu Hamil di Kelurahan.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
2. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
3. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan risiko KEK pada ibu hamil di Kelurahan.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dapat dijadikan data dasar dan sumber informasi untuk dinas kesehatan dan instansi-instansi terkait lainnya.
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis mengenai hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kurang energi kronik pada ibu hamil.
3. Sebagai bahan masukan dan sumber informasi bagi para pembaca.
HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI DENGAN KURANG ENERGY KRONIK PADA IBU HAMIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar