Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan Status Gizi Anak Balita di Desa

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA

ABSTRAK
Latar Belakang : Gizi merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas sumber daya manusia. Balita merupakan kelompok rawan gizi. Diusia ini pertumbuhan otak masih berlangsung cepat. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi. Prevalensi gizi kurang di Kecamatan sejumlah 19,33% dari 150 balita. Desa Ngempak memiliki prevalensi gizi kurang sebesar 26,67%. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi balita dengan indikator BB/U di Desa Kecamatan Kabupaten. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian Analitik Korelasional, karena mencari hubungan dua variabel yang kemudian dicari koefisien korelasinya, dengan desain cross-sectional. Sampel adalah semua anak balita yang dalam keadaan sehat atau tidak menderita penyakit dalam 1 bulan terakhir dan berada di wilayah Desa, Kecamatan, Kabupaten (Total Sampling) yang melakukan kunjungan posyandu pada tanggal 5-9 Juli 2009. Teknik pengambilan sampel adalah teknik Accidental Sampling. Sehingga didapatkan 74 sampel anak balita dan 74 sampel ibu anak balita. Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel ibu balita yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 44 orang (59,46%), sedang sebanyak 21 orang (28,38%), dan rendah sebanyak 9 orang (12,16%). Hampir seluruh sampel dari anak balita memiliki status gizi baik yakni 63 balita (85,14%), kurang 8 balita (10,81%), lebih 2 balita (2,70%), dan buruk hanya 1 balita (1,35%). Berdasar uji statistik korelasi Kendall Tau menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang gizi dengan status gizi anak balita yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,009 (p<0,05).
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang gizi dengan status gizi anak balita.
Kata Kunci : Pengetahuan Gizi, Status Gizi, Anak Balita

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga yang mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat yang optimal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rencana aksi pangan dan gizi Nasional 2004 – 2010 adalah mengurangi gizi kurang pada balita. Status gizi balita merupakan gambaran dari status gizi masyarakat. Rendahnya status gizi balita akan menjadi masalah pada sumber daya manusia di masa mendatang. Salah satu dampak gizi buruk pada balita adalah menurunnya tingkat kecerdasan/IQ.
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi selain ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia. Pada masa ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial (Depkes, 2000). Anak usia bawah 5 tahun (Balita) mempunyai risiko yang tinggi dan harus mendapatkan perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko yang berlaku terhadap anak tersebut maka akan semakin besar kemungkinan anak menderita KEP (Kurang Energi Protein) (Moehji, 2003).
Keadaan gizi buruk biasa disebabkan karena ketidaktahuan ibu mengenai tatacara pemberian ASI dan MP ASI yang baik kepada anaknya sehingga asupan gizi pada anak kurang. Namun, kejadian gizi buruk pada anak balita ini dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji, 1992). Karena dengan memiliki pengetahuan yang cukup khususnya tentang kesehatan, seseorang dapat mengetahui berbagai macam gangguan kesehatan yang mungkin akan timbul sehingga dapat dicari pemecahannya (Notoatmodjo, 1997). Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan salah satu penyebab terj adinya gangguan gizi (Suhardj o, 1992).
Hasil PSG (Pemantauan Status Gizi) Propinsi Jawa Tengah tahun 2006, dari 373,120 balita yang diukur terdapat balita KEP 50.861 (13,63%). (Din Kes Prop. Jateng tahun 2006). Sedangkan hasil PSG dengan indeks BB/U tahun 2007 Kabupaten Karanganyar dari 3630 balita yang diukur terdapat balita KEP 605 (16,67%), sedang untuk Kecamatan dari 150 balita yang diukur terdapat 29 balita KEP (19,33%) dan untuk Desa dari 30 balita yang diukur terdapat 8 balita KEP (26,67%) (Laporan Hasil PSG Puskesmas).
Target total KEP Nasional tahun 2007 adalah 15 %, Demikian pula dengan target KEP Provinsi Jawa Tengah (Laporan Hasil Rencana Strategi Program Gizi Jawa Tengah Tahun 2004–2010). Kasus KEP yang terjadi di Desa berada jauh diatas target yang diharapkan, hal ini disebabkan kebanyakan balita memiliki orang tua yang bekerja sedang pengasuh balita tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gizi balita itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang hubungan pengetahuan ibu tentang gizi terhadap status gizi anak balita dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U) di Desa Kecamatan Kabupaten.

B. Perumusan Masalah
1.    Status gizi balita merupakan gambaran dari status gizi masyarakat. Rendahnya status gizi balita akan menjadi masalah pada sumber daya manusia di masa mendatang.
2.    Hasil PSG dengan indeks BB/U tahun 2007 Kabupaten Karanganyar dari 3630 balita yang diukur terdapat balita KEP 605 (16,67%), sedang untuk Kecamatan dari 150 balita yang diukur terdapat 29 balita KEP (19,33%) dan untuk Desa dari 30 balita yang diukur terdapat 8 balita KEP (26,67%).
3.    Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan salah satu penyebab terj adinya gangguan gizi.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas masalah yang dapat dirumuskan adalah : ”Adakah hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita.
2. Tujuan Khusus
a.    Mendeskripsikan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi.
b.    Mendeskripsikan status gizi anak balita.
c.    Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita.
D. Manfaat Penilitian
3. Bagi penulis, mengetahui permasalahan gizi balita sehingga bisa memberikan informasi pada ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI sesuai umur.
4. Bagi ibu, memperoleh gambaran dan informasi mengenai makanan sehat bagi anak balitanya.
5. Bagi petugas kesehatan, sebagai bahan masukan untuk pelaksanaan KIE masalah gizi balita.
6. Bagi pemerintah daerah setempat, sebagai bahan masukan untuk menentukan kebijakan dalam penanganan masalah gizi balita.
7. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk menambah bahan pustaka serta meningkatkan pengetahuan dan wawasan mahasiswa serta pembaca pada umumnya tentang gizi balita.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan Status Gizi Anak Balita di Desa

Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa di SDN

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SDN

ABSTRAK
PROGRAM DIPLOMA III GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN
5 Bab, 33 Halaman, 10 Tabel, 6 Lampiran
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yaitu SDM yang sehat, cerdas dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Penelitian ini termasuk penelitian survei observasional dengan pendekatan crossectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 siswa kelas 5 di Sekolah Dasar Negeri 2, Kecamatan, Kabupaten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan prestasi belajar siswa di Sekolah Dasar Negeri 2, Kecamatan, Kabupaten. Pengumpulan status gizi diperoleh dari data antropometri pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak yang mempunyai tingkat ketelitian 0,5 kg dan pengukuran tinggi badan dengan microtoise yang mempunyai ketelitian 0,1 cm sedangkan prestasi belajar diperoleh dengan mengambil nilai rata-rata siswa semester I dan II. Uji statistik yang digunakan yaitu uji korelasi Pearson Product Moment.
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar siswa dengan p value 0,043. Status gizi yang normal sebanyak 86,7 % dan tidak normal 13,3 % sedangkan prestasi belajar yang baik sebanyak 26,7 % dan yang tidak baik sebanyak 73,3%.
Sebagian besar siswa mempunyai status gizi normal menurut Depkes RI(2005) dengan menggunakan IMT menurut umur sehingga perlu untuk dipertahankan. Bagi pihak sekolah harus tetap memperhatikan status gizi siswa melalui sarana UKS dalam upaya mempertahankan status gizi siswa. Namun prestasi belajar siswa masih sangat perlu ditingkatkan selaras dengan siswa yang sebagian besar mempunyai status gizi normal.
Kata Kunci    : Status Gizi, Prestasi Belajar
Daftar Pustaka    : 21 ( 1996 – 2008)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Betapapun kayanya sumber alam yang tersedia bagi suatu bangsa tanpa adanya sumber daya manusia yang tangguh maka sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri (Hadi, 2005).
Salah satu indikator keberhasilan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu bangsa dalam membangun sumberdaya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index. Berdasarkan IPM maka pembangunan sumber daya manusia Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2003, IPM Indonesia menempati urutan ke 112 dari 174 negara (UNDP 2003 dalam Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, 2005). Sedangkan pada tahun 2004, IPM Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP 2004, dalam Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, 2005), yang merupakan peringkat lebih rendah dibandingkan peringkat IPM negara-negara tetangga. Rendahnya IPM ini dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia (Hadi, 2005).
Anak sekolah merupakan aset negara yang sangat penting sebagai sumber daya manusia bagi keberhasilan pembangunan bangsa. Anak sekolah adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Biasanya pertumbuhan putri lebih cepat daripada putra. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan (Moehji, 2003).
Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh kelompok swasta. Meskipun demikian masih terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang tidak memuaskan,misal berat badan yang kurang,anemia defisiensi Fe,defisiensi vitamin C dan daerah-daerah tertentu juga defisiensi Iodium (Sediaoetama, 1996).
Krisis ekonomi bangsa telah mengakibatkan masalah gizi yang menimbulkan lost generation yaitu suatu generasi dengan jutaan anak kekurangan gizi sehingga tingkat kecerdasan (IQ) lebih rendah. Anak yang mengalami kurang energi protein (KEP) mempunyai mempunyai IQ lebih rendah 10-13 skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Anak yang mengalami anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang tidak anemia. Anak yang mengalami gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang mengalami GAKI (Karsin, 2004).
Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata- rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF 1998 dalam Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, 2005). Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendek dari tahun ke tahun maka prevalensi anak pendek ini praktis tidak mengalami perubahan oleh karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dan 39,8% pada tahun 1994 menjadi 36,1% pada tahun 1999 (Depkes, 2004).
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal tercapai bila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Tingkat gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto,2002).
Faktor yang secara langsung mempegaruhi status gizi adalah asupan makan dan penyakit infeksi. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kedua faktor tersebut misalnya faktor ekonomi, keluarga produktivitas dan kondisi perumahan (Suhardjo, !996).
Pengaruh makanan terhadap perkembangan otak, apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat terjadi ketidakmampuan berfungsi normal. Pada keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Anwar, 2008). Dari hasil penelitian prestasi belajar siswa di salah satu sekolah dasar di kecamatan kabupaten yang dilakukan pada tahun 2005, ternyata masih ada prestasi belajar siswa di bawah nilai rata-rata yaitu 7,04 sebesar 44,8% (Sukadi, 2005) untuk itu penulis melakukan penelitian tentang hubungan status gizi terhadap prestasi belajar.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan status gizi terhadap prestasi siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Kecamatan Kabupaten.

C. Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan status gizi terhadap prestasi siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Kecamatan  Kabupaten.
2.    Tujuan Khusus
a)    Mengukur status gizi siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Kecamatan Kabupaten.
b)    Mengukur tingkat prestasi belajar siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Kecamatan Kabupaten.
c)    Menganalisa hubungan status gizi terhadap prestasi siswa di Sekolah Dasar Negeri 2  Kecamatan Kabupaten

E. Manfaat
1.    Bagi Siswa
Memberikan informasi kepada siswa tentang hubungan status gizi terhadap prestasi belajar sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat dengan cara meningkatkan status gizi yang baik.
2.    Bagi Sekolah Dasar
Memberikan masukan kepada sekolah agar memasukkan informasi gizi melalui mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
3.    Bagi Wali Murid dan Guru
Memberikan informasi tentang status gizi yang baik dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sehingga wali murid dan guru senantiasa menjaga status gizi siswa agar tetap baik.
4.    Bagi Penulis
Sebagai pengalaman dan merealisasikan teori yang telah didapat
di bangku kuliah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SDN
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa di SDN

Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Klien Hipertensi dengan Penatalaksanaan Terapi Diet di Wilayah Kerja Puskesmas

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN KLIEN HIPERTENSI DENGAN PENATALAKSANAAN TERAPI DIET DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS

ABSTRAK
Hipertensi disebut juga "The Sill ent Disease" karena tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat dilihat dari luar oleh karena itu salah satu cara mendeteksi adalah dengan memeriksakan diri secara teratur. Menurut WHO 59% dari penderita hipertensi yang terdeteksi hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang bisa diobati dengan baik. Di Sumatra Barat Hipertensi masih menjadi penyebab terbanyak terjadai nya serangan jantung dan berbagai penyakit lain yang di timbulkannya di Puskesmas berdasarkan data yang diperoleh terdapat ± 640 orang penderita hipertensi dan penyakit ini masuk kedalam 5 besar penyakit terbanyak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat distribusi frekuensi penderita hipertensi berdasrkan tingkat pendidikan, dan pekerjaan dan untuk mengetahui Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan penderita Hipertensi dengan penatalaksanaan terapi diet diwilayah kerja Puskesmas kecamatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik. Penelitian ini dilakukan di puskesmas Nanggalo dilakukan pada tanggal 17 Mei s/d 5 Juni tahun dengan populasi 640 orang dan sampel dalam penelitian ini adalah klien Hipertensi yang datang ke puskesmas Kecamatan yakni 64 orang. Sebagian besar 84,4 % responden dikategorikan berpendidikan rendah dan sebagian besar 84.4 % responden tidak berkerja. Sebagian besar 79,7 % responden dikategorikan melakukan tindakan penatalaksanaan terapi diet hipertensi. Tidak terdapatnya hubungan bermakna antara pendidikan dengan tindakan penatalaksanaan terapi diet dan tidak terdapatnya hubungan bermakna anatara pekerjaan dengan tindakan penatalaksaaan terapi diet. Dari hasil penelitian yang didapatkan diharapkan kepada petugas kesehatan khususnya pada bagian Pokja Lansia Pokja Gizi dan khusus untuk Pokja Promosi Kesehatan diharapkan dapat menguatkan lagi dalam memberikan penyuluhan tentang Kesehatan khususnya tentang hipertensi dan perlunya usaha dari berbagai pihak yaitu petugas kesehatan dan peran serta masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri yang dapat seoptimal mungkin.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan semakin meningkatnya pendapatan seseorang biasanya akan merubah gaya hidupnya menjadi kebarat-baratan. Pemandangan seperti ini banyak dijumpai di kota-kota seperti banyak dijumpai restoran cepat saji dan lain-lain yang dengan mudah menggeser pola makan masyarakat. Makanan yang disajikan direstoran umumnya memiliki kandungan tinggi lemak dan tinggi protein. Dan juga seseorang terlalu sering mengkonsumsi makanan tersebut dikhawatirkan lebih mudah terserang penyakit hipertensi dan penyakit lainnya (Purwati, Saliman, Rahayu, 2004).
Begitu pula dengan masyarakat di daerah pedalaman atau pegunungan yang rata-rata berpendidikan rendah dan bermata pencaharian sebagai petani mempunyai peluang menderita hipertensi karena mempunyai kebiasaan makan yang dominan berasa asin dan senang makanan yang bersantan kental kemudian tidak di iringi pula dengan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit hipertensi sehingga tidak menutup kemungkinan walaupun tinggal dikota ataupun di Pedesaan potensial menderita hipertensi hampir sama (Purwati, Saliman, Rahayu, 2004).

Stress pada pekerjaan cendrung menyebabkan terjadinya hipertensi berat. Pria mengalamai pekerjaan penuh tekanan , misalnya penyandang jabatan menuntut besar tanpa disertai wewenang pengambilan keputusan , akan mengalami tekanan darah lebih tinggi selama jam kerjanya, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang jabatanya lebih ‘longgar’ tanggung jawabnya . Stress yang terlalu besar dapat memicu terjadinya berbagai penyakit misalnya sakit kepala, sulit tidur ,hipertensi , penyakit jantung, stroke. Dan dengan kesibukan pada pekerjaan secara tidak langsung mempengaruhi pengaturan terhadap pola makan dan gaya hidup seseorang (Muhammadun AS 2010)
Di negara maju seperti Amerika Serikat diperkirakan 20% mengalami tekanan darah tinggi, dari 57 Juta penduduk Amerika sebanyak 90% kasus Hipertensi penyebabnya tidak diketahui secara pasti (Suyono,2001)
Berdasarkan data Lancet (2008) jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus meningkat . Di India misalnya jumlah penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 . Di bagian lain di Asia tercatat 38,4 juta penderita hipertensi dan di Indonesia mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak terdeteksi. Menurut WHO 59% dari penderita hipertensi yang terdeteksi hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang bisa diobati dengan baik.
Sementara itu Guru Basar Teknologi pangan IPB I Made Astaman menjelasakan bahwa hasil survei Kesehatan Rumah Tangga menunjukkan rata- rata penyakit hipertensi di indonesia cukup tinggi , yaitu 83 per 1.000 anggota rumah tangga . Pada umunya perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan pria. Umumnya di daerah luar Jawa dan Bali lebih besar dibandingkan di kedua pulau itu. Hal ini terkait erat dengan pola makan , terutama konsumsi garam , yang umumnya lebih tinggi di luar Pulau Jawa dan Bali. (Muhammadun AS 2010)
Menurut Dr Hisyam Attamini (2008) , ahli jantung dan pembuluh darah RSU Keraton, Pekalongan menjelaskan bahwa 75% penderita hipertensi akan berujung pada penyakit jantung dan baru disadari pada lanjut usia, ketika jantung sudah lelah berkerja untuk memompa darah dengan tekanan yang berat. Dan pengobatan penyakit hipertensi yang mengarah pada penyakit jantung tergantung pada penyebab dan obat yang membantu kerja jantung.Serta dibarengi dengan pengaturan pola dan jenis makanan yang di konsumsi, olah raga teratur dan periksa tekanan darah dan kolesterol secara teratur. (Muhammadun AS 2010)
Hipertensi merupakan penyakit yang sangat rawan bagi penderitanya. Ia harus dikontrol dengan ketat . Lengah sedikit maut mengintai. Setidaknya, hipertensi bisa menyebabkan Stroke ringan (Lumpuh) atau bahkan stroke berat (koma dan kematian). Gawatnya lagi hipertensi ternyata juga mengusik kondisi kejiwaaan penderitanya. Serta bisa menyebabkan penderitanya dililit Demensia atau lupa ingatan. (Muhammadun AS 2010)
Dr. Hananto (2008) menjelasakan hipertensi yang tidak terkontol dapat menimbulkan berbagai komplikasi salah satunya dapat menyebabkan rusaknya pembuluh darah yang mengalirkan darah ke alat kelamin pria sehingga bisa terjadi impotensi seumur hidup pada penderitanya. (Muhammadun AS 2010)
Dengan demikian masyarakat harus mengetahui apa yang disebut hipertensi atau tekanan darah tinggi tersebut. Hipertensi atau tekanan darah merupakan tekanan darah yang melebihi normal atau mempunyai tekanan sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmhg (Rokhaeni H, 2002). Hipertensi disebut juga "The Sill ent Disease" karena tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat dilihat dari luar oleh karena itu salah satu cara mendeteksi adalah dengan memeriksakan diri secara teratur (Purwati, Saliman, Rahayu, 2004).
Berdasarkan fenomena diatas upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi melalui pola makan sangat penting seperti dengan mengurangi konsumsi lemak, mengurangi garam mengurangi kalori bagi penderita yang obesitas, dan makan makanan yang tinggi serat. Seperti dengan diet rendah garam menurunkan tekanan darah yang bila seseorang mengkonsumsi garam yang berlebihan selama bertahun-tahun dapat meningkat tekanan darah karena meningkatkan kadar natrium dalam sel-sel otot halus pada dinding akteri. Kadar natrium yang tinggi memudahkan masuknya kalsium dalam sel dan hal ini menyebabkan kontraksi pembuluh darah menyempit sehingga tekanan meningkat dan timbul hipertensi. (Beevers.D.G. 2002).
Berdasarkan hasil laporan Tahunan tahun hipertensi masih menjadi atau masuk kedalam 10 penyakit terbanyak di wilayah kerja puskesmas berdasarakan studi yang dilakukan saat melaksanakan praktek komunitas di puskesmas diketahui dari 10 klien hipertensi yang yang datang bekunjung dan dilakukan pemerikasaan tekanan darah lebih dari 50 % klien tersebut tekanan darahnya mengalami kenaikan . dan belum diketahui gagaimana pola makannya , sehingga perlu dikaji pola makan yang selama ini telah dilakukan oleh klien. Serta hal yang mempengaruhi pola makan tersebut.
Beradasarkan survei awal diatas , peneliti sangat tertarik melakukan penelitian tentang hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan klien Hipertensi dengan penatalaksanaan terapi diet di wilayah kerja Puskesmas.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat diambil suatu rumusan mengenai apakah ada hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan klien Hipertensi dengan penatalaksanaan terapi diet diwilayah kerja Puskesmas Kecamatan.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan antara Pendidikan dan Pekerjaan klien Hipertensi dengan penatalaksanaan terapi diet diwilayah kerja Puskesmas kecamatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya gambaran klien penyakit hipertensi berdasarkan tingkat Pendidikan klien
1.3.2.2 Untuk mengetahui distrubusi frekuensi klien hipertensi berdasarkan Pekerjaan klien

1.3.2.3 Untuk mengetahui distrubusi frekuensi penatalaksanaan diet pada klien hipertensi
1.3.2.4 Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan klilen dengan penatalaksanaan terapi diet hipertensi
1.3.2.5 Untuk mengetahui hubungan pekerjaan klien dengan penatalaksanaan terapi diet hipertensi

1.4 Manfaat Penelitian
    1.4.1    Penulis dapat memperoleh pengalaman nyata dalam
melaksanakan aplikasi riset keperawatan tentang hubungan pendidikan dan pekerjaan klien hipertensi dengan penatalaksanaan terapi diet.
    1.4.2    Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang
penyakit Hipertensi.
    1.4.3    Data dan hasil yang diperoleh dapat menjadi acuan dasar
untuk peneliti menyangkut hipertensi selanjutnya.
    1.4.4    Masyarakat dapat mengetahui pengelolaan secara mandiri
melalui pola makan yang benar penderita hipertensi dapat menurunkan tekanan darah dan memelihara kestabilan tekanan darah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarakan latar belakang maka penelitian akan dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas, terhadap para klien hipertensi yang datang berkunjung ke Puskesmas. Adapun variabel yang akan diteliti yakni Pendidikan dan pekerjaan dengan penatalaksanaan terapi diet hipertensi.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN KLIEN HIPERTENSI DENGAN PENATALAKSANAAN TERAPI DIET DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Klien Hipertensi dengan Penatalaksanaan Terapi Diet di Wilayah Kerja Puskesmas

Hubungan Motivasi Ekstrinsik Dalam Pembelajaran Laboratorium Dengan Kemampuan Dalam Asuhan Persalinan Normal Mahasiswa

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN MOTIVASI EKSTRINSIK DALAM PEMBELAJARAN LABORATORIUM DENGAN KEMAMPUAN DALAM ASUHAN PERSALINAN NORMAL MAHASISWA

Abstrak
Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa karena pendidikan adalah proses penyampaian kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya, yang didalamnya termasuk keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai, serta perilaku tertentu. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui Hubungan Motivasi Ekstrinsik Mahasiswa Dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Dengan Kemampuan Dalam Asuhan Persalinan Normal Mahasiswa Semester V Akademi Kebidanan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 50 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling. Penelitian ini dilakukan di Akademi Kebidanan. Instrumen dalam penelitian ini adalah angket dengan 20 pertanyaan tentang motivasi ekstrinsik yang terdiri atas kualitas dosen, bobot materi kuliah, kondisi dan suasana pemebelajaraan, fasilitas. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan motivasi mahasiswa dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Dengan Kemampuan Mahasiswa Dalam Asuhan Persalinan Di Akademi Kebidanan berdasakan hasil analisa data diperoleh Dari tabel diatas menunjukkan bahwa Motivasi ekstrinsik dalam pembelajaran laboratorium paling banyak dalam Motivasi Sedang yaitu 33 orang (64,0%), dan paling sedikit dalam Motivasi Rendah yaitu 17 orang (34,0%). Dari tabel diatas diperoleh Kemampuan mahasiswa Akbid Semester V dalam pembelajaran APN paling banyak dalam kategori Baik yaitu 29 orang (58.0%), dan paling sedikit dalam kategori Sangat Baik 21 orang (42%). Motivasi ekstrinsik diduga berkaitan erat dengan kemampuan dalam APN. Hasil penelitian dilaporkan bahwa mahasiswa yang mempunyai motivasi sedang mempunyai kemampuan cukup sebesar 17(51,5%), sedangkan mahasiswa yang mempunyai motivasi sedang, mempunyai kemampuan yaitu sebesar 12(76,6%). Hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi nilai kemampuan dalam APN pada motivasi sedang dibandingkan dengan motivasi tinggi (p= 0,32 1). Adapun besarnya dapat dilihat dari nilai OR yang besarnya 0,44, artinya mahasiswa yang mempunyai motivasi sedang mempunyai peluang 0,44 dibandingkan motivasi tinggi.
Kata kunci : Motivasi ekstrinsik, pembelajaran praktek laboratorium, kemampuan Asuhan Persalinan Normal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa karena pendidikan adalah proses penyampaian kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya, yang didalamnya termasuk keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai, serta perilaku tertentu. (Syaiful, 2005)
Rendahnya motivasi belajar kerap dituding sebagai biang keladi dari rendahnya kualitas lulusan asebuah perguruan tinggi. Pada kebanyakan perguruan tinggi swasta, faktor ini bahkan menimbulkan persoalan dilematis karena dengan rendahnya motivasi belajar, sebenarnya bukan tidak mungkin mahasiswa dapat menguasai pembelajaran dengan baik, namun harus dilakukan demi kelangsungan perguruan tinggi tersebut.
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehinga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. (M.Sobri Sutikno, 2007)
Kebidanan adalah bagian integral dari sistem kesehatan dan berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut pendidikan, praktek dan kode etik bidan dimana dalam memberikan pelayanannya meyakini bahwa kehamilan dan persalinan adalah suatu proses fisiologi normal dan bukan merupakan penyakit, walaupun pada beberapa kasus mungkin berkomplikasi sejak awal karena kondisi tertentu atau komplikasi bisa timbul kemudian. Fungsi kebidanan adalah untuk memastikan kesejahteraan ibu dan janin / bayinya, bermitra dengan perempuan, menghormati martabat dan memberdayakan segala potensi yang ada padanya.(Pusdinakes, 2002)
Menurut Depkes (2008) Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 307/100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi peringkat pertama dalam kasus kematian ibu melahirkan, karena itu profesi bidan memiliki peranan penting untuk menekan angka kematian ibu tersebut. Bila perlu, dimana ada perempuan di sana ada bidan agar target penurunan AKI menjadi 125/100.000 dapat dicapai pada tahun.
Pembelajaran praktek laboratorium secara umum bertujuan agar mahasiswa memperoleh pengalaman belajar dalam hal menerapkan teori yang ada, sesuai dengan materi pembelajaran yang di berikan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan walaupun mahasiswa belum secara utuh menerapkannya pada dunia kerja nyata. Dalam hal ini mahasiwa mampu menerapkannya sebagai bahan pelatihan dan persiapan untuk penerapan pada praktek klinik nantinya, juga membangkitkan minat dan rasa percya diri dalam melakukan praktek.
Dalam proses pembelajaran yang dilakukan pemberian tugas mandiri berupa pembuatan makalah dan latihan serta tugas praktek seperti pembuatan aplikasi dapat menumbuhkan kemandirian mahasiswa dalam berpikir, berkreasi dan bertindak. Dalam hal pembelajaran juga didukung dengan proses pembelajaran di laboratorium yang ditempuh dengan cara meningkatkan kualitas tenaga teknisi dan laboran dalam perawatan dan operasional alat-alat yang ada. (Sutisna, 2006)
Di Akademi Kebidanan nilai mahasiswa dalam pembelajaran praktik laboratorium asuhan kebidanan persalinan lebih tinggi di bandingkan dengan pembelajaran tanpa praktik (teori) dilihat dari nilai mahasiswa angkatan III TA. 2004/2007 Semester V. Mayoritas mahasiswa mendapat nilai B sebanyak 74,2% sedangkan untuk pembelajaran teori mayoritas mahasiwa mendapat nilai C sebanyak 65%, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa lebih mudah mengerti dan menerapkan pembelajaran dengan metode praktik laboratorium.
Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan peneliti di Akademi Kebidanan pada bulan september pembelajaran teori yang ada pada mahasiswa semester V tentang Motivasi Pembelajaran Praktek Laboratorium 25 orang diantaranya mengaku merasa lebih mengerti pembelajaran dengan praktik dibandingkan dengan pembelajaran teori, selain itu mereka juga mengatakan bahwa pembelajaran asuhan kebidanan persalinan dengan teori cukup membosankan.
Dapat dikatakan bahwa motivasi belajar mahasiswa merupakan faktor yang paling menentukan dalam menciptakan lulusan yang berkualitas. Sehingga, sejalan dengan tekad akademi kebidanan Imelda dapat menghasilkan bidan yang professional dan berkualitas, tekad itu kiranya dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana hubungan motivasi ekstrinsik mahasiswa dalam pembelajaran praktek laboratorium dengan kemampuan dalam Asuhan Persalinan Normal (APN) sehingga dapat diperoleh masukan untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkannya.

B.    Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Motivasi Ekstrinsik Mahasiswa Dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Dengan Kemampuan Mahasiswa Dalam Asuhan Persalinan Normal Di Akademi Kebidanan.

C.    Tujuan
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan motivasi mahasiswa dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Dengan Kemampuan Mahasiswa Dalam Asuhan Persalinan Di Akademi Kebidanan Imelda
2. Tujuan khusus
a.    Mengetahui Motivasi Ekstrinsik Mahasiswa Dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Oleh Mahasiswa Semester V Akademi Kebidanan.
b.    Mengetahui Kemampuan Mahasiswa Dalam Asuhan Persalinan Normal Pada Mahasiswa Semester V Akademi Kebidanan.
c.    Mengetahui Hubungan Motivasi Ekstrinsik Mahasiswa Dalam Pembelajaran Praktek Laboratorium Dengan Kemampuan Mahasiswa Dalam Asuhan Persalinan Di Akademi Kebidanan.

D. Manfaat penelitian
1.    Bagi Institusi
Dapat menjadi bahan acuan untuk peningkatan mutu pendidikan yang lebih baik sehingga menghasilkan alumni kebidanan yang berkualitas. Penelitian ini juga bermanfaat untuk megukur dan mengetahui motivasi dan kemampuan mahasiswa di Akademi Kebidanan.
2.    Bagi Dosen

Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi dosen untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas dalam pemberian pembelajaran dan menumbuhkan sikap positif mahasiswa terhadap asuhan kebidanan khususnya asuhan persalinan, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar asuhan kebidanan mahasiswa.
3. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa Akademi Kebidanan khususnya Kebidanan Imelda dalam meningkatkan motivasi mahasiswa dalam pembelajaran praktek laboratorium sebagai bekal pada saat terjun didunia kerja nyata.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN MOTIVASI EKSTRINSIK DALAM PEMBELAJARAN LABORATORIUM DENGAN KEMAMPUAN DALAM ASUHAN PERSALINAN NORMAL MAHASISWA
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Motivasi Ekstrinsik Dalam Pembelajaran Laboratorium Dengan Kemampuan Dalam Asuhan Persalinan Normal Mahasiswa

Hubungan Kehamilan Multi Gravida Dengan Kejadian Perdarahan Antepartum di Rumah Sakit

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KEHAMILAN MULTI GRAVIDA DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN ANTEPARTUM DI RUMAH SAKIT

ABSTRAK
xii + 40 Halaman + 4 Tabel + 2 Bagan + 10 Lampiran
Data dari RSUD menyebutkan bahwa jumlah kasus perdarahan adalah 56 kasus dan 24 kasus atau 42,9% adalah perdarahan antepartum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kehamilan multigravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD. Metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasi dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) dengan menggunakan data sekunder berdasarkan rekam medis (RM) dengan populasi seluruh ibu bersalin dengan perdarahan antepartum. Variabel yang diteliti adalah kehamilan multigravida sebagai variabel independent dan kejadian perdarahan antepartum sebagai variabel dependen. Analisa dilakukan dengan dua tahap yaitu melalui analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari uji chi-square yang dilakukan untuk menguji hubungan kehamilan multigravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD didapatkan nilai p > 0,05 (p = 0,458) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kehamilan multi gravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa nilai RR = 0,909 yang berarti ibu pada kehamilan multigravida mempunyai peluang 0,909 kali lebih besar untuk mengalami perdarahan antepartum dibandingkan dengan ibu yang primigravida. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya konseling yang dilakukan petugas kesehatan terhadap ibu hamil tentang asuhan antenatal sehingga dapat mencegah komplikasi persalinan seperti perdarahan antepartum.
Kata kunci    : Kehamilan, Paritas, Multigravida, Perdarahan Antrepartum.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu hamil dan melahirkan berkisar 536.000 orang (World Health Organization (WHO), 2008) . Para ahli dari WHO dan Menteri Kesehatan negara-negara Asia Tenggara yang bertemu di New Delhi India pada tanggal 8 September 2008, melakukan pembahasan khusus tentang Angka Kematian Ibu (AKI) di kawasan Asia Tenggara yang tergolong masih tinggi (Sinaga, 2008).
Lebih lanjut WHO memperkirakan 37 juta kelahiran terjadi di kawasan Asia Tenggara setiap tahun, sementara total AKI di kawasan ini diperkirakan 170.000 I tahun, 98% dari seluruhan kematian ibu di kawasan ini terjadi di India, Bangladesh, Indonesia, Nepal dan Myanmar (Litbang Depkes RI, 2005).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010, angka kematian ibu masih berada pada angka 226I100.000 kelahiran hidup, Jika dibandingkan dengan angka kematian ibu tahun 2007 sebesar 248I100.000 kelahiran hidup, angka kematian ibu tersebut sudah mengalami penurunan tetapi masih belum mencapai target nasional (Depkes RI, 2010).
Walaupun banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menemukan penurunan angka kematian ibu, namun tetap saja masih jauh dari target nasional tahun 2010 untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi 125I100.000 kelahiran hidup ( Bascom, 2008).
Pada tahun 2010 sesuai dengan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Riau tercatat jumlah angka kematian ibu melahirkan di Riau adalah 147I100.0000 kelahiran (Riau Terkini, 2010)
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah diantaranya akibat perdarahan (25%), infeksi (14%), kelainan hipertensi dalam kehamilan (13%), komplikasi aborsi yang tidak aman (13%) atau persalinan yang lama (7%), apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN dan negara¬negara maju maka angka kematian ibuImaternal di Indonesia adalah sekitar 3- 6 kali lebih besar dari negara-negara ASEAN dan lebih dari 50 kali angka kematian ibu di negara maju. Pola penyakit penyabab-penyebab kematian ibu 84% karena komplikasi obstetrik langsung dan didominasi oleh Trias Klasik, yaitu pendarahan (46,7%), Toxemia (24,5%) dan Infeksi (8%) (Jacob, 2006).
Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya, perdarahan pada kehamilan muda disebut Abortus, sedangkan pada kehamilan tua disebut pendarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua adalah kehamilan 22 minggu, mengingat kemungkinan hidup janin di luar uterus (Wiknjosastro, 2005).
Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu, biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya dari pada sebelum kehamilan 22 minggu. Perdarahan antepartum yang berbahaya bersumber pada kelainan plasenta yaitu plasenta previa dan solusio plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks biasanya tidak seberapa berbahaya. Oleh karena itu, klasifikasi klinis perdarahan antepartum dibagi sebagai berikut : (1) plasenta previa; (2) solusio plasenta; dan (3) perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya (Wiknjosastro, 2005).
Ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami perdarahan antepartum ialah para ibu yang umurnya telah lebih dari 35 tahun dan multi gravida . Menurut Kloosterman (1973) frekuensi plasenta previa pada primigavida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun. Pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih sering dibanding grande multipara yang berumur kurang dari 25 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Data yang didapatkan dari kasus solusio plasenta di RS Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa kejadian solusio plasenta meningkat dengan meningkatnya umur dan paritas ibu, hal ini dapat dipahami karena makin tua umur ibu makin tinggi frekuensi penyakit hipertensi menahun dan makin tinggi paritas ibu makin kurang baik endometriumnya (Wiknjosastro, 2005).
Data dari RSUD menyebutkan bahwa jumlah kasus perdarahan dirumah sakit ini adalah 56 kasus dengan 24 kasus atau 42,9% diantaranya perdarahan antepartum. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan antepartum adalah makin tinggi paritas ibu hamil maka makin kurang baik atau makin melemahnya fungsi endometrium (Wiknjosastro, 2005).
Berdasarkan data diatas maka peneliti merasa tertarik untuk mencoba meneliti mengenai hubungan kehamilan multi gravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD.

B.    Rumusan Masalah
Data dari RSUD menunjukkan 42,9% dari semua kasus perdarahan di rumah sakit ini adalah kasus perdarahan antepartum yang disebabkan oleh tingginya paritas ibu hamil, oleh karena itu penulis membuat rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut apakah ada hubungan antara kehamilan multi gravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD?

C.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kehamilan multi gravida dengan perdarahan antepartum di RSUD.
2.    Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui jumlah ibu dengan kehamilan multi gravida yang bersalin di Instalasi Kebidanan RSUD.

b.    Untuk mengetahui angka kejadian perdarahan antepartum di RSUD.
c.    Untuk mengetahui hubungan antara kehamilan multi gravida dengan kejadian perdarahan antepartum di RSUD.

D. Manfaat Penelitian
1.    Bagi Lahan Penelitian
Diharapkan bisa menjadi sumber informasi bagi RSUD mengenai kasus perdarahan antepartum sehingga dapat menyelesaikan masalah kehamilan multi gravida dengan mengalami perdarahan antepartum.
2.    Bagi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Mahasiswi Kebidanan sehingga dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian selanjutnya.
3.    Bagi Peneliti
Dapat dijadikan sebagai pengalaman penulis dan melakukan penelitian mengenai hubungan kehamilan multi gravida dengan kejadian perdarahan antepartum, dan sebagai penerapan ilmu yang didapat materi perkuliahan ilmu ke situasi sebenarnya.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KEHAMILAN MULTI GRAVIDA DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN ANTEPARTUM DI RUMAH SAKIT
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Kehamilan Multi Gravida Dengan Kejadian Perdarahan Antepartum di Rumah Sakit

Hubungan Faktor Predisposisi dengan Pengetahuan Ibu tentang Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 6 Bulan di Puskesmas

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA  6 BULAN DI PUSKESMAS

ABSTRAK
ASI eksklusif didefinisikan sebagai perilaku dimana hanya memberikan ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa makanan dan ataupun minuman lain kecuali sirup obat. Berdasarkan data awal yang dilaksanakan pada tanggal 20 November di wilayah kerja Puskesmas II Baturaden, didapatkan bahwa dari 10 orang ibu yang diwawancarai terdapat 3 orang mengetahui tentang ASI Eksklusif dan 7 orang tidak mengetahui tentang ASI eksklusif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif, komposisi ASI. Penelitian dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas II Baturaden pada bulan Maret dengan menggunakan metode penelitian jenis analitik. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode random sampling, dengan teknik pengambilan sampelnya cluster sampling adalah suatu cara pengambilan sampel bila objek yang diteliti atau sumber data sangat luas atau besar. Artinya sampel yang digunakan adalah 48 ibu menyusui yang memiliki bayi usia lebih dari 6 bulan yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi, alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian faktor predisposisi yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif menunjukkan tidak ada hubungan antara umur ibu, pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif. Sehingga diharapkan bagi tenaga kesehatan dan ibu menyusui untuk meningkatkan pengetahuan Ibu tentang pemberian ASI eksklusif yang baik.
Kata kunci : pengetahuan ibu,umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pemberian ASI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi, terutama pada bulan-bulan pertama. (Soejoningsih,2004)
Berdasarkan hasil survei demografi Indonesia bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 370 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap 1 jam terdapat 2 orang ibu meninggal dunia akibat persalinan dan salah satu penyebab kematian bagi ibu adalah perdarahan. Data dari BPS Tahun 2006 total angka kematian bagi ibu di Indonesia mengalami penurunan yaitu menjadi 253 per 100.000 kelahiran hidup, namun angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya.
Demikian angka kematian bayi (AKB) khususnya angka kematian bayi baru lahir (Neonatal), masih berada pada kisaran 200 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) yang tinggi di Indonesia 80%.
Berdasarkan survai yang dilakukan oleh Hellen Keller (2002) di Indonesia, diketahui bahwa rata-rata bayi Indonesia hanya mendaptkan ASI selama 1,7 bulan. Padahal, Kajian WHO yang dituangkan dalam Kepmen Kes No. 450 Tahun 2004 menganjurkan agar bayi diberi ASI. Turunya angka ini terkait pengaruh sosial budaya di masyarakat, yang menganjurkan supaya bayi diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan. (Prasetyono,2009)

Penelitian terhadap 900 ibu disekitar Jabotabek diperoleh fakta bahwa yang mendapatkan ASI eksklusif selama 4 bulan hanya sekitar 5%, padahal 98% ibu-ibu tersebut tidak pernah mendapatkan informasi khusus tentang ASI. Sedangkan 70,4% ibu tidak pernah mendengar informasi tentang ASI eksklusif. (Roesli ,2005)
Alasan ibu untuk tidak menyusui sangat bervariasi. Namun, yang paling sering dikemukakan sebagai berikut : ASI tidak cukup, ibu bekerja dengan cuti hamil tiga bulan, takut ditinggal suami, tidak diberi ASI tetap berhasil “Jadi Orang”, bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mendiri dan manja, susu formula lebih praktis, takut badan menjadi gemuk. (Roesli,2005)
Alasan utama Ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif yaitu faktor umur, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lain-lain. Rendahnya keinginan dan pemahaman ibu tentang pentingnya ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kelahiran hidup kelahiran bayinya, hal ini dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh para ibu mengenai segala nilai plus nutrisi dan manfaat yang terkandung dalam ASI. (Prasetyono,2009)
Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan akan mempengaruhi perilaku masyarakat dibidang kesehatan. Tidak hanya perilaku saja, masih ada faktor-faktor lain. Pengetahuan juga akan turut menentukan baik buruknya kondisi lingkungan dan pelayanan kesehatan di suatu masyarakat. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan memadai, lebih mudah dibawa dalam perilaku sehat, lebih mampu menciptakan kondisi lingkungan sehat, serta mempu menjangkau pelayanan kesehatan. Pengetahuan seseorang diperoleh melalui berbagai
pendidikan baik formal maupun informal. Pengetahuan juga didapatkan dari pengalaman selama hidup seseorang. (Notoatmodjo,2003)
Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan di tempat yang akan dilakukan penelitian. Diperoleh data dari Dinas Kesehatan Kabupaten pada periode bulan januari sampai bulan desember tahun cakupan ASI eksklusif masih sangat rendah, sedangkan cakupan ASI eksklusif di wilayah Kerja Puskesmas II Baturaden adalah 316 orang ibu menyusui. (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten, 2009)
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 November di Wilayah Kerja Puskesmas II Baturaden pada 10 ibu-ibu yang mempunyai bayi usia 6 bulan sampai 12 bulan di desa wilayah kerja Puskesmas II Baturaden. Dari 10 ibu yang diwawancara tentang pemberian ASI Eksklusif 7 ibu menjawab tidak memberikan ASI secara eksklusif dan hanya 3 ibu yang memberikan ASI Eksklusif, beberapa alasannya umur ibu masih muda dan belum berpengalaman, ibu bekerja, pengetahuan ibu dan faktor lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI di Wilayah Kerja Puskesmas II Baturaden masih sangat rendah dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Faktor Predisposisi dengan Tingkat Pengetahuan Tentang Pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia lebih dari 6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas II Baturaden. Karena umur, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan.masih cukup rendah dan akan lebih mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayinya. Sedangkan kebiasan sangat sukar untuk diteliti dan terlalu luas. Faktor pendukung (kader, orangtua, penyuluhan, tenaga kesehatan tidak diteliti karena bidan desa sudah berada di setiap desa ada satu bidan desa minimal dan memiliki kader dan biasanya penyuluhan sudah sering dilakukan oleh bidan saat di Pusyandu-posyandu setempat).

B.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, permasalahan pokok penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan : adakah hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan Ibu tentang pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Tahun.

C.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.
2.    Tujuan Khusus
a.    Mengetahui gambaran umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan pengetahuan Ibu tentang pemberian ASI Eksklusif bagi bayi
b.    Mengetahui hubungan antara umur dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif bagi bayi
c.    Mengetahui hubungan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif bagi bayi.
d.    Mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif bagi bayi.

e. Mengetahui hubungan antara penghasilan keluarga dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.    Bagi masyarakat
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI Eksklusif.
2.    Bagi instasi tempat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bidan atau tenaga kesehatan dalam memberikan penjelasan tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif untuk bayi
3.    Bagi pemerintah
Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijaksanaan yang baru tentang hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi.
4.    Bagi pengembangan IPTEK dan Almamater
Sebagai sumber refrensi dan bahan bacaan di perpustakaan di instansi pendidikan, terutama tentang hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi.
5.    Bagi peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang hubungan faktor predisposisi dengan pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi. Dan sebagai penerapan ilmu yang telah didapatkan di pendidikan.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 6 BULAN DI PUSKESMAS
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Faktor Predisposisi dengan Pengetahuan Ibu tentang Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 6 Bulan di Puskesmas

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Gizi dengan Kepatuhan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN GIZI DENGAN KEPATUHAN DIET PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS

ABSTRAK
Skripsi. Program Studi Gizi. 2011 (ix + 60 + lampiran)
Terapi dietetik merupakan salah satu pilar pengendalian Diabetes Mellitus. Kepatuhan dalam melaksanakan diet menjadi harapan bagi tim kesehatan rumah sakit. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr. Penelitian menggunakan metode survei deskriptif analitik, dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian adalah semua diabetisi yang dirawat di ruang rawat inap RSUD Dr pada bulan Juli sampai dengan Agustus yang berjumlah 34 responden. Pengambilan sampel dilakukan secara aksidental dengan mengambil responden yang kebetulan ada. Hasil penelitian diketahui responden yang patuh terhadap diet yang diberikan sebesar 58,8% sedangkan responden yang tidak patuh terhadap diet yang diberikan sebesar 41,2%.. Hasil uji Chi- Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan diet (p<0,05). Hasil uji Fisher's Exact menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet (p<0,05). Kesimpulan penelitian ini yaitu ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr
Kata kunci: pendidikan, pengetahuan gizi, kepatuhan diet

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paradigma sehat sebagai suatu gerakan nasional dalam rangka pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 merupakan upaya meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Upaya ini bertujuan mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatannya dan menyadari pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif (Depkes Republik Indonesia, 2000).
Perubahan pola kehidupan dapat menimbulkan penyakit-penyakit degeneratif antara lain penyakit Serebrovaskuler, Geriatri, Diabetes Mellitus, Rematik dan Katarak, dimana Diabetes Mellitus sendiri merupakan masalah nasional tercantum dalam urutan nomor 4 dari prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif (prioritas pertama adalah penyakit Kardiovaskuler, kemudian disusul oleh penyakit Serebrovaskuler, Geriatri, Diabetes Mellitus, Rematik, dan Katarak) ( Tjokroprawiro, 1999).
Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO) Indonesia merupakan urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita DM di dunia. Pada tahun 2006 jumlah penerita DM di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari Jumlah tersebut baru 50% penderita yang sadar mengidap dan sekitar 30% diantaranya melakukan pengobatan rutin. Faktor lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan berlebihan, berlemak, kurang aktifitas dan stres berperan sangat besar 15 sebagai pemicu DM. Selain itu DM juga bisa muncul karena adanya faktor keturunan ( Sidhartawan, 2008).
Bila penderita DM tidak patuh dalam melaksanakan program pengobatan yang telah dianjurkan oleh dokter, ahli gizi atau petugas kesehatan lainnya maka akan dapat memperburuk kondisi penyakitnya. Pengobatan yang perlu dilaksanakan oleh pasien seperti melaksanakan diet sebagai kunci pengobatan, olah raga untuk menjaga kebugaran tubuh selain penggunaan obat diabetes oral maupun insulin (Darmani, 2007).
Berdasarkan data yang didapat di bagian rekam medik RSUD DR H pada tahun terdapat 189 orang penderita diabetes mellitus yang menjalani rawat inap atau sebesar 1,2%, dan termasuk dalam 10 besar penyakit terbanyak. Hasil ini memberikan gambaran bahwa penyakit diabetes mellitus masih perlu mendapat prioritas pelayanan kesehatan akibat dari perilaku masyarakat terutama masyarakat perkotaan dalam mengkonsumsi makanan.
Terapi dietetik merupakan salah satu pilar pengendalian Diabetes Mellitus. Kepatuhan dalam melaksanakan diet menjadi harapan bagi team kesehatan rumah sakit. Salah satu faktor yang sangat penting bagi penderita Diabetes Mellitus adalah perilaku hidup sehat ( Yunahar dkk, 2005).
Menurut Bart, faktor yang berkaitan dengan kepatuhan atau ketaatan disebutkan bahwa perilaku atau ketaatan sangat rendah untuk penyakit kronis, misalnya ketaatan cenderung sangat buruk terhadap program imunisasi pada orang 16 tua (13%) dan memonitor glukosa darah bagi penderita diabetes mellitus yang tergantung pada insulin (53%) (Bart, 1994).
Menurut Abu Ahmadi dkk (1996), dari proses pendidikan diharapkan akan terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian salah satu cara untuk mengukur perubahan perilaku dan sikap dapat dengan menggunakan pengukuran terhadap pengetahuan seseorang. Sedangkan Suhardjo, 2003, mengatakan bahwa upaya pendidikan atau penyuluhan gizi merupakan salah satu usaha yang sangat penting untuk seseorang mau bersikap dan bertindak mengikuti norma-norma gizi, sehingga seseorang memahami pentingnya makanan dan gizi, khususnya bagi pasien diabetes mellitus.
Pengetahuan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang terhadap makanan. Selain itu pengetahuan gizi merupakan peranan penting untuk dapat membuat manusia hudup sehat sejahtera dan berkualitas. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat konsumsi tetapi secara langsung mencerminkan tingkat pengetahuan (Depkes Republik Indonesia, 1994).
Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari ( Depkes Republik Indonesia, 2004).
Di Provinsi Kalimantan Selatan, pasien penderita DM rawat jalan di seluruh rumah sakit, umur lebih dari 65 tahun di menduduki urutan ke-7 dari 20 penyakit terbanyak dengan jumlah penderita 123 orang (6,45%) 17 sedangkan untuk pasien rawat inap jumlah pasien yang berusia lebih dari 65 tahun menduduki urutan ke-6 dengan jumlah penderitanya 200 orang (4,46%) (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2008).
Berdasarkan uraian diatas dan mengingat pentingnya peran diet Diabetes Mellitus untuk pengobatan secara non farmakologis pada diabetesi, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes mellitus (diabetisi) di ruang rawat inap RSUD Dr.

1.2. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan diet pada diabetisi?
2.    Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan diet pada diabetisi?
3.    Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada diabetisi?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr.

1.3.2. Tujuan Khusus
a.    Mengidentifikasi tingkat kepatuhan diet diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr
b.    Mengidentifikasi tingkat pendidikan diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr
c.    Mengidentifikasi pengetahuan gizi diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr
d.    Menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan kepatuhan diet pada diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr
e.    Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada diabetisi di ruang rawat inap RSUD Dr

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan terutama bagi ahli gizi ruangan untuk lebih optimal dalam memberikan penyuluhan / konsultasi gizi agar pasien dapat mengerti dan memahami serta mematuhi diet yang harus dijalaninya.
1.4.2. Bagi Masyarakat
a. Sebagai masukan khususnya bagi diabetisi dan keluarga, hasil ini diharapkan sebagai informasi yang penting bahwa pengelolaan diabetes mellitus berjalan efektif tidak hanya dilakukan secara farmakologis, tetapi juga harus dilakukan secara non farmakologis.

b. Bagi diabetisi, kepatuhan dalam menjalankan diet diabetes mellitus lebih banyak ditentukan oleh pengetahuan dan perilaku penderita dalam mematuhi dietnya.
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
1.    Yunahar, Hilman, Suharyati D Kartono, Nurrul Karimah (2004) yang berjudul ” Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Terhadap Diet di Layanan Konsultasi Gizi Rawat Jalan RSCM Tahun 2004”. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, pada 49 pasien dewasa laki-laki dan perempuan di Poli Gizi RSCM dengan menggunakan kuesioner dan food recall. Hasil penelitian ini menunjukkan 63,3% pasien patuh terhadap anjuran diet, selebihnya tidak mematuhi. Dari pasien yang patuh terhadap diet, 26,5% berumur di atas 59 tahun. Sebagian besar responden (67,3%) berpendidikan SLA ke atas dan sebanyak 44,9% patuh terhadap diet, 22,4% tidak mematuhi. Hasil uji Chi-square tidak ditemukan hubungan yang bermakna (P>0,05).
2.    Maemunah, Siti (2010) yang berjudul ” Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan Menjalankan Terapi Diet Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Puskesmas Mranggen 1 Kabupaten Demak ”. Jenis penelitian ini deskriftif korelasi dengan pendekatan cross sectional, pada 106 penderita diabetes mellitus. Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan sedang dengan tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 15 responden (30%). Berdasarkan hasil uji

20 statistik didapatkan ada nilai ekspetasi 5 lebih dari 20% sehingga syarat chi-square tidak terpenuhi, jadi dilakukan penggabungan data dan hasilnya diperoleh X2 18,506 ( 0,05) sehingga syarat chi-square terpenuhi dan dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan menjalankan terapi diet diabetes mellitus di Puskesmas Mranggen I Kabupaten Demak.
Sebatas pengetahuan peneliti, penelitian dengan judul “hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes mellitus (diabetisi) di ruang rawat inap RSUD Dr..” belum pernah dilakukan.
Persamaan dengan penelitian ini terletak pada :
Variabel terikat yang digunakan
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada :
1)    Variabel bebas
2)    Waktu penelitian
3)    Rancangan penelitian
4)    Lokasi penelitian
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN GIZI DENGAN KEPATUHAN DIET PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Gizi dengan Kepatuhan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

Hubungan Berat Badan Lahir dengan Terjadinya Ruptur Perineum Spontan pada Persalinan Normal Ibu Primigravida di BPS

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN TERJADINYA RUPTUR PERINEUM SPONTAN PADA PERSALINAN NORMAL IBU PRIMIGRAVIDA DI BPS

ABSTRAK
Ruptur perineum menjadi penyebab perdarahan ibu postpartum. Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. sedangkan ruptur perineum spontan terjadi karena ketegangan pada daerah vagina pada saat melahirkan, beban psikologis mengahadapi proses persalinan dan karena ketidaksesuaian antara jalan lahir dan janinnya. Efek yang ditimbulkan dari ruptur perineum apabila tidak dilakukan penatalaksaan yang benar akan menimbulkan perdarahan, sehingga juga bisa menyebabkan kematian pada ibu post persalinan. Tujuan penelitian ini adalah Mengetahuai hubungan berat badan lahir dengan terjadinya ruptur perineum spontan pada persalinan normal primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten .
Desain yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan retrospektif. Populasinya adalah Semua ibu primigravida yang melahirkan di BPS “” pada tanggal 1 Januari sampai 31 Desember yang didapat dari data rekam medik sebanyak 38 ibu. Dengan tehnik sampling jenuh maka sampel ditentukan sebanyak 38 ibu. Hipotesa di uji dengan Chi –kuadrat dengan signifikansi 5%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas berat badan lahir anak normal (2500gr-3500gr). Mayoritas ibu tidak mengalami ruptur perineum. Analisis stasistik mendapatkan hasil 2 = 10,6 1 > tabel =5,59 1 yang berarti Ho ditolak artinya ada hubungan antara berat badan lahir dengan terjadinya ruptur perineum di BPS”” Desa Kecamatan Kabupaten. Disarankan kepada bidan untuk memberikan penyuluhan serta menganjurkan ibu untuk melakukan senam hamil agar bisa melenturkan otot-otot dinding perineum sehingga ruptur bisa dihindarkan.
Kata kunci : berat badan bayi lahir, ruptur perineum, persalinan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi, yang dapat hidup didunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain. Persalinan sangat di pengaruhi oleh ”3P” yaitu janin (passenger), jalan lahir (passage) dan (tenaga) power dan ”2P” yaitu position dan phsycologi (Manuaba, 2005). Persalinan dengan berat badan janin besar dapat meningkatkan resiko komplikasi kehamilan dan persalinan seperti hipertensi dalam kehamilan, polihidramnion (cairan ketuban berlebih), persalinan lama, persalinan sulit misalkannya karena bahu macet, perdarahan pasca persalinan dan Ruptur perineum (Krisnadi, 2009), selain itu resiko berat badan janin besar pada janin itu sendiri adalah terjadinya patah tulang selangka pada saat persalinan (Partiwi, 2009).
Data inpartu di wilayah Kabupaten berdasarkan laporan di Dinas Kesehatan Kabupaten tahun  sebanyak 7920 dan kejadian Ruptur perineum dari jumlah persalinan normal 248 kasus. Di wilayah Kerja Puskesmas Tarokan mencatat data inpartu 223 pada tahun dan kejadian Ruptur perineum dari 223 persalinan normal mencapai 84 kasus, dimana 1 kasus Ruptur perineum di rujuk ke Rumah Sakit.
Ruptur perineum menjadi penyebab perdarahan ibu postpartum. Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan Fitariyanti (2007) di BPS Dwi Yuni angka kejadian Ruptur perineum yang dialami ibu primigravida tahun 2007 masih sangat tinggi yaitu sebanyak 41 orang (65%) dari 63 persalinan normal. Sedangkan yang tidak mengalami Ruptur perineum berjumlah 22 orang. Jumlah bayi yang lahir dengan berat badan > 3100 gr yaitu 32 bayi sedangkan yang < 3.100 gr sebanyak 31 bayi. Dari 32 orang ibu yang melahirkan dengan berat badan bayi > 3.100 gr yang mengalami Ruptur perineum berjumlah 30 orang dan yang tidak mengalami Ruptur perineum 2 orang. Sedangkan dari 31 orang ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan < 3.100 gr yang mengalami Ruptur perineum sebanyak 11 orang dan yang tidak sebanyak 20 orang.
Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya robekan spontan maupun episiotomi. Ruptur perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan mempunyai dampak tersendiri bagi ibu yaitu gangguan ketidaknyamanan dan perdarahan, sedangkan Ruptur perineum spontan terjadi karena ketegangan pada daerah vagina pada saat melahirkan, juga bisa terjadi karena beban psikologis mengahadapi proses persalinan dan yang lebih penting lagi Ruptur perineum terjadi karena ketidaksesuaian antara jalan lahir dan janinnya, oleh karena efek yang ditimbulkan dari Ruptur perineum sangat kompleks (Partiwi, 2009). Ruptur perineum apabila tidak dilakukan penatalaksaan yang benar akan menimbulkan perdarahan, sehingga juga bisa menyebabkan kematian pada ibu post persalinan.
Dari uraian diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang ” hubungan berat badan lahir dengan terjadinya Ruptur perineum spontan persalinan normal ibu primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Adakah hubungan berat badan lahir dengan terjadinya ruptur perineum spontan pada persalinan normal primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten ?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahuai hubungan berat badan lahir dengan terjadinya ruptur perineum spontan pada persalinan normal primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten.

1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi berat badan lahir di BPS”” Desa Kecamatan Kabupaten.
1.3.2.2 Mengidentifikasi terjadinya ruptur perineum spontan persalinan normal primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten
1.3.2.3 Menganalisis hubungan berat badan lahir dengan terjadinya ruptur perineum spontan persalinan normal primigravida di BPS “” Desa Kecamatan Kabupaten

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan referensi bagi institusi pendidikan dalam meningkatkan kemampuan calon-calon bidan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi terjadinya ruptur perineum.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan kemampuan dalam melakukan pertolongan persalinan, sehingga dapat menekan timbulnya ruptur perineum
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat di pakai untuk mnyusun rencana asuhan pada ibu hamil dalam hal psikologinya sehingga kecemasan pada saat persalinan bisa ditekan dan akan menekan pula ruptur perineum.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR DENGAN TERJADINYA RUPTUR PERINEUM SPONTAN PADA PERSALINAN NORMAL IBU PRIMIGRAVIDA DI BPS
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Berat Badan Lahir dengan Terjadinya Ruptur Perineum Spontan pada Persalinan Normal Ibu Primigravida di BPS

Hubungan antara Pengetahuan tentang Risiko Kehamilan Remaja di Luar Nikah dengan Sikap terhadap Hubungan Seksual Pranikah

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG RISIKO KEHAMILAN REMAJA DI LUAR NIKAH DENGAN SIKAP TERHADAP HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pernyataan ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stenley Hall bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (Dhamayanti, 2009).
Di Indonesia angka kehamilan remaja di luar nikah sulit diketahui secara pasti, karena kasus ini selalu disembunyikan rapat oleh pelakunya. Namun di Jawa Timur data yang tercatat di klinik kebidanan, biro konsultasi KB menunjukkan bahwa jumlah remaja hamil di luar nikah yang datang minta jasa konsultasi psikologi, perawatan medis untuk kehamilan, maupun yang meminta aborsi semakin meningkat tajam dari tahun ke tahun (BPPKTJT, 2001) . Survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1 995/1996) pada remaja belum menikah berusia 13-19 tahun sebanyak 1189 remaja di Jawa Barat dan 922 remaja di Bali ditemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan 5% di Bali mengakui pernah hamil. Menurut Ketua Jaringan Peduli Perempuan dan A nak (JPPA) Jaw a Tengah, Widanti (2000) jumlah siswi yang hamil akan terus meningkat, dalam penelitiannya pada sekolah jenjang SMP dan SMA tahun 2000 menunjukkan dalam tiap sekolah rata-rata ditemukan empat hingga tujuh siswa yang hamil, bahkan saat ini kenaikannya 10% h ingga 15%.
Mengapa terjadi kehamilan di luar pernikahan? Salah satu diantaranya adalah sikap itu, ada baiknya remaja mengerti akibat psikologi yang bakal dialami pacarnya jika mereka melakukan hal-hal terlarang itu. Remaja putra harus belajar mengendalikan hormon seksual mereka, sedangkan remaja putri menyadari akibat hubungan seksual dini, termasuk yang terjadi di luar pernikahan. Dengan demikian pengetahuan itu ikut membentengi mereka (Julianto dan Roswitha, 2009).
Tahap perkembangan remaja yang ditandai oleh perkembangan kognitif, perkembangan psikososial, dan perkembangan fisik dapat mempengaruhi salah satu aktivitas seksual remaja yaitu perilaku seks pranikah. Akhir-akhir ini muncul fenomena semakin tingginya tingkat perilaku seks pranikah pada remaja. Tingginya tingkat perilaku seks pranikah pada remaja dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu terjadinya kehamilan di luar nikah (Gemala, 2009).
Berdasarkan data-data diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai hubungan antara pengetahuan tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah dengan sikap terhadap hubungan seksual pranikah pada siswa SMAN 2 dengan pertimbangan bahwa SMAN 2 merupakan salah satu SMAN favorit di Kabupaten yang terletak di pusat kota serta mudah dijangkau oleh peneliti dimana kualitas input dari aspek kognitif sangat bagus. Akan tetapi, apakah tingginya kualitas aspek kognitif yang dimiliki siswa bisa sejalan dengan tingkat pengetahuan tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah. Jadi peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa SMAN 2 tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah serta bagaimana pengaruhnya terhadap sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah.
Penelitian tentang hubungan seksual pranikah pernah dilakukan sebelumnya, namun sejauh penelusuran penulis yang dilakukan selama ini belum ada yang meneliti tentang hubungan pengetahuan risiko hamil di luar nikah dengan sikap terhadap hubungan seksual pranikah, tetapi ada beberapa p enelitian sebelumnya yang sejenis dengan penelitian ini, yaitu: “Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Penyakit Menular Seksual dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Siswa-Siswi SMAN 3 Surakarta” oleh Sari (2009) dan juga oleh Suhartin (2007) dengan judul “ Perbedaan Sikap tentang Perilaku Seks Pranikah antara Remaja Laki-Laki dan Perempuan di SMAN 2”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah apakah ada hubungan antara pengetahuan tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah dengan sikap terhadap hubungan seksual pranikah?

C. Tujuan
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah dengan sikap terhadap hubungan seksual pranikah.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui pengetahuan siswa SMAN 2 tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah.
b.    Untuk mengetahui bagaimana sikap siswa SMAN 2 terhadap hubungan seksual pranikah.

D. Manfaat
1. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan siswa tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah sehingga siswa menghindari hubungan seksual pranikah.
2.    Bagi institusi sekolah
Hasil penelitian ini diha rapkan dapat memberikan masukan bagi institusi sekolah terutama guru BK (Bimbingan Konseling) untuk memberikan konseling mengenai risiko kehamil an remaja di luar nikah pada siswa sehingga siswa menjauhi hubungan seksual pranikah dan terhindar dari kehamilan remaja diluar nikah.
3.    Bagi profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi profesi bidan agar lebih meningkatkan perhatian terhadap upaya konseling yang bermutu serta materi konseling tentang risiko kehamilan remaja di luar nikah yang sangat dibutuhkan remaja agar dapat dipilih sikap yang terbaik bila berhadapan dengan hubungan seksual pranikah.
4.    Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya mengenai hubungan antara pengetahuan risiko kehamilan remaja di luar nikah dengan sikap terhadap hubungan seksual pranikah.
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG RISIKO KEHAMILAN REMAJA DI LUAR NIKAH DENGAN SIKAP TERHADAP HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Pengetahuan tentang Risiko Kehamilan Remaja di Luar Nikah dengan Sikap terhadap Hubungan Seksual Pranikah

Hubungan Antara Pendidikan dan Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSU

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PARITAS IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSU

ABSTRAK
Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) pada tahun 1995 hampir semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal do Negara berkembang atau berpenghasilan rendah. Lebih dari dua pertiga kematian adalah BBLR yaitu berat lahir kurang dari 2500 gram. Secara global diperkirakan terdapat 25 juta persalinan per tahun dimana 17% diantaranya adalah BBLR dan hampir semua terjadi di Negara berkembang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dan paritas ibu bersalin dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.. Diharapkan dari analisis faktor-faktor tersebut dapat dijadikan masukan bagi institusi pelayanan kesehatan dalam meningkatkan mutu pelayanan. Penelitian ini merupakann penelitian menggunakan cross sectional yang dikumpulkan dalam waktu bersamaan dengan menggunakan check list. Uji statistik yang dipakai adalah uji chi-square. Sampel yang diambil menggunakan teknik random sampling dari populasi yang berjumlah 3.139 ibu yang melahirkan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui variabel independen pendidikan dan paritas dan variabel dependen (BBLR). Data dianalisa dengan analisa univariat yaitu distribusi frekuensi variabel independen dan dependen serta analisa bivariat menggunakan uji statistik chi square dengan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan 355 responden didapatkan responden ibu yang BBLR sebesar 100 (28,2%) responden dan ibu yang melahirkan tidak BBLR sebesar 225 (71,8%) responden sedangkan berdasarkan pendidikan ibu yang pendidikan tinggi sebesar 180 (50,7%) dan pendidikan rendah sebesar 175 (49,3%). Sehingga paritas tinggi sebesar 35,8% dan paritas rendah sebesar 228 (64,2%). Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna pendidikan ibu dengan kejadian BBLR dimana nilai p value 0,002 lebih kecil α = 0,05 dan adanya hubungan yang bermakna antara paritas ibu terhadap kejadian BBLR dimana nilai p value = 0,008 lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang melahirkan BBLR dari responden yang cara penanggananya lebih baik. Bagi petugas kesehatan agar selalu memberikan penyuluhan mengenai kejadian berat badan lahir rendah, sehingga dapat menggurangi angka kejadian BBLR.
Kata Kunci    : Berat Badan Lahir Rendah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO sebagai bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr .Definisi ini berdasarkan pada hasil observasi epidemiologi yang membuktikan bahwa bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram mempunyai kontribusi terhadap kesehatan yang buruk.Menurunkan insiden BBLR hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama “ A World Fit For Children” hingga tahun 2010 sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nations General Assembly Special Session on Children in 2002. Lebih dari 20 j uta bayi diseluruh dunia (15,5%) dari seluruh kelahiran, merupakan BBLR di Asia adalah 22% (Rahayu,2009).
Salah satu indikator untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka Kematian Bayi di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi, yaitu tercatat 50 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003, ini memang bukan gambaran yang indah, karena masih terbilang tinggi bila di bandingkan dengan negara – negara di bagian ASEAN, dan penyebab kematian bayi terbanyak adalah karena gangguan perinatal. Dari seluruh kematian perinatal sekitar 2 -27% disebabkan karena BBLR. Sementara itu, prevelensi BBLR di Indonesia saat ini di perkirakan 7 – 14% yaitu sekitar 459.200-900.000 bayi (Depkes RI, 2005).
World Health Organization (WHO) 1979, telah membagi umur kehamilan menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Pre-term yaitu kurang dari 37 minggu (259 hari), 2)Term, yaitu mulai 37 minggu sampai 42 minggu atau unur antara 259-293 hari, 3) Post-term, yaitu lebih dari 42 minggu (294 hari) (Manuaba,2007).
Begitu juga menurut perkiraan World Health Organization (WHO) pada tahun 1961 telah mengganti istilah Premature baby dengan low birth weight baby (bayi dengan berat badan lahir rendah = BBLR). Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi premature. Keadaan ini dapat di sebabkan oleh : 1) masa kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat yang sesuai (masa kehamilan dihitung mulai dari hari pertama haid yang teratur ; 2) bayi small for gestational age (SGA) : bayi yang kurang dari berat badan yang semestinya menurut masa kehamilannya (kecil untuk masa kehamilan = KMK); 3) kedua-duanya (pernyataan 1 dan 2) (Sarwono,2006).
Bila diperhatikan di Indonesia, berdasarkan Survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup dalam 1 tahun, ada satu neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah BBLR sebanyak 29%. Insiden BBLR di Rumah Sakit di Indonesia berkisar 20% (Eka ,2009).

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Sumatera Selatan tahun (2008), Angka Kematian Ibu (AKI) di Sumatera Selatan berada pada angka 107 per 100.000 kelahiran hidup. Hampir mencapai target sasaran yang akan dicapai Provinsi Sumatera Selatan pada Indonesia Sehat 2010.
Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Palembang, Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 yaitu per 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 4 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2009 sekitar 2 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Kota Palembang, 2010).
Dari data Rumah Sakit Umum Pusat Dr., angka kejadian BBLR pada tahun 2007 adalah 142 kasus BBLR dari 3.337 bayi yang dilahirkan pada tahun 2008 adalah 233 kasus BBLR dari 2439 bayi yang dilahirkan dan pada tahun 2009 sebesar 313 kasus BBLR dari 2.400 bayi yang dilahirkan (Medical Record,2009).
Oleh karena itulah, berdasarkan latar belakang diatas dan dengan adanya data yang ada, Maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan antara Pendidikan dan Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr..

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah masih tingginya kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.  Tahun  (Medical Record,).

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara pendidikan dan paritas ibu bersalin
dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Tahun ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dan paritas ibu
bersalin dengan kejadian bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr..
1.4.2 Tujuan Khusus
1.    Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu bersalin dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. tahun.
2.    Diketahuinya hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi : Ruangan Kebidanan
1.5.1 Bagi Mahasiswa /Peneliti
Penelitian ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya
tentang Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan sebagai pengalaman proses
belajar dalam bidang Metodologi Penelitian.
1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan pengetahuan serta untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berguna bagi mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang.
1.5.3 Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam program kesehatan reproduksi untuk menurunkan angka kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan perbaikan mutu pelayanan kebidanan.
1.6 Ruang Lingkup
Sasaran penelitian adalah semua bayi yang dilahirkan oleh ibu- ibu dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Rumah Sakit Umum Pusat Dr..
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PARITAS IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSU
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan Antara Pendidikan dan Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSU

Gambaran Pengetahuan Tentang Perawatan Genetalia pada Ibu Nifas di BPS

KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG PERAWATAN GENETALIA PADA IBU NIFAS DI BPS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asuhan kebidanan selama periode pascanatal secara tradisional ditentukan oleh kesehatan wanita pascapartum. Pada permulaan abad kedua puluh angka kematian ibu adalah 4/1000 kelahiran, yang sebagian besar disebabkan oleh infeksi nifas (puerperium). Nifas adalah suatu periode sekitar 6 minggu setelah kelahiran bayi yang pada masa ini terjadi perubahan fisiologis kehamilan dan laktasi, dan asuhan pascanatal dipersiapkan untuk merefleksikan hal ini. (Henderson, Christine, 2005).
Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis yang pada sebagian besar wanita berakhir dengan normal tanpa komplikasi. Pada akhir masa nifas, pemulihan persalinan secara umum dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimis. Bagi banyak wanita, pemulihan adalah sesuatu yang langsung terjadi dan menjadi seorang ibu adalah proses fisiologis yang normal. (Henderson, Christine, 2005).
Masa Nifas merupakan bagian integral dari proses melahirkan, dan harus dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan untuk memberikan perawatan pada ibu dan bayinya. Sayangnya, masa tersebut jarang dimanfaatkan untuk hal tersebut itu, walaupun fakta menunjukkan bahwa di masa pasca partum ibu yang meninggal lebih banyak. Walaupun sepsis puerperalis merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa di masa pascanatal. Semua penyebab di masa nifas termasuk infeksi genetalia pada ibu nifas harus didiagnosis dan diobati dengan segera. Hal itu ternyata tidak memerlukan keterampilan/peralatan klinis yang canggih, dan dapat ditangani dengan mudah di tingkat Puskesmas (WHO, 2003).
Kebersihan adalah salah satu tanda dari keadaan hygiene yang baik. Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat, tidak bau, tidak malu, tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Kebersihan badan meliputi kebersihan diri sendiri, seperti mandi, menyikat gigi, mencuci tangan dan memakai pakaian yang bersih. Kebiasaan menjaga kebersihan, termasuk kebersihan organ – organ seksual/reproduksi, merupakan awal dari usaha menjaga kesehatan kita. Jika ekosistem vagina terjaga seimbang, maka kita akan merasa lebih bersih dan segar dan tentu saja lebih nyaman melakukan aktivitas sehari¬hari.
Kebersihan diri ibu membantu mengurangi sumber infeksi dan meningkatkan perasaan kesejahteraan mereka. Segera setelah ibu cukup kuat untuk berjalan, bantu ibu untuk mandi, mencuci putting susunya pertama kali, kemudian tubuh dan terakhir perineum. Sediakan pakaian dan pembalut yang bersih. Perawatan khusus perineum bagi wanita setelah melahirkan anak mengurangi rasa ketidaknyamanan, kebersihan, mencegah infeksi, dan meningkatkan penyembuhan (Hamilton Mary, 2002).
Berdasarkan data dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 di Kabupaten Nganjuk Terdapat infeksi genetalia pada ibu nifas 205 orang. Data dari BPS di kecamatan Prambon periode Januari 2008 – Juni 2009. Di BPS Nurul dari 120
persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 2 orang (0,016 %). BPS Anis dari 101 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,009%). BPS Emi dari 70 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,014 %). BPS Purwati dari 93 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,010%). BPS Bekti dari 98 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,010%). BPS Suci dari 60 persalinan tidak ada yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas. BPS dari 290 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 5 orang (0,017%). BPS Sri dari 60 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,016%). BPS Christine dari 89 persalinan tidak terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas. BPS Wiwik dari 61 persalinan yang terjadi infeksi genetalia pada ibu nifas 1 orang (0,016%).
Berdasarkan data di atas di BPS Ny. Keb. Desa Kecamatan Kabupaten terdapat sebanyak 0,0 17 % ibu nifas yang mengalami infeksi genetalia. Ini diketahui pada waktu ibu nifas berkunjung kembali ke BPS Ny. Desa Kecamatan Kabupaten Nganjuk sebagaian ibu nifas dengan keluhan masih belum mengetahui cara perawatan genetalia dan takut merawat genetalia pada ibu nifas.
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang “ Gambaran Pengetahuan tentang perawatan genetalia pada ibu nifas di BPS Ny. Desa Kecamatan Kabupaten”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian serta latar belakang yang telah dirumuskan maka perumusan masalah penelitian ini adalah “ Bagaimana gambaran pengetahuan tentang perawatan genetalia pada ibu nifas Di BPS Ny. Desa Kecamatan Kabupaten ?”

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang perawatan genetalia pada ibu nifas di BPS Ny. Desa Kecamatan Kabupaten.
1.3.2 Tujuan Khusus
    1.3.2.1    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang tujuan perawatan genetalia pada ibu nifas.
    1.3.2.2    Mengetahui gambaran pengetahuan ibi nifas tentang tanda-tanda infeksi genetalia pada ibu nifas.
    1.3.2.3    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang caraperawatan genetalia pada ibu nifas.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan tentang penelitian perawatan ibu nifas khususnya pengetahuan ibu nifas tentang perawatan genetalia, dan dapat digunakan untuk pedoman asuhan pada ibu nifas.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan acuan dalam pembuatan penelitian bagi peneliti selanjutnya.
1.4.3 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan atau bahan tambahan untuk memberikan pengetahuan tentang perawatan genetalia pada ibu nifas.
silahkan download KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN TENTANG PERAWATAN GENETALIA PADA IBU NIFAS DI BPS
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Pengetahuan Tentang Perawatan Genetalia pada Ibu Nifas di BPS

Arsip Blog

tes