Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

KTI SKRIPSI
Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. ASI harus menjadi makanan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI terus memberikan faktor-faktor anti infeksi unik yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain  (Rosidah, 2003).
Setelah usia 4 bulan sampai 6 bulan disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan, namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2003). Sehingga saat mulai diberikan makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra, dkk, 2002).
Di negara-negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika, makanan padat sebelum tahun 1970 diberikan pada bulan-bulan pertama setelah bayi dilahirkan, akan tetapi setelah tahun tersebut banyak dilaporkan tentang kemungkinan timbulnya efek sampingan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Waktu yang baik untuk memulai pemberian makanan padat biasanya pada umur 4 – 5 bulan. Resiko pada pemberian sebelum umur tersebut antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas (Pudjiadi, 2003).
Hasil penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan balita, antara lain disebabkan kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, makanan tambahan tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Supriyono, 2003).
Menurut Cesilia M. Reveriani, pakar gizi anak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguraikan hasil survey penggunaan makanan pendamping ASI sekitar 49% bayi sebelum usia 4 bulan sudah diberi susu formula, 45,1% makanan cair selain susu formula dan 50% makanan padat. Pemberian susu formula makanan pendamping ASI cair dan yang diberikan pada bayi kurang dari 4 bulan cenderung dengan intensitas atau frekuensi yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan dan berakibat kurang baik pada anak, yang dampaknya adalah kerusakan pada usus bayi. Karena pada umur demikian usus belum siap mencerna dengan baik sehingga pertumbuhan berat badan bayi terganggu, antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga ke obesitas dan malnutrisi.
Pada Indonesia sehat 2010, target ASI eksklusif selama 4 bulan adalah 80%. Penelitian di Kabupaten Lamongan Jawa Timur tahun 2003 menunjukkan sebagian besar responden (59%) memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan 41% memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat bayi berusia 4 bulan atau lebih (Supriyono, 2003).
Di Indonesia terutama di daerah pedesaan sering kita jumpai pemberian makanan tambahan mulai beberapa hari setelah bayi lahir. Kebiasaan ini kurang baik karena pemberian makanan tambahan dini dapat mengakibatkan bayi lebih sering menderita diare, mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak, produksi ASI menurun (Narendra, dkk, 2002).
Pada dasarnya dapat diharapkan bahwa bayi tidak akan makan secara berlebihan yaitu diberi makanan tambahan dini karena akan berakibat penambahan berat badan berlebihan (Behrman dan Vaughan, 1999).
Data dari Dinas Kesehatan Kota tahun menunjukkan bahwa dari 48.974 bayi, 16.729 bayi (33,11%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, di kecamatan dari 1.603 bayi, 1.254 bayi (78,23%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan. Dan di BPS  saat penelitian pendahuluan pada bulan Mei dari 10 bayi, 7 bayi (70%) diantaranya sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
Adakah hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi?

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dini  dengan pertumbuhan berat badan bayi.
1.3.2    Tujuan Khusus
1.3.2.1    Mengidentifikasi pemberian makanan tambahan.
1.3.2.2    Mengidentifikasi pertumbuhan berat badan bayi usia 4 bulan.
1.3.2.3    Menganalisa hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang  pemberian makanan tambahan.
1.4.2    Bagi BPS
Sebagai bahan masukan bagi BPS dalam menggalakkan KIE program  ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan.
1.4.3    Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah wawasan dalam bidang gizi mengenai hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

Hubungan antara Motivasi Menjadi Bidan dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada Mahasiswa Kebidanan

KTI SKRIPSI
Hubungan antara Motivasi Menjadi Bidan dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada Mahasiswa Kebidanan

ABSTRAK
Hubungan antara Motivasi menjadi Bidan dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada Mahasiswa Program Studi D III Kebidanan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi D III Kebidanan.
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cohort.  Populasi penelitian ini adalah mahasiswa semester II Program Studi D III Kebidanan  STIKES  ‘ sebanyak  120  mahasiswa,  sedangkan jumlah sampel diambil dengan mengacu tabel Krejcie kesalahan 5% didapatkan sampel sebanyak 92 mahasiswa yang diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Motivasi menjadi bidan merupakan variabel independen yang diukur dengan menggunakan kuesionar, sedangkan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil merupakan variabel dependen yang diambil dari nilai ujian semester II pada mata kuliah Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Analisis yang digunakan adalah korelasi product moment dengan tingkat kesalahan 5 %.
Hasil analisis data motivasi menjadi bidan didapatkan mean = 66,07; modus = 67; standar deviasi = 5,36; nilai tertinggi = 78; nilai terendah = 51, sedangkan pada data  prestasi  belajar  Asuhan  Kebidanan  Ibu  Hamil  didapatkan  mean  =  69,4; modus = 68; standar deviasi = 5,15; nilai tertinggi = 83; nilai terendah = 49. Hasil analisis korelasi product moment didapatkan nilai r = 0,272; p = 0,009, dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dengan tingkat keeratan hubungan rendah antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi D III Kebidanan. Saran yang dikemukakan terhadap mahasiswa adalah diharapkan mampu meningkatkan motivasi didalam dirinya untuk mencapai prestasi yang optimal, sedangkan bagi pendidik dan orang tua diharapkan mampu menumbuhkan motivasi terhadap mahasiswa untuk mencapai prestasi belajar yang optimal.
Kata Kunci : Motivasi menjadi Bidan, Prestasi Belajar, Asuhan Kebidanan Ibu Hamil

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pendidikan    pada    dasarnya    adalah    usaha    sadar    untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka (Syah, 2005).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional  Bab  I Pasal  1  (1),  pendidikan  didefinisikan  sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar  agar  peserta  didik  secara  aktif  mengembangkan  dirinya  untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Syah, 2005).
Tujuan pendidikan nasional itu sendiri menurut TAP MPR No. II Tahun 1998, adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial. Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat    fundamental    dalam    setiap    penyelenggaraan    jenis    dan    jenjang pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan amat bergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik, baik ketika ia berada di lingkungan pendidikan seperti sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 2005).
Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor pendekatan belajar. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi munculnya peserta didik yang berprestasi tinggi atau rendah atau mungkin gagal sama sekali (Syah, 2005).
Intelegensia (IQ) merupakan salah satu faktor internal yang memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk sukses. Selain faktor intelegensi, terdapat faktor lain yang cukup  besar  pengaruhnya  terhadap  prestasi  belajar  siswa  yaitu  motivasi (Syah, 2005).
Motivasi mendorong seseorang untuk bertingkah laku (Uno, 2007). Seseorang  yang  memiliki  motivasi  untuk  sukses  akan  berusaha  untuk mencapai keinginannya tersebut. Tanpa motivasi seseorang akan melakukan kegiatan tanpa terarah dan sungguh-sungguh dan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil (Sukmadinata, 2004).
Motivasi berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman, 2007).
Tumbuhnya motivasi pada seseorang senantiasa dilandasi kesadaran akan diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masing- masing. Motivasi memiliki peranan yang penting ketika seorang peserta didik melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, termasuk melanjutkan pendidikannya ke DIII Kebidanan. Setiap peserta didik memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam melanjutkan jenjang pendidikannya ke DIII Kebidanan. Salah satu motivasinya adalah untuk menjadi seorang bidan.
STIKES ‘merupakan salah satu lembaga pendidikan kesehatan  milik  Pemerintah  Daerah  ‘ Kota  . STIKES
‘berdiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 39/D/O/2005. Program studi D III Kebidanan merupakan salah satu program studi yang terdapat di STIKES
‘. Intensitas motivasi menjadi bidan yang berbeda-beda antara mahasiswa satu dengan yang lainnya berpengaruh terhadap usaha belajar mahasiswa dalam mempelajari materi setiap mata kuliah,  terutama mata kuliah  yang berhubungan langsung dengan tugas bidan, seperti mata kuliah Asuhan Kebidanan Ibu Hamil.
Asuhan Kebidanan Ibu Hamil merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari   mahasiswa   kebidanan   semester   II.   Mata   kuliah   ini   sangat diperlukan  untuk  mendapatkan  pengetahuan  yang  cukup  sebagai  bekal seorang bidan dalam menghadapi pasien di lahan praktek dan di masyarakat setelah lulus nanti.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji “Adakah hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan?”

C.   Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
2. Tujuan khusus

a.   Mengetahui motivasi menjadi bidan pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
b.   Mengetahui  prestasi  belajar  Asuhan  Kebidanan  Ibu  Hamil  pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.

D.   Manfaat Penelitian
Membantu mahasiswa mencapai prestasi belajar yang optimal dengan menumbuhkan motivasi mahasiswa melalui tenaga pendidik, orang tua maupun sesama mahasiswa.
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Motivasi Menjadi Bidan dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada Mahasiswa Kebidanan
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Motivasi Menjadi Bidan dengan Prestasi Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada Mahasiswa Kebidanan

Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa

KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

A. Latar belakang masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
    Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting,  karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
    Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
    Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki  Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
    Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
    Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja
 (Goleman, 2002 : 17). 
    Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
    Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
    Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
    Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMU , yang berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2 kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti :”Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II SMU ”.

B. Rumusan masalah dan Pokok-pokok Bahasan
    Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan Prestasi belajar pada siswa kelas II SMU di ?”
    Pada penelitian ini yang menjadi pokok-pokok bahasan adalah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar
Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh seorang siswa dari kegiatan belajar mengajar dalam bidang akademik di sekolah dalam jangka waktu tertentu.
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan ke arah yang positif.

C. Tujuan Penelitian
    Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU .

D. Manfaat Penelitian
     Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1.    Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi    psikologi pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
2.    Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja untuk menggali kecerdasan emosional yang dimilikinya.


E. Sistematika Skripsi
Sistematika isi dan penulisan skripsi ini antara lain :
Bab I    : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah dan pokok-pokok       bahasan, tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika skripsi
Bab II    : Tinjauan Pustaka
Berisi tentang pengertian belajar, pengertian prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, pengertian emosi, pengertian kecerdasan emosional, indikator kecerdasan emosional, hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar dan hipotesis.
Bab III    : Metodologi Penelitian
Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi    dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis instrumen serta metode analisis data.
Bab IV    : Laporan Penelitian
Berisi tentang laporan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari orientasi kancah penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian serta analisis data penelitian.
Bab V    : Penutup
Berisi tentang  pembahasan hasil penelitian, kesimpulan dan saran dari    peneliti.
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa

Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)

KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang Masalah
Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009).
Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).
Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani, 2007).
Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).
Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009).
Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).
Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009).
Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok (Prasadja,2009).
Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225 miliar batang rokok (Nusantaraku,2009).
Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai 50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).
Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan Kabupaten pada bulan April di beberapa sekolah di wilayah kerjanya, didapatkan hasil bahwa presentasi terbesar perokok remaja terdapat di .Dari 41 siswa yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil,33 orang adalah perokok dan hanya 8 orang saja yang tidak merokok. Dengan kata lain, 80,49% siswa adalah perokok (Data Puskesmas , ).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan  kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur (insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan  jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok ringan.

1.2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi masalah penelitian adalah:
Tingginya angka perokok aktif pada siswa di Kabupaten .Tingginya angka perokok aktif ini dapat meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia) pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .

1.3.    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .
1.3.2    Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada  remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
2.    Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
3.    Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada  remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
4.    Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada  remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten setelah dikontrol oleh variabel stress sebagai perancu.

1.4.    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).
1.4.2    Bagi Sekolah dan Siswa
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.

1.5.    Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1    Ruang Lingkup Tempat
Lingkup tempat penelitian ini adalah di Kabupaten .
1.5.2    Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli .
1.5.3    Ruang Lingkup Sasaran
Penelitian ini ditujukan kepada seluruh siswa Kelas I, II, dan III pada tahun ajaran .
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)

Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Perut dengan Kejadian Hipertensi

KTI SKRIPSI
Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Perut  dengan Kejadian Hipertensi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) tahun 2000, 50% dari penyakit kardiovaskuler disebabkan oleh hipertensi.  Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999 - 2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29% - 31%, yang berarti terdapat 58 - 65 juta penderita hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data tahun 1988 - 1991. (Marssy, 2007)
Di Indonesia, peluang masyarakat menderita hipertensi belum sebesar di Negara maju, namun ancaman penyakit ini tidak boleh diabaikan begitu saja, terlebih bagi masyarakat perkotaan yang mudah mengakses gaya hidup modern yang tidak sehat, seperti banyak mengkonsumsi makanan cepat saji, kebiasaan hidup yang lebih banyak duduk dari pada bergerak bagi kebanyakan masyarakat kota yang bekerja di kantor, dengan gaya hidup tersebut akan menjadi momok yang menakutkan. Pendapat para ahli dari hasil penelitian diperkirakan bahwa penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan terserang penyakit hipertensi adalah 1,8 % - 2,86%. Namun sebagian besar penelitian menyatakan 8,6 % - 10 % persentase penderita di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan sejumlah penderita di pedesaan. (Dalimartha, dkk, 2008)
Hasil penelitaian pada tahun 2000 menunjukkan bahwa atas dasar pengukuran tekanan darah yang dilakukan 34,9% penduduk Indonesia terkena hipertensi. Prevalensi terbesar terdapat di provinsi  dan Kepulauan sebesar 45,0%, terkecil di Papua 24,7%. Dilihat menurut kawasannya, Jawa Bali paling besar prevalensinya 22,24% dan terkecil di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebesar 6,06%. Jadi, wilayah dan Kepulauan memiliki peringkat teratas, kejadian hipertensi pada tahun tersebut. (Marssy, R .2007)
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar tentang seseorang yang menderita penyakit tekanan darah tinggi. Penyakit tekanan darah tinggi dalam bahasa medis disebut hipertensi. Penyakit ini sebagian besar diderita oleh seseorang tanpa merasakan gejala-gejala hipertensi walaupun sudah dalam tahap yang serius. Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut “silent killer” atau pembunuh diam-diam. (Cahyono, 2008)
Salah satu faktor resiko hipertensi adalah obesitas atau kegemukan dimana, berat badan mencapai indeks masa tubuh (IMT) > 27. Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas.  (Rusdi, dkk 2009)
Di samping obesitas, lingkar perut juga merupakan parameter penting untuk menentukan resiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi. Semakin besar lingkar perut seseorang, resiko terjadinya penyakit jantung dan hipertensi pada orang tersebut lebih besar. Para ahli menyimpulkan, setiap penambahan 5 sentimeter pada lingkar pinggang  atau perut, risiko kematian dini akan meningkat antara 13% hingga 17 %. ( Misnadiarly, 2007 )
Berdasarkan sumber yang diperoleh dari bagian Bina dan Rekam Medis RSUD tahun , jumlah penderita yang berkunjung ke instalasi Rawat Jalan Poliklinik Jantung RSUD sebanyak 5.579 orang, yang terlampir pada table 1.1
Tabel 1.1
Distribusi Frekuensi Sepuluh Besar Penyakit Jantung
di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Jantung
RSUD
Tahun
No    Nama Penyakit    Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10    Hipertensi Heart Disease (Hhd)
Hhd Without Congestive Heart Failur
Palpitosions
Hhd With Congestive Heart Failur
Other Chest Pain
Angina Pectoris
Unstable Angina
Atherosclerotic Cardiovasculer Disease
Congestive Heart Failure
Acute Myocardial Infark    1.188
734
616
565
556
424
412
405
389
290
                                       Total                                                  5.579
Sumber : Bina dan Rekam Medik RSUD Tahun
Dari tabel diatas, penyakit hipertensi merupakan penyakit nomor satu dari 10 besar penyakit jantung di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Jantung RSUD , jumlah penderitanya mencapai angka 1.188 orang pada tahun .
Dari pengamatan, penulis menemukan 6 dari 10 pasien yang berkunjung poliklinik jantung RSUD adalah  mereka yang mengalami kelebihan berat badan. Dimana ukuran berat badan tidak seimbang dengan tinggi badan sehingga dapat dikategorikan pada gemuk tingkat ringan  dan gemuk tingkat berat. Kelebihan berat badan dapat dijadikan indikator untuk populasi penderita hipertensi. Kemudian lingkar perut seseorang yang mengalami obesitas sentral (buncit) menurut penulis juga akan beresiko tinggi terserang hipertensi, disebabkan oleh penumpukan lemak dan cairan di rongga perut.
Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan lingkar perut dengan kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung  RSUD .

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan Indeks Masa Tubuh  (IMT) dan lingkar perut dengan kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung RSUD tahun ?”

1.3     Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan lingkar perut dengan kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung  RSUD Tahun .
1.3.2     Tujuan Khusus
1.3.2.1    Untuk mengetahui Indeks Masa Tubuh (IMT) pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung  RSUD .
1.3.2.2    Untuk mengetahui lingkar perut pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung  RSUD .
1.3.2.3    Untuk mengetahui hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung RSUD .
1.3.2.4    Untuk mengetahui hubungan lingkar perut dengan kejadian    hipertensi di instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung RSUD .
  
1.4     Manfaat Penelitian
1.4.1     Peneliti
 Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian ilmiah, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi.
1.4.2     Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan dan dapat menambah wawasan bagi mahasiswa / mahasiswi serta dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penyakit hipertensi.
1.4.3     Institusi Terkait
Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan tentang hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan lingkar perut dengan kejadian hipertensi di poliklinik penyakit dalam  RSUD  dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

1.5    Ruang Lingkup
Oleh karena keterbatasan waktu, biaya dan pengetahuan dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian pada hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT)  dan lingkar perut dengan kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Jalan poliklinik Jantung  RSUD Tahun .Meliputi pengukuran tekanan darah, berat badan, tinggi badan dan lingkar perut responden.
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Perut  dengan Kejadian Hipertensi
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Perut dengan Kejadian Hipertensi

Gambaran Umum Evaluasi Program Perbaikan Gizi yang Dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota

KTI SKRIPSI
Gambaran Umum Evaluasi Program Perbaikan Gizi yang Dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi – tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.
Keadaan gizi yang tidak seimbang dapat mempengaruhi status gizi dan pada akhirnya menimbulkan masalah gizi. Sampai saat ini ada 4 masalah gizi utama yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yaitu kurang energy protein (KEP), anemia gizi besi, kurang vitamin A (KVA), dan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Manifestasi dari masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) adalah berat badan bayi baru lahir yang rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak balita akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor dan selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah.
Dalam hal ini seorang manajer program kesehatan masyarakat dituntut untuk memiliki keterampilan mengkaji dan merumuskan masalah kesehatan masyarakat dan masalah program yang berkaitan dengan kejadian kekurangan gizi. Untuk menghadapi tuntunan perkembangan program di era otonomi daerah, petugas kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan dan Propinsi harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan manajerialnya agar tugas-tugas pokoknya dapat dilaksanakan lebih efisien, lebih efektif, dan produktif.
Upaya untuk mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di masa datang perlu dilakukan dengan segera dan direncanakan sesuai masalah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi. Keadaan ini diharapkan dapat semakin mempercepat sasaran nasional dan global dalam menetapkan program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan.
Sehubungan dengan baru berdirinya Dinas Kesehatn Kota maka pada kegiatan magang kali ini mahasiswa peminatan gizi program studi kesehatan masyarakat fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan ingin melihat dan mengetahui gambaran evaluasi program perbaikan gizi yang ada di Dinas Kesehatan Kota

1.2    Tujuan Kegiatan Magang
1.2.1    Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran umum evaluasi program perbaikan gizi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota tahun .
1.2.2    Tujuan Khusus
1.    Diketahuinya gambaran umum Dinas Kesehatan Kota tahun .
2.    Diketahuinya gambaran umum bagian gizi Dinas Kesehatan Kota tahun .
3.    Diketahuinya gambaran umum program gizi Dinas Kesehatan Kota tahun .
4.    Diketahuinya gambaran evaluasi program perbaikan gizi Dinas Kesehatan Kota tahun .

1.3    Manfaat Kegiatan Magang
1.3.1    Bagi Mahasiswa
1.    Mengerti dan memahami masalah kesehatan masyarakat secara nyata di institusi kerja sebagai kesiapan mahasiswa dalam memasuki dunia kerja.
2.    Mampu mengaplikasikan ilmu dan teori yang diperoleh selama kuliah.
3.    Menambah wawasan dan mampu mengembangkan kompetensi diri serta adaptasi dalam dunia kerja.
4.    Memperoleh pengalaman bekerja dalam sebuah tim (team work) untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan sesuai bidang institusi kerja tempat magang.


1.3.2    Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
1.    Terlaksananya salah satu dari upaya untuk megimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu: akademik, penelitian, pengabdian masyarakat dengan aplikasi nilai-nilai islam di tempat kerja.
2.    Terbinanya suatu jaringan kerja sama yang berkelanjutan dengan institusi magang dalam upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan antara substansi akademik dengan kompetensi sumber daya manusia yang kompetitif dan dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
3.    Meningkatkan  kapasitas dan kualitas pendidikan dengan melibatkan tenaga terampil dari lapangan dalam kegiatan magang.
1.3.3    Bagi Dinas Kesehatan Kota
Memberikan masukan, khususnya dalam mencari solusi masalah kesehatan masyarakat secara proporsional agar dapat memecahkan di Institusi magang.
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Umum Evaluasi Program Perbaikan Gizi yang Dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Umum Evaluasi Program Perbaikan Gizi yang Dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota

Gambaran Tumbuh Kembang pada Balita yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Play Group

KTI SKRIPSI
Gambaran Tumbuh Kembang pada Balita yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Play Group

BABI
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Periode terpenting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Frankenbrurg dkk. (1981) melalui DDST (Denver Developmental Skreening Test) mengemukakan 4 parameter perkembangan yang dipakai dalam menilai perkembangan anak balita yaitu: personal sosial, gerakan motorik halus, bahasa, dan perkembangan motorik kasar(Soetjiningsih, 1995).
Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, bab 1, pasal 1, butir 14, dinyatakan, “Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”
Kondisi SDM Indonesia berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) pada bulan Maret 2002 menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12, terbawah di kawasan ASEAN yaitu setingkat di bawah Vietnam. Rendahnya kualtias hasil pendidikan ini berdampak terhadap rendahnya kualtias sumber daya manusia Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini tentunya sulit bagi bangsa Indonesia untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pembangunan sumber daya manusia yang dilaksanakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan sebagainya, dimulai dengan pengembangan anak usia dini yang mencakup perawatan, pengasuhan dan pendidikan sebagai program utuh dan dilaksanakan secara terpadu. Pemahaman pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai langkah dasar bagi pengembangan sumber daya manusia juga telah dilakukan oleh bangsa-bangsa ASEAN lainnya seperti Thailand, Singapura, termasuk negara industry Korea Selatan. Bahkan pelayanan pendidikan anak usia dini di Singapura tergolong paling maju apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Di Indonesia pelaksanaan PAUD masih terkesan ekslusif dan baru menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah dilaksanakan di Indonesia sejak lama, namun hingga tahun 2000 menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan perawatan dan pendidikan masih rendah. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa dari sekitar 26,2 juta anak usia 0-6 tahun yang telah memperoleh layanan pendidikan dini melalui berbagai program baru sekitar 4,5 juta anak (17%). Kontribusi tertinggi melalui Bina Keluarga Balita (9,5%), Taman Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%). Sedangkan melalui penitipan anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing sangat kecil yaitu sekitar 1% dan 0,24% (Dida, 2010).
Masih rendahnya layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini saat ini antara lain disebabkan masih terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan dini jika dibanding dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan tersebut. Berbagai program yang ada baik langsung (melalui Bina Keluarga Balita dan Posyandu) yang telah ditempuh selama ini ternyata belum memberikan layanan secara utuh, belum bersinergi dan belum terintegrasi pelayanannya antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi. Padahal ketiga aspek tersebut sangat menentukan tingkat intelektualitas, kecerdasan dan tumbuh kembang anak (Dida, 2010).
Angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia masih rendah yakni di bawah 20. Padahal, negara-negara dengan penghasilan rendah sekalipun telah memiliki angka partisipasi rata-rata 24. Dengan angka itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah tingkat partisipasi PAUD di dunia.
Menurut Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (Dirjen PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Gutawa, Indonesia masih di bawah 20, padahal di negara dengan penghasilan rendah lainnya telah mencapai 24. Di bandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, angka partisipasi PAUD di Indonesia juga masih di bawah.
Di Indonesia tahun 2005 tercatat ada 28 juta anak usia 0-6 tahun. Jumlah anak usia PAUD yakni 2-4 tahun mencapai 11,8 juta. Dari jumlah tersebut, yang ikut PAUD baru sekitar 10,10. Dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73 persen atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini. Sedangkan sisanya, 27 persen atau sekitar 7,5 juta anak, sudah mengenyam pendidikan usia dini seperti membaca dan berhitung yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak (TPA).
Masih banyak kendala yang dihadapi dalam meningkatkan paritipasi PAUD di Indonesia. Banyak orang tua yang belum memahami pentingnya PAUD. Meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan anak usia dini di Indonesia, PAUD masih menghadapi banyak problem yang kompleks dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Persoalan tersebut antara lain:ekonomi lemah,kualitas asuhan rendah,kualitas PAUD rendah, program intervensi orang tua rendah (Depdiknas, 2008).
Angka partisipasi kasar secara nasional  PAUD baru 50,03 % dari 29,8 juta anak di Indonesia. Rendahnya partisipasi ini lebih disebabkan oleh kesadaran orang tua terhadap keberadaan PAUD sebagai salah satu fase pendidikan sebelum masuk pada TK dan SD. Terlebih di pelosok, PAUD belum familiar (Partisipasi Terhadap PAUD Tendah, 2010).
Perilaku bermasalah anak pada aspek personal sosial menyangkut beberapa permasalahan, yaitu: pendiam, pemalu, minder, citra diri, yang negatif, egois, sulit berteman (bersosialisasi), menolak realitas (suka membuat kegaduhan), bersikap kaku (tidak obyektif), dan membenci guru tertentu. Dengan PAUD diharapkan dapat memberikan perubahan tumbuh kembang anak terutama pada aspek personal sosial sehingga anak lebih percaya diri, pandai bersosialisasi, dan memiliki kemandirian (Suyadi, 2010).
Perkembangan anak usia dini memang menarik untuk diikuti, terlebih pada usia tersebut merupakan “golden age” dimana peran lembaga PAUD sangat berperan didalamnya untuk membangun kecerdasan anak, hal ini dikemukakan Hj Wiwik Nurianti Suyanto, selaku ketua forum PAUD Kabupaten namun orang tua belum begitu tertarik untuk mendaftarkan anaknya untuk mengikuti PAUD.
 Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di PAUD Play Group pada tanggal 2 Maretyang dilakukan wawancara secara langsung pada orang tua dan balita di PAUD Play Group , penulis mendapatkan 27 populasi balita di PAUD Play Group .Terdapat 24 balita yang aktif  secara kontinyu mengikuti program PAUD,  balita tersebut terlihat antusias mengikuti berbagai kegiatan, mereka terlihat lebih percaya diri dalam bergaul dengan temannya dibandingkan dengan 3 balita yang tidak aktif mengikuti PAUD yang terlihat takut bergaul dengan teman.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Gambaran Tumbuh Kembang Pada Balita yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Di Play Group ”.

1.2    Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran tumbuh kembang pada balita yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) di play group ?

1.3    Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran tumbuh kembang pada balita yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) di play group .

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi Tempat Penelitian
Memberi masukan informasi tentang tumbuh kembang personal sosial terutama pada balita sehingga dapat memberikan pendidikan yang tepat bagi anak usia dini dengan penyusunan metode ataupun yang tepat untuk pembelajaran di PAUD.
1.4.2    Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan, wacana dan pengetahuan tentang tumbuh kembang personal sosial balita yang mengikuti PAUD guna menambah kasanah pengetahuan, sehingga mahasiswa mempunyai wawasan yang lebih luas.
1.4.3    Bagi Peneliti
Sebagai bahan latihan berpikir ilmiah sehingga dapat memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi dengan pola pikir ilmiah dan sebagai bahan kajian tumbuh kembang personal sosial balita dengan menggunakan  DDST yang telah didapatkan diteori selama perkuliahan sehingga mampu menerapkan dalam kebidanan.
1.5    Sistematika Penulisan
Uraian dalam proposal Karya Tulis Ilmiah ini dibagi menjadi 3 bab. Adapun yang terkandung dalam masing-masing bab adalah sebagai berikut:
BAB I     :    Berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II     :    Berisi tentang kajian teoritik atau landasan teori yang terdiri dari pembahasan tentang tumbuh kembang, pendidikan anak usia dini, kerangka konsep.
BAB III     :    Berisi tentang metodologi penelitian yang terdiri dari desain penelitian, populasi, sampel dan sampling, kriteria sampel, identifikasi variabel, definisi operasional, lokasi dan waktu penelitian, pengumpulan data dan analisa data, teknik pengolahan data, alat ukur yang digunakan, etika penelitian, keterbatasan peneliti, dan jadwal kegiatan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Tumbuh Kembang pada Balita yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Play Group
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Tumbuh Kembang pada Balita yang Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Play Group

Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif

KTI SKRIPSI
Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
Pemberian air susu ibu (ASI) sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu, pemberian ASI perlu mendapat perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar proses menyusui dapat terlaksana dengan benar (Afifah, 2007). Selain itu, pemberian ASI dapat menurunkan risiko kematian bayi (Nurmiati, 2008).
Pemberian ASI eksklusif adalah langkah awal bagi bayi untuk tumbuh sehat dan terciptanya sumber daya manusia yang tangguh, karena bayi tidak saja akan lebih sehat & cerdas, tetapi juga akan memiliki emotional quotion (EQ) dan social quotion (SQ) yang lebih baik (Sentra Laktasi Indonesia, 2007). Berdasarkan laporan 500 penelitian, The Agency for Healthcare Research and Quality menyatakan bahwa pemberian ASI berhubungan dengan pengurangan resiko terhadap otitis media, diare, infeksi saluran pernafasan bawah, dan enterokolitis nekrotikans (Massachusetts Department of Public Health Bureau of Family Health and Nutrition, 2008).
Namun pada kenyataannya, pengetahuan masyarakat tentang ASI eksklusif masih sangat kurang, misalnya ibu sering kali memberikan makanan padat kepada bayi yang baru berumur beberapa hari atau beberapa minggu seperti memberikan nasi yang dihaluskan atau pisang. Kadang- kadang ibu mengatakan air susunya tidak keluar atau keluarnya hanya sedikit pada hari-hari pertama kelahiran bayinya, kemudian membuang ASI-nya tersebut dan menggantikannya dengan madu, gula, mentega, air atau makanan lain.
Di negara berkembang, lebih dari sepuluh juta balita meninggal dunia pertahun, 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan masalah gizi yang sebenarnya dapat dihindarkan. Penelitian di 42 negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang mempunyai dampak positif terbesar untuk menurunkan angka kematian balita, yaitu sekitar 13%. Pemberian makanan pendamping ASI yang benar dapat menurunkan angka kematian balita sebesar 6%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perilaku memberikan ASI secara eksklusif pada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan dapat menurunkan angka kematian 30.000 bayi di Indonesia tiap tahunnya (Sentra Laktasi Indonesia, 2007).
Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003, hanya 3, 7 % bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama, sedangkan pemberian ASI pada usia 2 bulan pertama 64%, yang kemudian menurun pada periode berikutnya umur 3 bulan 45,5 %, pada usia 4-5 bulan 13,9% dan umur 6-7 bulan 7,8 %. Sementara itu ada peningkatan penggunaan pengganti air susu ibu (PASI) yang biasa disebut formula atau susu formula tiga kali lipat dalam kurun waktu 1997 dari 10,8% menjadi 32,4 % pada  tahun 2002, hali ini mungkin diakibatkan kurangnya pemahaman, dukungan keluarga dan lingkungan akan pemberian ASI secara eksklusif (Tjipta, 2009).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ” Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan  Terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP Tahun ”, sehingga nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan penyuluhan kepada ibu – ibu hamil mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi.

1.2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran tingkat pengetahuan ibu pasca melahirkan terhadap pentingnya pemberian ASI eksklusif di RSUP tahun .

  
1.3.    Tujuan Penelitian
1.3.1.    Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu-ibu pasca melahirkan terhadap pentingnya pemberian ASI eksklusif di RSUP Tahun .

1.3.2.    Tujuan Khusus
Tujuan – tujuan penelitian ini antara lain:
1    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan terhadap pentingnya ASI eksklusif berdasarkan karakteristik umur ibu-ibu pasca melahirkan di RSUP Tahun .
2    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan terhadap pentingnya ASI eksklusif berdasarkan karakteristik jenjang pendidikan ibu-ibu pasca melahirkan di RSUP Tahun.
3    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan terhadap pentingnya ASI eksklusif berdasarkan karakteristik jumlah anak ibu-ibu pasca melahirkan di RSUP Tahun .

1.4.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk:
1.    Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan memberikan informasi bagaimana gambaran tingkat pengetahuan ibu terhadap pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi.
2.    Manfaat penelitian ini bagi masyarakat, ibu – ibu pasca melahirkan sebagai responden, diharapkan dapat memperluas pengetahuan terhadap pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi  dan sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan pengetahuan ibu terhadap pentingya pemberian ASI eksklusif pada bayi.
3.    Bahan masukan dan evaluasi pertimbangan bagi RSUP dalam menyusun kebijakan pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan upaya pemberian ASI eksklusif.
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif

Gambaran tentang Faktor Resiko Hipertensi di Puskesmas

KTI SKRIPSI
Gambaran tentang Penderita TB Paru di Puskesmas

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah  
Hipertensi atau tekanan darah tinggi termasuk penyakit dengan prevalensi terbesar di seluruh dunia. Kondisi ini menjadi tantangan dalam kesehatan masyarakat, karena tingginya morbiditas dan mortalitas, serta biaya yang harus dikeluarkan pasien. Selama beberapa dekade, walaupun telah dilakukan berbagai penelitian, pelatihan serta edukasi pada masyarakat dan dokter, prevalensi penyakit ini tetap meningkat. Hal ini dikarenakan, belum ada perubahan yang berarti dari gaya hidup di masyarakat saat ini.14
Berdasarkan laporan WHO dan CDC (2002), diperkirakan penderita hipertensi di seluruh dunia berjumlah 600 juta orang, dengan 3 juta kematian setiap tahun. Di Amerika diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi, dan stroke merupakan masalah utama. Oleh sebab itu, Amerika telah mengharuskan penduduk yang berusia di atas 20 tahun untuk memeriksakan tekanan darahnya minimal 1 kali dalam 2 tahun. 13,15
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga RI tahun 2001, data Pola Penyebab Kematian Umum di Indonesia, penyakit jantung dan pembuluh darah dianggap sebagai pembunuh no 1 di Indonesia.  Hasil survey juga menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan pria. 3,9
Di Indonesia, menurut Prof. dr. Syakib Bakri, Sp. PD-KGH dari Universitas Hasanudin dari hasil wawancara tahun 2008, Makassar, secara umum pada orang dewasa di atas 20 tahun, prevalensinya adalah sekitar 15-20%. Tetapi berdasarkan  prevalensi perkelompok usia, semakin tua usia, semakin besar risiko hipertensi. Sehingga prevalensi di atas usia 70 tahun itu sekitar 70 %, di atas 60 tahun 50% dan di atas 40 tahun 30%.14
Faktor risiko hipertensi meliputi faktor genetik, karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin dan ras, serta faktor lain seperti asupan natrium, obesitas dan stress. Faktor lingkungan sosiodemografi seperti sosial ekonomi, dan penuaan populasi juga berperan penting terhadap kejadian hipertensi melalui mekanisme pola diet, aktifitas fisik, stress, dan akses pelayanan kesehatan. 15
Penelitian menunjukkan bahwa sampai saat ini hipertensi masih under diagnosis, under treatment, dan belum tercapai pengendalian tekanan darah yang optimal pada penderita yang diberi terapi. Hipertensi disebut juga sebagai silent disease karena tidak menunjukkan gejala; sekitar 32% penderita hipertensi tidak menyadari bahwa mereka mengalami hipertensi. Hipertensi memiliki potensi untuk menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar. Hipertensi dapat dicegah jika faktor-faktor resikonya lebih awal dikendalikan. Pendeteksian dini dan kepatuhan minum obat bagi penderita hipertensi adalah kunci untuk mengendalikan hipertensi.5,9
Untuk Puskesmas sendiri, menurut laporan tahun hipertensi masuk ke dalam kelompok sepuluh penyakit terbanyak. Hipertensi berada di urutan ke tujuh dengan presentasi sebesar 3,6% dari 7721 angka kesakitan yang ada di puskesmas ini.11
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi penyakit hipertensi di Puskesmas Periode Januari – Desember

Rumusan Masalah
Pengendalian terhadap faktor resiko hipertensi dan kepatuhan pengobatan merupakan sentral dari pengendalian kasus hipertensi dan pencegahan terhadap komplikasi yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kec. ini dilakukan untuk mengetahui :
Bagaimanakah distribusi penyakit hipertensi menurut golongan umur di Puskesmas ?
Bagaimanakah distribusi penyakit hipertensi menurut jenis kelamin di Puskesmas ?
Bagaimanakah distribusi penyakit hipertensi menurut derajat hipertensi di Puskesmas ?
Bagaimanakah distribusi derajat hipertensi berdasarkan golongan umur di Puskesmas ?
Bagaimanakah distribusi derajat hipertensi berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas ?

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum.
Untuk memperoleh informasi mengenai distribusi penyakit hipertensi di Puskesmas , Periode Januari – Desember .

Tujuan Khusus.
Untuk mengetahui jumlah penderita hipertensi di Puskesmas .
Untuk mengetahui distribusi penyakit hipertensi berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Untuk mengetahui distribusi penyakit hipertensi berdasarkan pembagian derajat hipertensinya.
Untuk mengetahui distribusi derajat hipertensi berdasarkan golongan umur.
Untuk mengetahui distribusi derajat hipertensi berdasarkan jenis kelamin.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah daerah mengenai distribusi penyakit hipertensi di Puskesmas .
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan mengenai distribusi penyakit hipertensi di Puskesmas dalam pengendalian terhadap faktor-faktor risiko serta pencegahan terhadap komplikasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti lain, mengenai distribusi penyakit hipertensi di Puskesmas .
Hasil penelitian ini bermanfaat dalam penyelesaian studi peneliti dan berguna untuk kemajuan dalam penelitian di bidang kedokteran.
Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti sendiri dalam rangka memperluas wawasan mengenai kesehatan dan pengembangan kemampuan peneliti terutama di bidang penelitian.
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran tentang Penderita TB Paru di Puskesmas
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran tentang Faktor Resiko Hipertensi di Puskesmas

Gambaran Status Gizi Anak di Panti Asuhan

KTI SKRIPSI
Gambaran Status Gizi Anak di Panti Asuhan

ABSTRAK
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Pada anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak. Menurut Centers for Disease Control (CDC), status gizi pada anak terbagi atas gizi baik, malnutrisi ringan, malnutrisi sedang, malnutrisi berat, overweight, dan obesitas.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Penelitian ini bertujuan untuk menilai status gizi anak Panti dengan menggunakan baku yang telah tersedia dari grafik CDC-NCHS 2000 berdasarkan ketentuan eid indeks dari BB/TB melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan anak panti asuhan. Populasi penelitian adalah seluruh anak-anak di Panti pada tahun yang berjumlah 104 orang. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode total sampling. Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS untuk dianalisa secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan grafik.
Dari penelitian ini didapatkan sebagian besar anak memiliki status gizi baik dengan jumlah 80 orang (76,9%), kemudian anak dengan status gizi malnutrisi ringan sebanyak 15 orang (14,4%) dan sisanya adalah anak yang overweight sebanyak 9 orang (8,7%). Sedangkan malnutrisi sedang, malnutrisi berat, dan obesitas tidak ditemukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panti asuhan telah baik dalam menangani masalah gizi anak-anak panti asuhan.
Kata Kunci: Status Gizi, Anak, Panti Asuhan

Nutrition holds an important key in human's life cycle. In children, malnutrition will cause growing and development disorder and the consequences will continue until adulthood if this problem left untreated. In order to know the malnutrition status of a child, an assessment of nutrition status is done, which is one of child’s growth indicator. According to Centers for Disease Control (CDC), pediatric nutrition status consists of good nutrition status, mild malnutrition status, moderate malnutrition status, severe malnutrition status, overweight, and obesity.
This is a descriptive research with cross-sectional design. The purpose of this research is to assess the nutrition status of the children from Orphanage, using the standard provided by CDC-NCHS 2000 graphic based on weight-by-height eid-index through measuring body weight and height of the children in the orphanage. The research population is all of the children from Orphanage, with a total of 104 people by the year .The research sample is taken through using total sampling method. The data obtained were explored through the help of SPSS, to present a descriptive analysis in the form of distribution frequency tables and graphics.
The result shows that most of the children have a good nutrition status, which is a total of 80 chidren (76.9%), 15 children have mild malnutrition status (14.4%), and the rest of the 9 children are overweight (8.7%). While moderate malnutrition, severe malnutrition, and obesity were not found in the given result.
The result of the experiment proves that the orphanage have handled the children’s problem of nutrition well.

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Pada anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak. Menurut Centers for Disease Control (CDC), status gizi pada anak terbagi atas gizi baik, malnutrisi ringan, malnutrisi sedang, malnutrisi berat, overweight, dan obesitas.
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluput dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya usia harapan hidup (Atmarita, 2004 yang dikutip oleh Simarmata, 2009).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28% dari jumlah anak Indonesia. Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5% (1989) menjadi 24,6% (2000).
Demikian halnya dengan status gizi buruk pada anak-anak di .pada tahun 2003 yang tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 12,35% dan gizi kurang 18,59%. Gizi kurang pada anak akan menghambat pertumbuhan dan kurangnya zat tenaga dan kurang protein (zat pembangun) sehingga perlu diperhatikan menu yang seimbang khususnya pada anak-anak untuk pencapaian Indonesia Sehat 2010 (Adisasmito W., 2007 yang dikutip oleh Habeahan, 2009)
Indonesia Sehat 2010 merupakan visi pembangunan nasional yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan. Visi pembangunan gizi adalah
mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat atau keluarga yang optimal (Dinkes, 2006).
Data-data di atas terdapat pada populasi yang umum. Namun demikian, status gizi anak yang hidup di panti asuhan belum banyak diketahui. Panti asuhan adalah sebuah wadah yang menampung anak-anak yatim piatu. Di mana anak¬anak yatim piatu (ataupun anak yang dititipkan orang tuanya karena tidak mampu) biasanya tinggal, mendapatkan pendidikan, dan juga dibekali berbagai keterampilan agar dapat berguna di kehidupannya nanti (Habeahan, 2009)
Daly, et al. (1979) mengutarakan bahwa konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai faktor dimensi yang sangat kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu asupan makanan dan tingkat kesehatan. Asupan makanan dipengaruhi oleh pendapatan (dana yang tersedia), makanan, dan tersedianya bahan makanan. Sedangkan tingkat kesehatan dipengaruhi oleh pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat (sanitasi), termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Supariasa, 2002).
Di Indonesia sebagaimana halnya dengan negara-negara berkembang lainnya, masalah kesehatan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh dua persoalan utama yaitu keadaan gizi yang tidak baik dan merajalelanya penyakit infeksi (Moehji, 1992 yang dikutip oleh Nasution R.E.S., 2007).
Antara kecukupan gizi dan penyakit infeksi terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik dan sangat erat. Gizi yang buruk dapat menyebabkan terjadinya infeksi karena daya tahan tubuh menurun. Sebaliknya pula, penyakit infeksi yang sering diderita akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan zat gizi sedangkan nafsu makan menurun sehingga dapat mengakibatkan anak yang gizinya baik akan menderita gangguan gizi (Sajogyo, 1986 yang dikutip oleh Nasution R.E.S., 2007).
Dari penjelasan di atas, ada beberapa faktor yang mungkin muncul pada anak panti asuhan dibandingkan dengan populasi anak pada umumnya, mengingat panti asuhan dikelola sebagai tempat pengasuhan anak secara berkelompok, berbeda dengan anak-anak yang berada dalam tatanan rumah tangga yang diasuh secara langsung oleh ibu rumah tangga (anggota rumah tangga). Akibatnya pengasuhan dan perhatian terhadap nutrisi dan kesehatan mereka masing-masing secara langsung kurang, sehingga kemungkinan angka  malnutrisi tinggi. Demikian pula perbandingan jumlah anak yang lebih besar daripada jumlah pengasuh, sehingga perhatian terhadap status gizi pun akan lebih rendah. Kemungkinan lain berupa masalah dana yang rendah sehingga kebutuhan gizi tidak sebanding dengan asupan yang diterima anak-anak panti asuhan.
Terkait dengan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran status gizi anak panti asuhan.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran status gizi anak di Panti .

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Menilai status gizi anak Panti
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1.    Mengukur berat badan dan tinggi badan anak Panti
2.    Mengetahui ada tidaknya gizi kurang (malnutrisi) pada anak Panti
3.    Mengetahui distribusi status gizi anak Panti berdasarkan usia dan jenis kelamin

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: a. Bagi peneliti:
1.    untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh semasa perkuliahan,
2.    dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat,
3.    dapat meningkatkan kemampuan dalam menerapkan pengetahuan statistik  ke dalam penelitian,
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Status Gizi Anak di Panti Asuhan
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Status Gizi Anak di Panti Asuhan

Gambaran Sikap Remaja terhadap Bahaya Seks Bebas di Sekolah

KTI SKRIPSI
Gambaran Sikap Remaja terhadap Bahaya Seks Bebas di Sekolah

ABSTRAK
Masa remaja adalah periode yang paling rawan dalam kehidupan seorang manusia, di mana pada masa ini individu tengah berada dalam masa transisi antara masa anak-anak dengan masa orang dewasa. Tidak sedikit permasalahan permasalahan dalam kehidupan remaja, terutama dalam masa kesehatan reproduksi. Salah satu masalah kesehatan reproduksi remaja yang semakin meningkat setiap tahunnya yaitu mengenai seks bebas. Penelitian yang dilakuakan oleh Synovate Research (September, 2004) tentang prilaku seksual remaja dengan jumlah sampel 450 remaja di 4 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan mengemukakan 44% remaja telah melakukan hubungan seks pada usia   16 -18 tahun. Sementara 16 % lainnya melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun.Di Jawa Barat, Pekerja seks komersial (PSK) yang mencapai sekitar 250 orang dari sekitar 3899 orang yang mengidap HIV / AIDS. Secara umum pengidap HIV/AIDS didominasi oleh kalangan remaja yang berusia antara 15-29 tahun sebanyak 58%. Tertularnya HIV/AIDS terbanyak melalui jarum suntik atau pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) yang mencapai 2747 orang dan seks bebas sebanyak 840 orang (Sumber Harian Seputar Indonesia, Jum’at 12 Desember 2008). Jumlah kasus HIV/AIDS di kota merupakan wilayah kedua terbanyak, dengan 187 kasus. Dalam kurun waktu 2004-2007, jumlah pengidap HIV di Kota mencapai 558 orang, sedangkan penderita AIDS 441 orang ungkap Direktur Program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Sehati, Novan Andri Purwansjah di ..........
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sikap remaja terhadap bahaya seks bebas di tahun .
Penelitian ini menggunakan data primer. Responden penelitian adalah siswa-siswi yang berjumlah 41 orang. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariat.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh responden mempunyai sikap positif terhadap bahaya seks bebas.
Mengacu pada hasil penelitian ini, perlunya diadakan pembelajaran mengenai seks di sekolah untuk lebih memperkenalkan kepada murid. Dan diharapkan orang tua dan guru mampu menanamkan maral agama sedini mungkin kepada anak atau murid agar kelak dapat membentangi hidup mereka dari perubahan-perubahan yang buruk.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Konfrensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Intrnational Conference on Population and Developmen) tahun 1994 di Kairo mengeluarkan program aksi mengenai kependudukan dan pembangunan. Salah satu program aksi itu adalah hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi. Kelompok sasaran dalam program aksi tersebut tidak hanya kelompok pasangan usia subur, namun juga remaja (Hidayat, 1999)
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pada masa ini terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang cepat, baik fisik mental maupun psikososial. World Health Organization (WHO) membedakan dua kelompok usia kaum muda yaitu 10 – 19 tahun sebagai (adolescence), dan 15 – 24 tahun sebagai (youth).
Perubahan alamiah dalam diri remaja sering berdampak pada permasalahan remaja yang serius. Pada hakekatnya permasalahan yang dihadapi remaja bersumber pada perubahan organo-biologik akibat pematangan         organ-organ reproduksi yang sering tidak diketahui oleh remaja itu sendiri. Perubahan ini akan memberikan dorongan psikologis dan emosional tertentu yang tidak jarang menimbulkan kebingungan dalam diri remaja serta orang disekitar remaja seperti orang tua, guru, atau teman sebayanya (Soejati, 2001). Oleh karena itu, remja perlu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang akan dialaminya sehingga tidak trejebak dalam konflik yang akhirnya akan mengganggu proses perkembangan remaja itu sendiri.
Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai kesempatan dan seringkali menghadapi risiko-risiko kesehatan reproduksi. Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial terhadap remaja semakin menjadi perhatian di seluruh penjuru dunia. Risiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan misalnya tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidak setaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup yang populer.
Masalah kesehatan reproduksi remaja yang semakin meningkat setiap tahunnya yaitu hubungan seks bebas. Topik penelitian tentang masalah keshatan reproduksi remaja khususnya seks bebas mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Penelitian yang dilakuakan oleh Synovate Research (September, 2004) tentang prilaku seksual remaja dengan jumlah sampel 450 remaja di 4 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan mengemukakan 44% remaja telah melakukan hubungan seks pada usia 16 -18 tahun. Sementara 16 % lainnya melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun.
Di Jawa Barat, Pekerja seks komersial (PSK) yang mencapai sekitar 250 orang dari sekitar 3.899 orang yang mengidap HIV / AIDS. Secara umum pengidap HIV/AIDS didominasi oleh kalangan remaja yang berusia antara 15-29 tahun sebanyak 58%. Tertularnya HIV/AIDS terbanyak melalui jarum suntik atau pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) yang mencapai 2.747orang dan seks bebas sebanyak 840 orang (Sumber Harian Seputar Indonesia, Jum’at 12 Desember 2008)
Jumlah kasus HIV/AIDS di kota merupakan wilayah kedua terbanyak, dengan 187 kasus. Dalam kurun waktu 2004-2007, jumlah pengidap HIV di Kota mencapai 558 orang, sedangkan penderita AIDS 441 orang ungkap Direktur Program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Sehati, Novan Andri Purwansjah di .
Dengan tingginya dampak dari pergaulan dan seks bebas khususnya di kota , maka penulis sangat tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap remaja terhadap bahaya seks bebas. Dan penulis mencoba mengambil sampel pada remaja di di kota .

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, mendorong penulis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan sikap remaja terhadap bahaya seks bebas.

1.3    Pertanyaan Penelitian
1.3.1    Bagaimanakah gambaran sikap remaja terhadap bahaya seks bebas di tahun ?
1.3.2    Bagaimana gambaran jenis kelamin remaja di tahun ?
1.3.3    Bagaiman gambaran umur remaja di tahun ?
1.3.4    Bagaimana gambaran pengetahuan remaja di tahun ?
1.3.5    Bagaimana gambaran keterpaparan media informasi yang diperoleh remaja di tahun ?

1.4    Tujuan Penelitian
1.4.1    Tujuan Umum
Mengetahui gambaran sikap remaja terhadap bahaya seks bebas                   di tahun
1.4.2    Tujuan Khusus
1.4.2.1    Diperoleh frekuensi sikap remaja terhadap bahaya seks bebas          di tahun .
1.4.2.2    Diperoleh distribusi frekuensi jenis kelamin remaja di tahun .
1.4.2.3    Diperoleh distribusi frekuensi umur remaja di tahun .
1.4.2.4    Diperoleh distribusi frekuensi pengetahuan remaja di tahun .
1.4.2.5    Diperoleh distribusi frekuensi keterpaparan media informasi remaja di tahun .

1.5    Manfaat Penelitian
1.5.1    Bagi Sekolah
Meningkatkan pemahaman akan pentingnya pendidikan seks pada remaja dan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan remaja mengenai bahaya seks bebas.
1.5.2    Bagi Institusi
        Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa dan staf  pengajar, serta sbagai bahan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan sikap remaja terhadap bahaya seks bebas.
1.5.3    Bagi Peneliti
        Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian, meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyaraka, dan mengembangkan daya nalar, minat  dan kemampuan dalam bidang penelitian.
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Sikap Remaja terhadap Bahaya Seks Bebas di Sekolah
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Sikap Remaja terhadap Bahaya Seks Bebas di Sekolah

Gambaran Prilaku Ibu Mengenai Status Gizi Buruk pada Balita

KTI SKRIPSI
Gambaran Prilaku Ibu Mengenai Status Gizi Buruk pada Balita

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan. Masalah gizi erat kaitannya dengan kemiskinan,  masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index ( HDI ). (Suruni, 2006)
Sekitar 37,3 juta penduduk  di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, separuh dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi.Gizi yang baik adalah gizi yang seimbang, artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya masing-masing. Nutrisi yang baik akan ikut membantu pencegahan terjadinya penyakit yang akut dan kronik. Keseimbangan antara asupan dan kebuuhan zat gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya. (Supariasa, 2001).
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs), menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara sudah harus bisa menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Salah satu dari tujuan MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita sebesar 20% tiap tahunnya. (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007)
Di Indonesia Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk pun telah disusun dan kemudian digulirkan sejak pertengahan tahun 2005 lalu. Salah satu sasarannya adalah menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20 persen (termasuk penurunan prevalensi gizi buruk menjadi 5 persen) pada tahun 2009. (Martinah, 2008)
Prevalensi gizi buruk balita  cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara nasional, pada tahun 2008 sebanyak 110 kabupaten/kota di Indonesia mempunyai peningkatan prevalensi gizi buruk sebesar 30%, yang menurut World Health Organization (WHO) dikelompokkan sangat tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena mengancam kualitas sumber daya manusia kita di masa mendatang dan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Rendahnya IPM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk. (Martinah, 2008)
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Anwar (2006) di Lombok Timur. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antr pegetahuan ibu dengan status gizi balita. Ibu dengan pengetahuan gizi rendah beresiko lebih tinggi memiliki balita gizi buruk dibandingan ibu dengan pengetahuan gizi baik. (Anwar,2006)
Berdasarkan hasil penelitian Suwiji (2006) di Kabupaten Blora, terdapat hubungan yang bermakna pola asuh terhadap status gizi balita. Pola asuh pada balita meliputi praktek pemberian makanan atau minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI, praktek penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI (Suwiji,2006)
Menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada 2004 jumlah balita gizi buruk 1.528.676 anak. Dan pada tahun 2005 jumlah itu turun berkurang 13,7 persen menjadi 1.319.247 balita yang menderita gizi buruk.
Penurunan prevalensi gizi buruk di provinsi Klaimantan Timur adalah 19,4%  pada tahun 2007, hampir mencapai standar nasional yaitu 20%. Tetapi di antar 13 kabupaten atau kota yang ada di Kalimantan Timur, terdapat 4 kabupaten atau kota yang belum mencapai target nasional yaitu Bulungan, Nunukan, Kutai Barat dan (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007)
Salah satu kabupaten yang belum mencapai target nasional dalam hal penurunan status gizi buruk adalah Kabupaten .Pada tahun 2007, prevalensi status gizi buruk pada balita di wilayah adalah 5,7 persen balita mengalami gizi buruk. Angka ini belum mencapai standar nasional yaitu 20%. (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007)
Salah satu kecamatan di yang memiliki jumlah balita gizi buruk tertinggi adalah Kecamatan .Pada tahun , di wilayah terdapat 14 balita gizi buruk dari 182 balita atau sebesar 7,69%. (Profil Dinas Kesehatan , )
Terdapat 8 desa di Kecamatan yaitu Desa , Desa Kelinjau Ilir, Gemar Baru, Senyiur, Muara Dun, Long Nah, Long Tesaq dan Long Poq. Desa yang memiliki jumlah balita gizi buruk terbanyak adalah desa 13 balita gizi buruk dari 182 balita atau sebesar 7,14% pada tahun .(Buku Register Gizi Puskesmas , )
Tingkat pendidikan ibu yang rendah dan kurangnya informasi ibu mengenai pendidikan gizi, menyebabkan pengetahuan ibu rendah mengenai gizi.
Sikap ibu disini maksudnya persepsi masyarakat terhadap penanganan gizi buruk, pandangan masyarakat terhadap manfaat dan pelayanan yang diberikan puskesmas maupun posyandu. Sebagian besar masyarakat malas untuk datang walaupun hanya sekedar untuk menimbang balita mereka ke posyandu yang hanya satu bulan sekali.
Pola asuh balita di wilayah tersebut para ibu balita cenderung kurang memperhatikan para balita mereka seperti kurangnya para ibu merawat, menjaga, memberi makan, hygen balita,dan  memperhatikan balita nya agar senantiasa terjaga dan terawat.
Pengaruh budaya yang masih sangat kental diwilayah ini membuat para ibu yang memiliki balita cenderung terus-menerus mewarisi tradisi tersebut seperti halnya seorang ibu yang memberikan MP-ASI kepada bayi yang masih berusia 2 hari, selain itu juga terdapat kebiasaan makan yaitu setelah orang tua selesai makan baru balita diberi makan dengan menu yang sama dari orang tua untuk balita. Tidak ada perbedaan menu makan bagi orang tua dan balita.
Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di Desa kecamatan Kabupaten .

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari latar belakang, maka dirumuskan masalah bagaimana prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di desa Kecamatan tahun .

C.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk mengeksplorasi prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di desa Kecamatan Kabupaten tahun .
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengidentifikasi sikap ibu yang memiliki balita gizi buruk di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
b.    Untuk mengidentifikasi pengetahuan gizi ibu yang memiliki balita gizi buruk di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
c.    Untuk mengidentifikasi pola asuh ibu terhadap status gizi balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .
d.    Untuk mengidentifikasi budaya setempat terhadap status gizi balita di Desa Kecamatan Kabupaten tahun .

D.    Manfaat Penelitian
1.    Bagi Ibu dan Balita
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang status gizi buruk khususnya pada balita di wilayah desa Kecamatan .
2.    Bagi  jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini dapat di jadikan referensi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya di bidang penentuan status gizi.
3.    Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan gizi buruk pada balita khususnya di wilayah desa Kecamatan .
4.    Bagi Peneliti
Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian khususnya tentang status gizi buruk pada balita di wilayah desa Kecamatan .
silahkan download KTI SKRIPSI
Gambaran Prilaku Ibu Mengenai Status Gizi Buruk pada Balita
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Gambaran Prilaku Ibu Mengenai Status Gizi Buruk pada Balita

Arsip Blog

tes