Tinjauan Peminjaman Berkas Rekam Medis Guna Menunjang Pelayanan Kesehatan

KTI SKRIPSI
Tinjauan Peminjaman Berkas Rekam Medis Guna Menunjang Pelayanan Kesehatan

ABSTRACT
Evaluation Loaning Of Medical Record Utilize To Support Service Of Health To Rumkit “” .
5 Chapter, 59 Pages, 2 Tables, 10 Enclosure
One of the medium which supporting the make-up of hospital management is management of medical record. Medical record represent activity process started by moment accepting of pasient at home pain, later then record keeping of patient sis data during the patient get service of ill sis at home and continued with service bind medical record which cover depository management and also expenditure bind from repository to serve loaning of patient or for other medical. Target of public that is to know public picture about loaning bind medical record utilize to support service of health in Rumkit .
How loaning procedure bind medical record, how execution of loaning bind medical record, factor any kind of becoming cause in execution of loaning bind medical record, in Rumkit .This scope research is executed by during 3 week on 14 Juli-16 August in Rumkit which is have location to road, street of ciumbeleuit No. 203 .Measurement and perception of variable research of writer take population counted 700 patient and take sample counted 248 patient. Data collecting weared that is with interview, observation, bibliography study technics and data analysis weared to use descriptive method.
Result of obtained by research is writer is procedur of loaning bind medical record for the sake of patient control not yet walked better because there is no procedure him remain to going into effect, execution of loaning bind medical record which do not quickly reach 61% while which do not easy to in intake 62%.
Conclusion of this research that is there is not procedure him supporting for the sake of patient control so that loaning bind medical record not yet walked better, execution of loaning bind medical record which do not quickly in intake bind medical record reach 61% while intake bind medical record which do not easy to reach 62% with amount of sample counted 248 patient, cause factor in execution of loaning bind medical record not yet pursuant to because there is no procedure him remain to about loaning for patient control and not yet the understanding of about rule of loaning procedure.
Suggestion of this research that is making procedure remain to pass agreement about loaning bind medical record for the sake of control patient, existence of policy to increasehuman resource pass through training and education, socializing to related unit about loaning routinely, periodic and schedule. Gyration Reference Year

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Pembangunan nasional dibidang kesehatan merupakan harapan bagi bangsa Indonesia dan ini dapat di wujudkan dengan cara meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas. semua itu dapat terlihat dari tingkat kehidupan masyarakat yang optimal salah satunya adalah kesehatan.
Sehat merupakan keinginan semua orang, baik itu perorangan, keluarga, maupun masyarakat. Sehat adalah: keadaan sejahtera baik fisik, mental, dan sosial dan tidak terbatas pada keadaan bebas dari penyakit atau cacat menurut World Health Organization (WHO). Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh derajat kesehatan. Untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut, maka perlu diselenggarakan sarana pelayanan kesehatan, salah satu sarana pelayanan kesehatan adalah rumah sakit.
Pengertian rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat di manfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian (Permenkes No.159b/Men.Kes/Per/II/1998).
Naiknya tingkat keinginan seseorang memeriksakan diri ke rumah sakit tidak menutup kemungkinan munculnya persaingan di dalam organisasi rumah sakit, dengan banyaknya bermunculan rumah sakit. rumah sakit yang baru menyediakan berbagai macam pelayanan kesehatan, dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. rumah sakit tersebut juga melakukan pembenahan mutu pelayanan rumah sakit dan peningkatan manajemen rumah sakit, agar tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan pelanggan serta kualitas pelayanan rumah sakit yaitu sumber daya manusia rumah sakit, juga perlu diperhatikan pihak eksternal yaitu pelanggan rumah sakit
Salah satu sarana yang menunjang peningkatan manajemen rumah sakit adalah penyelenggaraan rekam medis. Rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai saat diterimanya pasien di rumah sakit, kemudian pencatatan data medik pasien selama pasien tersebut mendapat pelayanan medik di rumah sakit dan dilanjutkan dengan pelayanan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani peminjaman dari pasien atau untuk keperluan medis lainnya.
    Unit rekam medis mempunyai kegiatan yang sangat beragam tidak terpaku hanya dengan kegiatan pencatatan saja, tetapi rekam medis juga merupakan sumber data dan informasi dari awal pasien masuk, diberi tindakan, sampai pasien pulang, semua dicatat dalam berkas rekam medis. Data yang dicatat dalam rekam medis tersebut, diolah untuk dijadikan sebagai informasi atau laporan baik bagi pihak intern maupun ekstern.
    Selain sebagai sumber data dan informasi rekam medis juga mempunyai peranan diantaranya penyimpanan berkas rekam medis, peminjaman berkas rekam medis.
Berdasarkan pengamatan sementara penulis, di Rumkit peminjaman berkas rekam medis masih mengalami ketidak lancaran.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul:      
TINJAUAN PEMINJAMAN BERKAS REKAM MEDIS GUNA MENUNJANG PELAYANAN KESEHATAN DI RUMKIT  “”  .

2.    Perumusan Masalah
    Dari permasalahan yang telah di uraikan pada bagian latar belakang, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana prosedur peminjaman berkas rekam medis di Rumkit  TK. II Dr. ““ ?
2.    Bagaimana pelaksanaan peminjaman berkas rekam medis di Rumkit ?
3.    Faktor apa saja yang menjadi penyebab dalam pelaksanaan peminjaman berkas rekam medis di Rumkit ?

3.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terdiri dari:
1.    Tujuan Umum
     Untuk mendapatkan gambaran umum tentang peminjaman berkas rekam medis guna menunjang pelayanan kesehatan di Rumkit .
2.    Tujuan Khusus
a.    Mengidentifikasi prosedur peminjaman berkas rekam medis di Rumkit .
b.    Mengidentifikasi pelaksanaan peminjaman berkas rekam medis di Rumkit
c.    Mengidentifikasi adanya faktor penyebab dalam pelaksanaan peminjaman berkas rekam medis di Rumkit “” .

4.    Manfaat Penelitian
1.    Bagi Rumah Sakit
a)    Untuk membina hubungan baik antara pihak rumah sakit dengan akademik.
b)    Sebagai bahan masukan bagi rumah sakit khususnya pada bagian rekam medis.
2.    Bagi Akademik
a)    Tambahan daftar pustaka sebagai referensi.
b)    Sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian materi pembelajaran yang lebih mengarah kepada keadaan di unit rekam medis.
3.    Bagi Penulis
a)    Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai ilmu rekam medis.
b)    Dapat menerapkan teori yang diperoleh selama perkuliahan dengan kenyataan dilapangan.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tinjauan Peminjaman Berkas Rekam Medis Guna Menunjang Pelayanan Kesehatan
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tinjauan Peminjaman Berkas Rekam Medis Guna Menunjang Pelayanan Kesehatan

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai dengan demam mendadak, pendarahan dikulit maupun dibagian tubuh lainnya yang dapat menimbulkan syok bahkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dengan perantara nyamuk Aedea Agypti. (Krianto, 2009).
Tentu mencegah selalu lebih baik daripada mengobati artinya kita perlu selalu waspada dengan keberadaan nyamuk penyebab demam berdarah. Nyamuk Aedes Agypti senang sekali tumbuh dan berkembang di genangan air yang bersih, seperti penampungan air, bak mandi, pot bunga, dan gelas. Mungkin tempat – tempat tersebut pernah dikira sebagai lingkungan yang dipilih hewan ini. Oleh karena itu populasi nyamuk ini meningkat di musim hujan. (Satari, 2009)
Penyakit demam berdarah di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1958 sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia. Mulai saat itu penyakit inipun menyebar luas kepenjuru Indonesia. Kejadian luar biasa (KLB) terjadi pada tahun 1998 dimana Departemen Kesehatan RI mencatat sebanyak 2.133 korban terjangkit penyakit ini dengan jumlah korban meninggal 1.414 jiwa.
Demam berdarah banyak ditemukan didaerah tropis dan sub tropis. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Word Health Organization (WHO) mencatat Negara Indonesia sebagai Negara dengan kasus demam berdarah tertinggi di Asia Tenggara.. (www.Datinkes.worpress.com.2010).
Kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia selama tahun 2009 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data sementara direktorat pengendalian penyakit bersumber binatang kementerian kesehatan, jumlah kasus dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) selama tahun 2009 sebanyak 137.600 kasus dengan 1.170 kematian, sedangkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2008 sebanyak 126.600 kasus dengan 1.1784 kematian. (http://www.pdpersi.co.id.2010).
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Sumatera Utara pada tahun 2009 berjumlah 3.210 penderita yang meninggal 38 orang, itu data yang terkumpul hingga November daerah penderita terbanyak adalah Medan dengan 1.275 orang dan 10 orang yang meninggal dunia. (www.google.2010).
Ketika penulis PBL (Praktek Belajar Lapaangan) di Puskesmas pada tahun lalu, penulis pernah melihat masyarakat melaporkan bahwa didaerahnya ada yang menderita kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), dan berdasarkan data laporan sementara Puskesmas Tahun, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dari bulan Januari – November sebanyak 70 orang dan 3 orang yang meninggal.
Pada tanggal 21 Januari penulis melakukan survey ke Puskesmas, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) bertambah 5 orang di bulan Desember, jadi jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas pada tahun sebanyak 75 orang, dan masuk kedalam 10 penyakit terbesar di Puskesmas ini. (Sumber:data Laporan Puskesmas. ).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis berpendapat bahwa kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) masih tergolong tinggi di Puskesmas. Maka dari itu penulis tertarik melakukan penelitian Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan III Kelurahan Kecamatan Wilayah Kerja Puskesmas .

1.2    Rumusan Masalah
Bagaimana Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan Kelurahan Kecamatan Wilayah Kerja Puskesmas..

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan Kelurahan Kecamatan Wilayah Kerja Puskesmas.
1.3.2    Tujuan Khusus
Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang tanda atau gejala Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan Kelurahan Kecamatan Wilayah Kerja Puskesmas .
1.    Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyebab  Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas ditinjau dari penyebabnya.
2.    Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Pencegahan  Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas  ditinjau dari pencegahannya.
3.    Diketahuinya Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas ditinjau dari pengobatannya.

1.4    Manfaat Penelitian
a.    Bagi Masyarakat
Sebagai masukan atau informasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan  Kelurahan Kecamatan  Wilayah Kerja Puskesmas.
b.    Bagi Tenaga Kesehatan
Dapat memberikan informasi tentang bagaimana Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Lingkungan Kelurahan Kecamatan  Wilayah Kerja Puskesmas.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi yang Dibutuhkan Tubuh

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi yang Dibutuhkan Tubuh

ABSTRAK
    Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomi yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio ketergantungan usia lanjut.
    Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan yaitu : perubahan penampilan bagian wajah, tangan, dan kulit, perubahan bagian dalam tubuh seperti : sistem saraf, perubahan pancaindra, perubahan antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar ketrampilan baru.
    Perubahan – perubahan tersebut pada umumnya mengarah kepada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga kepada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari – hari. Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan fisik yaitu rentanya terhadap berbagai penyakit, karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi pengaruh dari luar.
    Berbagai penyakit yang berhubungan dengan ketuaan antara lain Diabetes Mellitus, Hipertensi, Jantung Koroner, Reumatik dan Asma sehingga menyebabkan aktivitas bekerja terganggu. Penelitian ini bekerja untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi Yang Dibutuhkan Tubuh. Penelitian ini berjenis deskriptif dimana dari 50 responden didapati 26 responden (52%) yang berpengetahuan kurang sebanyak 2 responden (4%), yang berpengetahuan baik dan yang berpengetahuan cukup sebanyak 22 responden (44%).
Kata Kunci    : Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
            Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat diseluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau 11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun. Pada tahun 1980 : 55,30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun, dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64,05 tahun. (BDS. 2000)
            Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomi yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut.
            Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan yaitu perubahan penampilan bagian wajah, tangan, dan kulit, perubahan bagian dalam tubuh seperti sistem saraf, perubahan panca indra, perubahan antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
            Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit, karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi pengaruh dari luar. Menurut data SKRT ( Survey Kesehatan Rumah Tangga) masih tinggi. SKRT tahun 1980 menunjukkan angka kesakitan penduduk usia 55 tahun keatas 25,7 persen. Berdasarkan SKRT tahun 1986 angka kesakitan usia 55 tahun 15,1 %. Dalam Penelitian Propil Penduduk Lanjut Usia di Kodya Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita
            Berbagai penyakit yang berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner, reumatik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut usia, sehingga mereka tidak dapat melakukan aktifitas kehidupan sehari- hari. Jadi langkah yang tepat untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit pada lansia adalah dengan pemenuhan gizi yang memenuhi kebutuhan tubuh.
            Kebutuhan gizi pada lanjut usia perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan proses pergantian sel dalam tubuh, mengatasi proses menua, dan memperlambat terjadinya usia biologis kebutuhan kalori dasar akibat kegiatan fisik kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat. Kebutuhan kalori pada lanut usia untuk melebihi 1200 kalori. Sebaiknya disesuaikan malam kegiatannya. Kebutuhan protein normal usia lanjut adalah 1 gram / kg BB / hari.
            Makanan yang mengandung lemak hewani harus dikurangi, misalnya daging sapi, daging kerbau, kuning telur, otak, dan lain- lain. Lanjut usia disarankan mengkonsumsi makanan tambahan yang banyak mengandung kalsium ( ca ) atau zat kapur, kebutuhan kalsium lanjut usia adalah 14,1 Mg / kg BB / hari.
            Zat besi perlu diberikan untuk kelancaran pembentukan darah. Lanjut usia perlu diperhatikan berikan buah- buahan untuk mendapatkan vitamin, untuk menghindari konstipasi ( sembelit ). Pada  lanjut usia perlu diberikan cukup makanan yang mengandung serat, misalnya beras tumbuk, akar – akar hijau, kacang – kacangan, buah-buahan, serta banyak minum ( 1500 – 2000 cc ) yang sekaligus berguna membantu kerja ginjal.
( Nugroho, 2008, hal 102 )
            Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang tingkat pengetahuan lansia tentang gizi yang dibutuhkan oleh tubuh di
   
1.2    Rumusan masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengetahuan lansia tentang gizi yang diperlukan oleh tubuh.

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1.   Tujuan umum
Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan lansia tentang gizi yang diperlukan oleh tubuh
1.3.2.   Tujuan khusus
1.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia terhadap yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia.
2.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan lansia terhadap zat gizi yang dibutuhkan

1.4. Manfaat Penelitian
       1  Bagi Lansia
            Yaitu dapat menambah pengetahuan dan menjadi acuan bagi lansia tentang pemenuhan gizi yang tepat.
       2. Bagi peneliti
            Yaitu dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti terutama tentang pemenuhan gizi yang tepat yang dibutuhkan lansia.
          3. Bagi Instansi
            Yaitu dapat dijadikan bahan acuan dan referensi di perpustakaan
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi yang Dibutuhkan Tubuh
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Gizi yang Dibutuhkan Tubuh

Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Asma pada Anak

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Asma pada Anak

ABSTRAK
Asma merupakan penyebab kematian kedelapan di America Serikat didapat relevan asma sekitar 3% di Inggris sekitar 5% dan pada tahun 2000 menyebutkan lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia masing-masing infeksi paru 7,2% PPOK 4,8% tuberkulasis 3,0% kanker paru trakhea bronkus 2,1% dan asma 0,3% asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus di sertai dengan timbulnya penyempitan luas saluran nafas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan responden tentang penanganan asma pada anak. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu sampel penelitian ini dengan 35 responden dimulai pada tanggal 20 Mei – 25 Mei 2010. Hasil penelitian yang diperoleh tingkat pengetahuan responden tentang penanganan asma pada anak di Kabupaten mayoritas berpengetahuan cukup sebanyak 18 responden (51,4%) berdasarkan pendidikan mayoritas SD sebanyak 10 responden (28,6%) berdasarkan pekerjaan mayoritas bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga sebanyak 26 responden (34,3%) berdasarkan usia mayoritas berusia 31 – 35 tahun sebanyak 12 responden (34,3%) berdasarkan sumber informasi mayoritas dari teman sebanyak 25 responden (71,4%). Dari hasil penelitian dapat di simpulkan pengetahuan ibu tetang penanganan asma pada arak cukup di anjurkan kepada ibu-ibu supaya lebih mencari informasi tentang penanganan asma.
Kata Kunci     :    Pengetahuan + Penangan Asma.

BAB  I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalamai penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangasangan tertentu yang menyebabkan peradangan. Pada suatu serangn asma, otot polos dari bronci mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakkan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil di ammeter saluran udara (disebut bronkokons triksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas. Asma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai pada anak. Kejadian asma meningkat di hampir seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya industri sehingga tingkat polusi cukup tinggi.
Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak dibandingkan dewasa. Asma lebih banyak diderita anak laki-laki, pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan. Resiko dan tanda alergi atau asma dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandungan pun mungkin sudah dapat terdeteksi. Alergi dan asma dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara optimal. Perbedaan prevelensi asma pada anak di kota biasanya lebih tinggi dibandingkan di desa terlebih pada golongan sosiotetonomi rendah dibandingkan sosioekonomi tinggi pada hidup di kota meningkatkan resiko terjadinya asma baik prevelensi, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instansi gawat darurat) maupun mortalitasnya (lingkungan dalam rumah glongan sosioekonomi rendah mendukung pencetus asma).
Walaupun berdasarkan pengalaman klinis dan berbagai penelitian. Asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, tetapi gambaran klinis asma pada anak sangat berpariasi bahkan berat tingginya serangan dan sering-tidaknya serangan berubah-ubah dari waktu ke waktu akibat kelainan ini kadang kala tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sehingga menyebabkan tidak adekuat. Umumnya gejala klinis ditandai dengan adanya sesak napas dan megi (nafas berbunyi). Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak-anak yang menujukkan batuk dan atau megi yang timbul secara episodie, cenderung pada malam/dini hari musiman setelah aktivitas. Serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien dan keluarga.
Asma merupakan penyebab kematian kedelapan. Penelitian di Amerika Serikat mendapatkan prevelansi asma sekitar 3%, sementara di Inggris angkanya adalah sekitar 5%. Penelitian pada guru-guru di India menghsilan prevelensi asma sebesar 4,1%, sementara laporan dari Taiwan menunjukkan angka 6,2%. National Health Interview Survey Amerika Serikat malaporkan bahwa setidaknya 7,5% juta orang penduduk negeri itu mengidap bronchitis kronik, lebih dari 2 juta orang menderita amfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita slah stu bentuk asma. Di tahun 1981 di Amerika Serikat dilaoprkan ada 60.000 kematian akibat PPOM dan keadaan yang berhubungan dengannya. Laporan ogranisasi kesehatan dunia (WHO) dalam World Health Report 2000 menyebutkan lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing-masing infeksi paru 7,2% PPOK 4,8%, Tuberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus 2,1% dan asma 0,3%.
Peningkatan penderita asma broncihial juga terjadi di Indonesia. Penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuisioner ISAAC (international Study On Asthma and Alergy In Children) tahun 1995 menunjukkan prevelensi asma masih 2,1% dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%.
Data jumlah pasien asma yang masuk ruangan gawat darurat RS Persahabatan Jakarta mengalami pengingkatan dari 1.653 pasien pada 1998 menjadi 2.210 pasien pada 2000. Ini menunjukkan penderita asma belum mengenal penyakitnya dan asmanya belum terkontrol dengan baik. Menurut survey dari berbagai Rumah Sakit, jumlah penderita asma di sejumlah provinsi yakni Bali 2,4%, Jatim 7%, Jakarta untuk anak-anak 16,5%, Malang untuk anak-anak 22%, Jakarta Timur untuk dewasa 18,3% dan Jakarta Pusat 7%. Majalah Health Today.
Dengan melihat hasil dari berbagai pendapat dan pendataan yang dilakukan terhadap bahaya asma pada anak yang kejadiannya tinggi serta cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini yang melatar belakangi penulis melakukan penelitian mengenai “Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penanganan Asma Pada Anak Di ”.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas di dapat rumusan masalah yaitu “Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penanganan Asma Pada Anak”.

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui “Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penanganan Asma Pada Anak Di ”.

1.3.2    Tujuan Khusus
-    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan asma pada anak berdasarkan pendidikan.
-    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan asma pada anak berdasarkan pekerjaan.
-    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan asma pada anak berdasarkan umur.
-    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan asma pada anak berdasarkan informasi.
1.3.3    Manfaat Penelitian
-    Untuk Penulis
Sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan tentang penanganan asma pada anak.
-    Untuk Instansi
Sebagai bahan masukan bagi Akademi Keperawatan dalam bidang penelitian.
-    Untuk Orang tua
Agar masyarakat lebih mengerti tentang penanganan asma pada anak.
-    Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya agar hasil penelitiannya nanti lebih baik dari yang sekarang.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Asma pada Anak
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Asma pada Anak

Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Alat Kontrasepsi Suntik

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Alat Kontrasepsi Suntik

ABSTRAK
    Paradigma baru program Keluarga Berencana (KB) nasional telah berubah visinya dari mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015. Di Indonesia peserta KB yang tercatat 51,21% akseptor KB memilih suntikan sebagai alat kontrasepsi,40,02% memilih Pil, 4,93% memilih Implant, 2,72 memilih IUD dan lainnya 1,11%.
    Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik di Desa KecKabTahun Penelitian ini bersikap deskriptif dengan menggunakan data primer yang diambil melalui metode survey dengan pendekatan menggunakan kuesioner yang diajukan pada responden.
Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik mayoritas mayoritas ibu berpengetahuan cukup sebanyak 25 orang (62,5%), berdasarkan kelompok umur 20-35 tahun mayoritas cukup sebanyak 15 orang (37,5%), berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas pendidikan SMP berpengetahuan cukup sebanyak 13 orang (32,5%), berdasarkan paritas dengan multipara mayoritas ibu berpengetahuan cukup sebanyak 15 orang (37,5%). Dan berdasarkan pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga yang berpengetahuan cukup sebanyak 10 orang (25%). Dapat kita lihat bahwa sumber informasi mayoritas ibu memperoleh informasi dari tenaga kesehatan berpengetahuan cukup sebanyak 15 orang (37,5%). Dari penelitian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa mayoritas ibu yang mengetahui tentang alat kontrasepsi suntik adalah ibu yang berusia 20-35 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia reproduktif, mayoritas berpendidikan SMP, dan ibu multigrapida.
    Berdasarkan hal diatas diharapkan kepada pihak yang terkait khususnya tenaga kesehatan agar lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat luas, khususnya ibu-ibu tentang KB suntik agar pengetahuan ibu bertambah.
Kata kunci     : Pengetahuan, Alat kontrasepsi suntik

ABSTRACT
New paradigm of family planning program (KB) has changed the national family realize its vision of quality in 2015. In Indonesia, the participants recorded 51.21% of family planning acceptors chose as a contraceptive injection, 40.02% chose pills, 4.93% chose implants, choose the IUD and other 2.72 1.11%.
Has done research that aims to determine the extent of maternal knowledge about contraceptive injections Desa KecKab.Deli Penelitian Serdang this year to be descriptive by using primary data collected by survey method using the approach questionnaire submitted to the respondent.
The results were obtained knowledge of mothers about injectable contraceptives knowledgeable enough majority of the majority of mothers were 25 men (62.5%), based on the age group 20-35 years the majority quite as much as 15 people (37.5%), based on the level of education the majority of junior high school education knowledgeable enough, there were 13 people (32.5%), based on parity with the majority of multiparous mothers knowledgeable enough for 15 people (37.5%). And based on maternal occupation as housewife, as many as 10 people knowledgeable enough (25%). We can see that the majority of information sources to obtain information from the mother's health personnel knowledgeable enough for 15 people (37.5%). From this research we draw the conclusion that the majority of mothers who knew about injectable contraceptives were mothers aged 20-35 years, where age is a reproductive age, the
 Majority of junior high school educated, and mother multigrapida.
Based on above, is expected to related parties, particularly health professionals to improve service to the wider community, especially the mothers about family planning knowledge capital injections in order to grow.
Key words: Knowledge, contraceptive injection

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.     Latar Belakang 
Paradigma baru program Keluarga Berencana (KB) nasional telah berubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015. Keluarga berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, mewakili jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma baru KB ini sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga (Saifuddin, 2006).
Laju kepadatan penduduk Indonesia mencapai 216 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan pada tahun 2004 diperkirakan 112 jiwa/Km2. Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004, dengan perhitungan proyeksi menggunakan data dasar berdasarkan SP 2000 tercatat sebesar 6.915.950 jiwa, yang terdiri dari 3.563.310 jiwa penduduk laki-laki dan 3.352.640 jiwa penduduk wanita. Sejak tahun 1971 sampai dengan 2004 jumlah penduduk meningkat 300%. Namun mengalami penurunan hamper lima kali lipat dari 5,77% menjadi 10,4%. Kondisi ini merefleksikan bahwa upaya pengendalian penduduk telah berjalan selaras dengan upaya peningkatan kesejahteraan, termasuk factor kesehatan penduduknya. Angka pertumbuhan penduduk Provinsi Sumatera Utara tahun 2004 menjadi 31,57% (Dinkes Sumut, 2010).
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang mandiri. Keberhasilan ini harus diperhatikan dan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut belum merata. Di Indonesia peserta KB yang tercatat 51,21% akseptor KB memilih suntikan sebagai alat kontrasepsi, 40,02% memilih Pil, 4,93% memilih Implant, 2,72% memilih IUD dan lainnya 1,11%. Pada umumnya masyarakat memilih metode non MKJP (Metode  Non Kontrasepsi Jangka Panjang). Sehingga metode KB MKJP seperti IUD, Implant, Kontap Pria (MOP) dan Kontap Wanita (MOW) kurang diminati (Anonymous, 2010).
Faktor-faktor yang mendukung terwujudnya gerakan KB Nasional. Pada tahun 2003 adalah bahwa lebih dari 198.012 orang wanita (67,53%) berstatus menikah pernah menggunakan salah satu alat kontrasepsi dan sekitar 1.782.108 orang wanita (51,66%) berstatus menikah sedang menjadi peserta KB aktif. Factor-faktor yang mempengaruhi ibu memakai alat kontrasepsi karena sangat efektif, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI, sedikit efek samping, dan tidak perlu menyimpan obat suntik tersebut (Hartanto, 2004).
Peserta KB aktif di Sumatera Utara yang berhasil dibina sebanyak 4.534,850 (76,23%) dari seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) yang mencapai 5.948.962 PUS. Realisasi peserta KB aktif yang menggunakan kontrasepsi suntik 2.239.108, pil 848.503, IUD 557.224 dan kondom 42.464 (BPS, 2009).
Di Kabupaten , jumlah PUS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 jumlah PUS sekitar 272.383 dan meningkat menjadi 282.391 pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut 69,93% adalah akseptor aktif yang jumlahnya meningkat dibandingkan tahun 2007 (BPS, 2009).
Prevalensi ibu yang tidak menggunakan alat kontrasepsi suntik disebabkan oleh beberapa factor seperti umur, pendidikan, jumlah anak dan dukungan suami. Berdasarkan prevalensi factor umur ibu yang tidak menggunakan alat kontrasepsi suntik sangat tinggi pada usia 15-29 tahun yaitu sebesar 38% dengan alasan mereka belum memiliki anak atau jumlah anak yang mereka miliki belum dirasakan cukup (BKKBN, 2010)
Dari hasil penelitian Supianti pada tahun 2006 tentang pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik, dari 50 orang responden didapatkan pada ibu berpengetahuan baik sebanyak 21 orang (42%), yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 27 orang (54%) dan yang memiliki pengetahuan kurang berjumlah 2 orang (4%). Dari survey awal yang dilakukan di Desa , didapat dari 10 ibu akseptor KB hanya 4 ibu yang mengerti tentang KB suntik.
Berdasarkan data dan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Alat Kontrasepsi Suntik di Desa Kec KabTahun ”.

1.2.    Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana Pengetahuan Ibu Tentang Alat Kontrasepsi Suntik di Desa KecKabTahun ”.

1.3.     Tujuan Penelitian
1.3.1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat Kontrasepsi suntik di Desa Kab Tahun
1.3.2.    Tujuan Khusus
1.3.2.1.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik di Desa Kab. tahun berdasarkan umur.
1.3.2.2.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi  suntik di Desa Kab. tahun berdasarkan pendidikan.
1.3.2.3.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik di Desa Kab. tahun berdasarkan paritas.
1.3.2.4.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik di Desa Kab. tahun berdasarkan pekerjaan.
1.3.2.5.    Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik di Desa Kab. tahun berdasarkan sumber informasi.

1.4.     Manfaat Penelitian
1.4.1.    Bagi Peneliti.
Untuk menambah pengetahuan peneliti dan menambah pengalaman peneliti dalam mengaplikasikan yang juga berguna untuk pelaksanaan kesehatan kepada masyarakat nantinya.
1.4.2.    Bagi tempat Peneliti.
Sebagai tambahan informasi kepada Desa agar lebih meningkatkan pengetahuan atau memberikan penyuluhan kepada ibu tentang KB Suntik
1.4.3.    Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan sumber bacaan khususnya bagi mahasiswi Akademi Kebidanan dan pembendaharaan bacaan pada perpustakaan di Akademi Kebidanan
1.4.4.    Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat  menambah wawasan dan informasi bagi ibu tentang alat kontrasepsi suntik.
1.4.5.    Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya untuk meningkatkan pengetahuan ibu terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi suntik serta untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Alat Kontrasepsi Suntik
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Alat Kontrasepsi Suntik

Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar  Belakang
     Kesehatan merupakan hak dasar yang dimiliki manusia dan menentukan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia, disamping itu juga merupakan karya Tuhan yang perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikan. Derajat kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor : lingkungan, perilaku kesehatan dan keturunan, perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan masyarakat (Depkes, 2002).
     Kesehatan reproduksi dikalangan wanita harus memperoleh perhatian yang sarius salah satunya adalah keputihan yaitu masalah yang berhubungan dengan organ seksual wanita. Keputihan biasanya disebabkan oleh jamur atau virus bakteri dan tentu saja masalah ini amat mengganggu penderita. Karena biasanya wanita akan mengeluarkan aroma yang tidak sedap dari organ intinya selain juga merasa gatal yang sering mengganggu. (Sarwono, 2007).
     Sering kali wanita merasa mampu mengenali sendiri bahwa sedang menderita keputihan tanpa merasa perlu memeriksakan diri kedokter. Akan  tetapi apabila wanita merasa terganggu dirinya, berganti celana beberapa kali sehari, lebih-lebih bila keputihan itu disertai rasa gatal dan nyeri, vagina kemerahan dan lendir berubah warna maka yang dihadapi itu adalah suatu keadaan patologis yang perlu pemeriksaan 4 penanganan yang seksama.
     Tetapi apabila lendir berwarna bening, tidak gatal dan tidak berbau, terjadi hanya pada masa subur yaitu kurang lebih 12-14 hari setelah menstruasi, setelah berhubungan seksual ini merupakan keputihan yang fisiologis. dan untuk mengatasi keputihan tentu saran pertama adalah dengan menjaga kesehatan dan kebersihan di daerah vagina. (Derek Llewellyn, 2005)
     Keputihan juga bisa terjadi tanda awal dari penyakit yang lebih berat. dari vaginal candidiasis, gonorrhea, chlanydc, kemandulan hingga kanker. Keputihan yang tidak segera diobati akan menimbulkan komplikasi penyakit radang panggul yang berlarut-larut dan dapat menyebabkan kemandulan (infertilitas) karena kerusakan dan tersumbatnya saluran telur.
     Data penelitian tentang penelitian kesehatan reproduksi wanita menunjukkan 75% wanita didunia pasti menderita keputihan paling tidak sekali seumur hidup dan 45% diantaranya bisa mengalami sebanyak dua kali atau lebih (Pribakti B, 2010)
     Keputihan adalah gejala awal dari kanker mulut rahim, dimana sedikitnya 231.000 wanita diseluruh dunia meninggal akibat kanker leher rahim, dan dari jumlah itu 50% jumlah akan meninggak (Pdf. tpociid).
     Penyebab lain dari keputihan adalah penggunaan pakaian ketat dan atau celana terbuat dari bahan sintersis. Apalagi jika dibiarkan dalam keadaan basah, misalnya pakaian yang dipakai setelah berolah raga akan mengundang pertumbuhan jamur, begitu juga dengan penggunaan spray dan deodoran genitalia harus diwaspadai karena rentan mengubah keamanan vagina. Setelah itu kelelahan dan stress juga bisa memicu keputihan.
     Berdasarkan latar belakang diatas, masih banyak ibu-ibu yang tidak mengetahui tentang keputihan dan bagaimana cara menanganinya. Hal itulah yang membuat penulis merasa tertatik untuk melakukan penelitian tentang “Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan di Praktek ”

1.2.    Perumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Tingkat pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan di Praktek Juli ”

1.3.    Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang keputihan di Praktek .
1.3.2. Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu mengenai keputihan di Praktek berdasarkan umur.
2.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu mengenai keputihan di Praktek berdasarkan pendidikan.
3.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu mengenai keputihan di Praktek berdasarkan sumber informasi.
4.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu mengenai keputihan di Praktek berdasarkan lingkungan.

1.4.    Manfaat Penelitian
1.    Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan menerapkan ilmu yang telah didapatkan di perkuliahan selama proses belajar-mengajar.
2.    Bagi Ibu
Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pengetahuan ibu, khususnya tentang keputihan.
3.    Bagi Pembaca
Menambah ilmu penghetahuan dan wawasan bagi pembaca khususnya tentang keputihan.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Keputihan

Tingkat Pengetahuan Akseptor tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Akseptor tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

ABSTRAK
Program keluarga berencana ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak, keluarga serta masyarakat. Dengan pelaksanaan KB, diusahakan agar angka kelahiran dapat diturunkan, sehingga tingkat kecepatan perkembangan penduduk tidak melebihi kemampuan kenaikan produksi, dan dengan demikian diharapkan dapat ditingkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Pada saat ini Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan salah satu cara kontrasepsi yang populer dan diterima oleh program KB disetiap Negara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Akseptor Tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di BPS Kota tahun .Penelitian ini bersifat deskriptif. Dilaksanakan pada tanggal 24 sampai 31 Mei di .Populasi dari penelitian ini adalah seluruh akseptor yang ada di sebanyak 305 orang dan pengambilan sampel adalah menggunakan teknik sampel acak yaitu 10% dari jumlah populasi, jadi banyaknya sampel yaitu 30 orang. Pengumpulan data menggunakan data primer. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Pengolahan data dilakukan melalui tahap editing, coding, dan  tabulating, kemudian data dianalisa berdasarkan distribusi frekuensi dari setiap variabel. Dari hasil penelitian di dapatkan pengetahuan akseptor tentang AKDR berada pada kategori cukup yaitu 50%, mereka memiliki pengetahuan cukup dikarenakan ibu tidak dapat mengerti atau menyerap informasi yang ada, Meskipun pendidikan ibu berada pada kategori menengah sekitar 70%, seharusnya mereka lebih memahami informasi yang diterima sehingga mereka tahu. Pengetahuan ibu yang cukup juga dikarenakan rata-rata pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga. Maka bagi akseptor diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dengan menanyakan informasi yang lengkap kepada petugas kesehatan tentang bermacam alat kontrasepsi salah satunya termasuk AKDR.
Kata kunci            :  Pengetahuan, Akseptor, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paradigma baru Program Keluarga Berencana Nasional telah di ubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi visi mewujudkan ”Keluarga Berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).
           Program keluarga berencana ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak, keluarga serta masyarakat pada umumnya. Dengan pelaksanaan keluarga berencana, diusahakan agar angka kelahiran kelahiran dapat diturunkan, sehingga tingkat kecepatan perkembangan penduduk tidak melebihi kemampuan kenaikan produksi, dan dengan demikian diharapkan dapat ditingkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Banyak pilihan metode alat-alat kontrasepsi yang tersedia saat ini bagi individu yang ingin mengikuti program keluarga berencana. Semua metode alat-alat kontrasepsi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Adapun jenis alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh yang ingin mengikuti program keluarga berencana adalah kondom, pil KB, suntik KB, implant/susuk KB, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan tubektomi (Irwanashari, 2009).
        Pada saat ini Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan salah satu cara kontrasepsi yang populer dan diterima oleh program keluarga berencana disetiap Negara. Diperkirakan 60-65 juta wanita diseluruh dunia memakainya, dengan pemakaian terbanyak di China. Meskipun banyak laporan menunjukan adanya hubungan kejadian penyakit radang panggul (PRP) dengan pemakaian AKDR tetapi tetap saja AKDR merupakan alat kontrasepsi yang populer karena keefektifannya yang tinggi, aman dan sangat cocok untuk banyak wanita terutama yang sudah mempunyai anak dan tidak beresiko terhadap penyakit menular seksual (PMS) (Siswosudarmo, 2007).
           Cara kerja utama AKDR adalah mencegah pembuahan, bertolak belakang dengan kepercayaan yang luas dianut bahwa AKDR berfungsi sebagai penginduksi abortus. AKDR dapat dipasang dengan baik oleh penyedia pelayanan yang sudah terlatih (Wulansari, 2006).
        Di Indonesia, pasangan usia subur yang menggunakan metode kontrasepsi terus meningkat mencapai 61,4%. Pola pemakaian kontrasepsi terbesar yaitu suntik sebesar 31,6%, pil sebesar 13,2%, IUD sebesar 4,8%, implant 2,8%, kondom sebesar 1,3%, kontap wanita sebesar 3,1%, kontap pria sebesar 0,2%, pantang berkala 1,5%, senggama terputus 2,2% dan metode lainnya 0,4% (Depkes, 2008).
        Program Keluarga Berencana sudah tidak asing lagi bagi masyarakat NAD. Jumlah pengguna KB mencapai 512.644 pasangan. Dari keseluruhan pengguna KB tersebut di NAD, 85% pasangan menggunakan alat kontrasepsi berupa suntikan dan pil KB. Lain halnya dengan pengguna kondom yang sangat tidak diminati, jumlah penggunanya hanya 5% saja. Sedangkan penggunaan IUD hanya 1,8%. Alat kontrasepsi operasi vasektomi bagi laki-laki dan tubektomi bagi perempuan yang bisa diperoleh dari tenaga medis khusus hampir tidak pernah digunakan (BKKBN-NAD, 2009).
        Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi, hal ini tidak hanya karna terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktor harus di pertimbangkan, termasuk status kesehatan, efek samping potensial, konsekuensi kegagalan atau kehamilan yang tidak di inginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan, bahkan norma budaya lingkungan dan orang tua (Saifuddin, 2003).
Di BPS , data tahun 2009 sampai sekarang terdapat 305 akseptor kontrasepsi, yang terdiri dari 83,9% akseptor KB suntik, 9,8% akseptor KB Pil, 7,86% akseptor KB AKDR.
Dari hasil penjajakan awal di BPS kepada 2 sampel akseptor aktif  mengungkapkan ibu takut memakai AKDR yang merupakan benda asing yang dimasukkan ke dalam rahim ibu dan saat ibu meninggal AKDR belum dilepaskan. Sebagian ibu juga mengatakan malu pada saat pemasangan terlihat vagina ibu. Dengan alasan tersebut saya tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran pengetahuan akseptor tentang AKDR.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka yang menjadi rumusan permasalahannya adalah bagaimanakah Tingkat Pengetahuan Akseptor Tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Di BPS Kota Tahun .

C. Tujuan Penelitian
    1. Tujuan Umum
        Untuk mengetahui Tingkat Pengetahuan Akseptor Tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Di BPS Kota Tahun .
    2. Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan akseptor tentang pengertian AKDR.
b.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan Akseptor tentang keuntungan AKDR.
c.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan akseptor tentang kerugian AKDR.
d.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan akseptor tentang indikasi AKDR.
e.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan akseptor tentang kontra Indikasi AKDR.
f.    Untuk mengetahui pengetahuan gambaran akseptor tentang efek Samping AKDR.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya terbatas pada pengetahuan akseptor tentang alat kontrasepsi dalam rahim. Yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh akseptor KB aktif di BPS Kota tahun .

E. Manfaat Penelitian
1.    Bagi Responden
           Akseptor dapat lebih mengerti dan memahami lagi tentang penggunaan AKDR.
2.    Bagi Peneliti
           Mampu mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari dibangku kuliah dalam bentuk penelitian.
3.    Bagi Instansi Pendidikan
     Sebagai bahan referensi dan dokumentasi untuk perpustakaan kampus Akademi Kesehatan Pemda
4.    Bagi BPS atau Klinik
          Dapat dijadikan bahan masukan bagi bidan dalam upaya meningkatkan informasi kepada ibu-ibu tentang AKDR.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Pengetahuan Akseptor tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Pengetahuan Akseptor tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

Tingkat Kejadian dan Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Stomatitis pada Penderita Tunanetra

KTI SKRIPSI
Tingkat Kejadian dan Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Stomatitis pada Penderita Tunanetra

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Di Indonesia, kaum tunanetra secara stereotip digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri, dan menyedihkan. Sehingga terbentuk pandangan dikalangan  masyarakat bahwa para kaum tunanetra itu patut dikasihani, selalu membutuhkan perlindungan dan bantuan.
Selama ini sikap dan pandangan masyarakat yang negatif itu menyebabkan para remaja tunanetra kurang percaya diri, menjadi rendah diri, minder dan merasa tidak berguna. Hal ini akan berakibat pada aktualisasi dan pengembangan potensi kepribadian menjadi terhambat, sehingga remaja tunanetra menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain.
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, mempunyai tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan fisik, psikis, maupun sosial. Tuntutan kebutuhan membuat seseorang aktif dan terus aktif sampai situasi seseorang dan lingkungan diubah untuk meredakan kebutuhan tersebut. Beberapa tuntutan kebutuhan disertai dengan emosi atau perasaan tertentu dan seringkali disertai dengan perilaku/tindakan instrumental tertentu yang efektif untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan.
Seseorang yang mempunyai kecacatan biasanya disebut dengan kondisi luar biasa. Pada umumnya, yang termasuk dalam kondisi luar biasa adalah seseorang atau individu yang mengalami cacat baik jasmani maupun rohani, berupa kelainan fisik, mental, ataupun sosial, sehingga mengalami hambatan dalam mencapai tujuan atau kebutuhan dalam hidupnya.
Seorang tunanetra, dalam kondisinya yang khusus atau luar biasa dengan berbagai kesulitannya, sering menghadapi berbagai masalah karena hambatan dalam fungsi penglihatannya.
Dengan gambaran kondisi seperti diatas, maka sudah dapat dilihat bagaimana sulitnya penderita tunanetra membangun semangat dan pola hidupnya. Termasuk dalam pola hidup kesehatan penderita tunanetra itu sendiri, terkhusus dalam kesehatan gigi dan mulutnya.
Dalam kaitannya dengan stomatitis, dengan memperhatikan faktor penyebab terjadinya stomatitis, maka penderita tunanetra seharusnya memperoleh perhatian yang lebih lagi. Mengingat pola hidup dan lingkungan penyandang tunanetra yang sangat mendukung terjadinya stomatitis.
Stomatitis itu sendiri adalah lesi yang timbul di rongga mulut yang disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh yang dapat dipicu oleh beberapa faktor antara lain akibat defisiensi nutrisi, kebiasaan hidup yang kurang memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, akibat kebiasaan buruk (badhabbit), sehingga virus dan bakteri mudah menyerang jaringan lunak rongga mulut. Penyakit ini sangat mengganggu dengan rasa sakit dan seperti terbakar, membuat penderitanya susah makan dan susah minum.
Stomatitis dapat menyerang siapa saja, tidak mengenal umur maupun jenis kelamin. Biasanya daerah bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah serta di langit-langit.

I.2 Dasar Pemikiran
Dengan memperhatikan faktor penyebab terjadinya stomatitis berupa defisiensi nutrisi, kebiasaan hidup yang kurang memperhatikan kebersihan gigi dan mulut, kebiasaan buruk (badhabbit), trauma, infeksi, dan penyakit sistemik, maka penulis ingin mengetahui dan membuktikan apa sebenarnya yang menjadi penyebab paling dominan terjadinya stomatitis pada penderita tunanetra.

I.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui tingkat kejadian dan faktor yang mempengaruhi terjadinya stomatitis pada penderita tunanetra.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tingkat Kejadian dan Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Stomatitis pada Penderita Tunanetra
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tingkat Kejadian dan Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Stomatitis pada Penderita Tunanetra

Tindakan Keluarga dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia

KTI SKRIPSI
Tindakan Keluarga dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia

ABSTRAK
Di ditemukan penduduk yang berusia diatas 60 tahun ke atas berjumlah 631.604, sedangkan didaerah ditemukan penduduk Lansia diatas 60 tahun keatas yaitu berjumlah 61.108. Sedangkan hasil survey yang dilakukan peneliti di Desa Kecamatan Kabupaten dijumpai 55 orang lansia. Lansia beresiko tinggi terhadap osteoporosis. Tujuan penelitian dilakukan untuk mengetahui tindakan keluarga dalam pencegahan osteoporosis pada lansia berdasarkan persepsi, respon terpimpin, mekanisme dan adaptasi. Osteoporosis adalah suatu penyakit dengan tanda utama berupa berkurangnya kepadatan masa tulang yang berakibat meningkatnya resiko patah tulang. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengisian kuesioner dengan jumlah populasi 55 responden. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan berdasarkan persepsi baik berjumlah 34 responden (61,8%), cukup berjumlah 16 responden (29,1%), kurang berjumlah 5 responden (9,1). Tindakan berdasarkan respon terpimpin baik berjumlah 42 responden (76,4%), cukup berjumlah 8 responden (14,5%), kurang berjumlah 5 responden (9,1%). Tindakan berdasarkan mekanisme baik berjumlah 25 responden (45,4%), cukup berjumlah 21 responden (38,2%), kurang berjumlah 9 responden (16,4%). Sedangkan yang melakukan tindakan berdasarkan adaptasi baik berjumlah 43 responden (78,2%), cukup berjumlah 8 responden (14,5%), kurang berjumlah 4 responden (2,3%). Dengan demikian diharapkan bagi keluarga agar lebih memperhatikan kesehatan keluarga khususnya lansia dengan tindakan osteoporosis yang tepat.
Kata Kunci    : Tindakan+Keluarga+Pencegahan+Osteoporosis + Lansia

BAB  I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Penuaan sering diikuti dengan penurunan kualitas hidup sehingga status lansia dalam kondisi sehat atau sakit. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan, penurunan berbagai kemampuan organ, fungsi dan sistem tubuh ada umumnya tanda proses menua mulai tampak sejak usia 45 tahun dan akan menimbulkan masalah pada usia sekitar 60 tahun.
Menurut WHO, pada tahun 2009 osteoporosis menduduki peringkat kedua dibawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Menurut data Internasional Osteoporosis Foundation lebih dari 30% wanita diseluruh dunia mengalami resiko seumur hidup untuk patah tulang akibat osteoporosis, bahkan mendekati 40%, sedangkan pada pria, resikonya berada pada angka 13%.
Menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, dampak osteoporosis di Indonesia sudah dalam tingkat yang harus diwaspadai, yaitu mencapai 19,7% dari populasi.
Penyebab osteoporosis dipengaruhi oleh berbagai faktor dan pada individu bersifat multifaktoral seperti gaya hidup tidak sehat, kurang gerak, tidak berolahraga serta pengetahuan mencegah osteoporosis yang kurang akibat kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa, serta kurangnya asupan kalsium. Maka kepadatan tulang menjadi rendah sampai terjadinya osteoporosis.
Konsumsi kalsium yang rendah atau menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium yang umumnya terjadi pada orang tua juga dapat menyebabkan osteoporosis. Kekurangan magnesium juga dinyatakan sebagai salah satu penyebab osteoporosis. Magnesium terlibat dalam  300 lebih fungsi tubuh, selain untuk membantu metabolisme kalsium dan vitamin D, magnesium juga berperan langsung dalam mencegah pengeroposan tulang.
Persoalan osteoporosis pada lansia erat hubungannya dengan kemunduran produksi beberapa hormon pengendali remodeling tulang, seperti kalsitonim dan hormon seks. Dengan bertambahnya usia, hanya produksi beberapa hormon tersebut akan merosot, hanya saja penurunan produksi beberapa osteoblast, sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan tulang, akan mengendur aktivitasnya setelah seseorang menginjak usia ke 50 disusul tahun terakhir adalah testosteron pada kurun waktu usia 45-53 tahun.
Jika dihitung secara kasar maka dengan pertambahan usia harapan hidup pada  tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 14,7% dari 15,5 juta lansia yang beresiko patah tulang osteoporosis dengn perkiraan biaya sekitar US$ 2,7 miliar, sehingga pada tahun 2015 diperkirakan jumlah lansia 24 juta dengan resiko patah tulang osteoporosis sebanyak 352.850 dengan estimasi biaya US$ 3,2 miliar.
Menurut data statistik pada tahun diperkirakan jumlah penduduk lansia diatas 60 tahun ke atas di Sumatera Utara yang dalam keadaan kesehatan baik sebanyak 242.99, yang dalam keadaan kesehatan cukup sebanyak 215.787 dan dalam keadaan kesehatan yang kurang sebanyak 172.818. Jadi jumlah penduduk lansia yang diatas 60 tahun adalah 631.604, sedangkan jumlah penduduk lansia diatas 60 tahun keatas di yang dalam keadaan baik sebanyak 21.703 dan dalam keadaan cukup sebanyak 19.222, sedangkan yang dalam keadaan kesehatan kurang sebanyak 20.183. Jadi jumlah total keseluruhan penduduk lansia yang 60 tahun keatas adalah 61.108. (http://www.datastatistik – Indonesia.com).
Berdasarkan survey yang dilakukan di Desa dijumpai 55 orang lansia. Maka disinilah peneliti tertarik untuk meneliti “Tindakan Keluarga Dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia di Desa Kec. Tahun ”.

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas adapun yang menjadi perumusan masalah peneliti adalah “Bagaimana Tindakan Keluarga Dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia di Desa Kec. Kab. Tahun ”.

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui “Tindakan Keluarga Dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia di Desa Kec. Kab. Tahun ”.
1.3.2    Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui tindakan keluarga terhadap pencegahan osteoporosis berdasarkan persepsi.
2.    Untuk mengetahui tindakan keluarga terhadap pencegahan osteoporosis berdasarkan respon terpimpin.
3.    Untuk mengetahui tindakan keluarga terhadap pencegahan osteoporosis berdasarkan mekanisme.
4.    Untuk mengetahui tindakan keluarga terhadap pencegahan osteoporosis berdasarkan adaptasi.

1.4    Manfaat Penelitian
1.    Menambah pengetahuan / wawasan bagi penulis tentang osteoporosis.
2.    Bagi keluarga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi keluarga dalam rangka mengevaluasi pengetahuan mereka dalam meningkatkan upaya-upaya untuk mengetahui pencegahan osteoporosis.
3.    Dari data yang diperoleh dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dibidang kesehatan, khususnya osteoporosis pada lansia.
4.    Bagi institusi sebagai referensi / bacaan di perpustakaan Akademi.
silahkan download KTI SKRIPSI
Tindakan Keluarga dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Tindakan Keluarga dalam Pencegahan Osteoporosis Pada Lansia

Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM

KTI SKRIPSI
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM

BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional melalui pembangunan kesehatan yang ingin dicapai untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.2
Masukan gizi telah terbukti merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam pembangunan dan pembentukan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas hidup masyarakat akan berhasil dengan baik apabila dilakukan sedini mungkin, yaitu dengan memberikan perhatian kepada gizi balita.2
Masalah gizi di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup berat. Pada hakekatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan kurangnya pengetahuan tentang nilai gizi dari makanan-makanan yang ada. Makanan yang sehat harus memenuhi syarat kualitas maupun kuantitas, disamping jangan mengandung zat-zat/organisme-organisme yang dapat menimbulkan penyakit. Masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizinya. Bila konsumsi selalu kurang dari kecukupan gizinya, maka seseorang menderita gizi kurang. Sebaliknya, jika konsumsi melebihi kecukupan gizinya maka yang bersangkutan akan menderita gizi lebih. Jumlah kebutuhan makanan tidaklah sama pada setiap orang. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, jenis pekerjaan dan keadaan kesehatan orang itu sendiri.3
Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi, dan jumlahnya dalam populasi besar.3
    Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meninggikan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri. Akibat gizi kurang sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa kematian.4,5
    Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih 29,5 %. Artinya dari 100 bayi yang meninggal 30 di antaranya meninggal karena ISPA.2
    Berdasarkan data profil kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, prevalensi total di propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1999 sebesar 17,48 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 10,43 %, pada tahun 2001 terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang pada balita total menjadi 12,5 %. Penemuan jumlah kasus bayi, batita dan balita di bawah garis merah (BGM) melalui program penimbangan bulanan tahun 2002 oleh Dinas Kota Banjarmasin berjumlah 5326 balita. Dari data rekapitulasi hasil penimbangan balita di Puskesmas periode Januari sampai Maret , ditemukan kasus BGM (kasus baru dan lama) 6 orang bayi, 31 orang batita dan 20 orang balita. Di Puskesmas pada tahun penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak. Jumlahnya mencapai 2376 balita. Pada periode bulan Januari sampai Juni tahun sebanyak 1090 balita.
Berdasarkan data tersebut, jumlah balita BGM dan penderita ISPA pada balita di puskesmas cukup tinggi. Namun belum diketahui apakah balita BGM yang ada tersebut berhubungan dengan penyakit ISPA. Dengan demikian penelitian ini dilakukan guna membuktikan adanya hubungan balita BGM dengan penyakit ISPA serta membuktikan apakah balita BGM merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .
  
1.3     Rumusan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan apakah BGM itu merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .

1.4     Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara balita BGM  dengan penyakit ISPA dan untuk membuktikan apakah balita BGM benar-benar merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA di Puskesmas bulan Juni .

1.5    Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan atau informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA, dan bahwa balita BGM merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit ISPA. Diharapkan pula dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu gizi pada khususnya, serta dapat menjadi data ilmiah bagi penelitian selanjutnya.
silahkan download KTI SKRIPSI
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM

Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah

KTI SKRIPSI
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang Permasalahan
Masalah kesehatan penduduk di Indonesia masih ditandai dengan tingginya penyakit–penyakit yang berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacing. Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi, karena Indonesia adalah negara yang agraris dengan tingkat sosial ekonomi, pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan higiene masyarakat masih rendah yang sangat menyokong untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing (Ginting, 2003).
Saat ini lebih dari 2 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang).  Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris (Merid, 2001 at in Ginting, 2003).
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana dan Djarismawati,2008)
Penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia, terutama anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekwensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia defisiensi besi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama kecacingan (Rasmaliah, 2004)
Hubungan antara infeksi kecacingan dan anemia defisiensi besi sudah banyak terungkap dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. Masing-masing saling memberikan kontribusi terhadap terjadinya kesakitan, walaupun besarnya kontribusi dari infeksi kecacingan terhadap anemia defisiensi besi masih belum banyak dibuktikan (Rasmaliah, 2004)
Di Nusa Teggara Barat pernah dilakukan sebuah penelitian mengenai prevalensi kecacingan terhadap perajin gerabah di Desa Penelitian yang disponsori empat lembaga, yaitu Dinas Kesehatan NTB, Ford Foundation, Pusat Informasi Kesehatan dan Perlindungan Keluarga (PIKPK) dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Mataram ini membuktikan bahwa 100 persen perajin gerabah yang menjadi sampel penelitian positif menderita kecacingan. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 400 perajin gerabah. Dari jumlah itu, terdapat 392 perempuan dan sisanya adalah pria. Setelah dilakukan pemeriksaan feses dan gejala klinis penyakit, ternyata 100 persen dari subyek penelitian mengidap penyakit cacingan. Jenis cacing yang ditemukan, seperti cacing gelang (Ascaris lumbriscoides) sebanyak 52 persen, cacing cambuk dan cacing kremi sebanyak 48 persen. Penyebabnya karena tiap hari bersentuhan dengan tanah dan pola hidup yang jauh dari standar sehat. Sedangkan gejala klinis yang diderita para perajin gerabah, terutama yang perempuan, biasanya mengalami keluhan seperti keputihan, pegal-pegal, linu, dan cepat merasa capek (Sujatmiko, 2005).
Status anemia seseorang dapat diketahui dengan melakukan berbagai jenis pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar Fe serum, pemeriksaan apusan darah tepi dan lain-lain. Pemeriksaan darah tepi adalah salah satu metode yang cukup mudah dilakukan dan melalui pemeriksaan ini kita dapat melihat gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan etiologi dari anemia tersebut.
Karena belum ada penelitian yang menyoroti tentang kecacingan disertai dengan gambaran anemia pada masyarakat khususnya terhadap perajin gerabah di Nusa Tenggara Barat, maka data tentang prevalensi kecacingan pada masyarakat resiko tinggi ini sangat diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah di Dusun    ”

1.2.  Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di    ?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.     Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di  
1.3.2.     Tujuan Khusus
1)    Mengetahui data tentang angka kejadian infeksi kecacingan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai perajian gerabah di Dusun
2)    Mengetahui data mengenai gambaran anemia pada pemeriksaan apusan darah tepi pada sampel yang positif mengalami cacingan dan memiliki nilai kadar hemoglobin yang rendah.

1.4     Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1     Puskesmas
Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan penyakit cacingan dan anemia.
1.4.2     Masyarakat
Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan terutama pada masyarakat dengan resiko tinggi.
1.4.3 Peneliti
Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh.
silahkan download KTI SKRIPSI
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah

Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD dalam Mencegah Penyakit Kecacingan pada Anak

KTI SKRIPSI
Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD dalam Mencegah Penyakit Kecacingan pada Anak

Abstrak
Penyakit kecacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari penelitian Rehulina (2007) didapatkan prevalensi penyakit kecacingan sebesar (60-7%) pada anak usia SD. Kelompok umur yang paling rentan akan penularan penyakit kecacingan adalah anak usia SD. Ibu memegang peranan penting dalam kehidupan seorang anak dalam menjaga kesehatan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tentang perilaku ibu yang dinilai dari pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu yang memiliki anak usia SD terhadap pencegahan penyakit kecacingan pada anak. Desin penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan perilaku ibu di Kelurahan , dengan populasi ibu yang memiliki anak usia sekolah dasar. Pengambilan sampel dilakukan pada dengan tehnik purposive sampling pada bulan Oktober-November 2009. Penyebaran koesioner dilakukan pada 173 ibu yang menjadi responden dalam penelitian sesuai dengan 'criteria yang telah ditetapkan peneliti. Hasil penelitian di Kelurahan Kecamatan menunjukkan bahwa perilaku ibu yang baik yaitu (74,6%), yang dinilai dan pengetahuan yang baik (82,1%), sikap yang baik (76,3%) dan tindakan yang baik (56,1%), Karakteristik responden yang meliputi pendidikan responden kebanyaka SMA (53,2%), pekerjaan responden sebagian besar ibu rumah tangga (53,2%) responden tidak pernah mendapat informasi dari petugas kesehatan atau puskesmas tetapi responden mendapatkan informasi yang baik, dan informasi yang paling berkesan dari televise atau surat kabar, yang dapat mempengaruhi perilaku baik pada ibu yang ada di Kelurahan Kecamatan
Kata kunci: Perilaku, ibu yang memiliki anak SD mencegah penyakit kecacingan.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia pada saat ini sedang giat membangun segala bidang. Salah satu tujuan pembangunan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Manusia adalah kunci sumber daya kesuksesan suatu pembangunan, sehingga berhasilnya suatu pembangunan dijalankan tergantung dari kualitas SDM tersebut. Banyaknya kendala yang menghambat mutu SDM di Indonesia antara lain status sosial ekonomi, penyakit kronis, kurang gizi, gangguan dalam belajar, lingkungan sekolah. Masalah kesehatan penduduk di Indonesia masih ditandai dengan tingginya penyakit yang berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi kecacingan (Rehulina, 2005).
Di dunia pada tahun 2001, lebih dari 2 miliar penduduk terinfeksi kecacingan. Prevalensi yang tinggi ditemukan di negara-negara non industri (negara-negara yang sedang berkembang). Merid (2007) mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkiran 800 juta-lmiliar penduduk terinfeksi cacing gelang, 700¬900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi cacing cambuk. Menurut laporan pembangunan Bank Dunia, dinegara berkembang diperkirakan diantara anak perempuan usia 5-14 tahun, penyakit kecacingan diperkirakan (12%) dari beban kesakitan total sementara anak laki-laki (11%). Karena itu kecacingan merupakan penyumbang total terbesar beban kesakitan pada kelompok usia tersebut (Alemina, 2007).
Di Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari semua kasus penyakit kecacingan, cacing gelang (ascaris lumbricoides) sekitar (25¬35%) dan cacing cambuk (trichuris trichiura) sekitar (65-75%). Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah dasar. Resiko tinggi adalah pada kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi disaluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa mencuci tangan dan bermain ditanah yang tercemar telur cacing tidak memakai alas kaki (Rehulina, 2005).
Di  khususnya kota ....... prevalensi kecacingan pada anak sekitar (60-70%) dan semua kasus. Penyakit kecacingan sangat berkaitan dengan masalah lingkungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hidup sehat tanpa penyakit kecacingan, diantaranya faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor keturunan dan faktor pelayanan kesehatan. Penyakit kecacingan selalu berhubungan dengan kemiskinan yaitu berupa penghasilan yang sangat rendah. Keadaan ini yang menyebabkan kebutuhan sandang, pangan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang rendah, sanitasi lingkungan yang jelek dan sumber air bersih yang kurang serta pelayanan keshatan yang terbatas (Kompas, 2009).
Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi kecacingan dapat menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak. Khusus anak usia sekolah, keadaan ini akan berakibat buruk pada pada kemampuannya dalam mengikuti pelajaran di sekolah (Depkes, 2005)
Didalam usaha pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan, ibu yang paling berperan untuk menjaga dan melindungi anak dari berbagai bahaya yang mengancam anak tersebut. Disamping itu pemerintah dan masyarakat telah melaksanakan berbagai perogram pemberantasan penyakit kecacingan, terutama di sekolah dan posyandu di kota ........ Kegiatan tersebut meliputi pemberian obat cacing, program cuci tangan sebelum dan sesudah makan, penyuluhan kepada murid, guru dan orang tua murid mengenai penyakit kecacingan yang bisa ditularkan melalui tanah, termasuk penyebab, pencegahan, penanggulangan dan pengobatan secara selektif. Selain itu juga dilakukan upaya edukatif penunjang berupa lomba kebersihan antara sekolah, lomba menggambar, dan mengarang dari murid peserta program (Depkes, 2009). Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa memperhatikan keempat faktor tersebut serta memberdayakan murid, guru, orang tua murid dan masyarakat dapat menurunkan angka kejadian penyakit kecacingan dan menunjukkan keberhasilan program yang mencegah penyakit kecacingan dengan baik (kompas, 2009)
Dari hasil observasi awal di Kelurahan Kecamatan peneliti menemukan tingginya jumlah ibu yang memiliki anak usia sekolah dasar di kelurahan ini yaitu sebanyak 866 orang. Didapat data dari 20 orang ibu yang memiliki anak usia SD, peneliti mewawancarai 5 orang ibu yang memiliki anak usia SD setiap lingkungan dari empat lingkungan, diperoleh hasil (70%) tidak mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit kecacingan pada anak usia SD dan (30%) mengetahui bagaimana cara pencegahan penyakit kecacingan pada anak usia SD, dan hasil observasi di empat linkungan tersebut masih banyak keluarga yang lc-Luang mampu, anak usia SD yang bermain di depan rumah tidak memakai alas kaki (sandal) dan daerah Kelurahan merupakan daerah yang rawan banjir.
Dari uraian di atas peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai perilaku ibu  yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .

1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
mengetahui perilaku ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
1.2.2 Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
b.    Untuk mengetahui sikap ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
c.    Untuk mengetahui tindakan ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .


1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana perilaku Ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
1.3.2 Bagaimana pengetahuan Ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
1.3.3 Bagaimana sikap Ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
1.3.4 Bagaimana tindakan Ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.     Bagi praktek keperawatan (Puskesmas)
Sebagai informasi tambahan bagi praktek keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan kecerdasan pada anak di Kelurahan Kecamatan , sehingga perawat memberdayakan ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak.
1.4.2     Bagi Orang tua atau masyarakat
Meningkatkan motivasi untuk ibu yang memiliki anak usia SD dalam mencegah penyakit kecacingan pada anak di Kelurahan Kecamatan .
1.4.3.     Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat menambah informasi dan data tambahan bagi peneliti selanjutnya tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit kecacingan.
silahkan download KTI SKRIPSI
Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD dalam Mencegah Penyakit Kecacingan pada Anak
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD dalam Mencegah Penyakit Kecacingan pada Anak

Perbedaan Antara Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7-12 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif dengan yang tidak Mendapat ASI Eksklusif

KTI SKRIPSI
Perbedaan Antara Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7-12 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif dengan yang tidak Mendapat ASI Eksklusif

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit diare merupakan penyakit kedua terbanyak di seluruh dunia setelah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ini diperkirakan ditemukan 1 milyar kasus per tahun dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Abdullah, 2006).
Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan. Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar (Depkes RI, 2005b).
Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan merupakan penyakit dengan frekuensi KLB kedua tertinggi setelah DBD. Survei Departemen Kesehatan pada tahun 2003, penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55% (Depkes RI, 2005b).
Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya ASI eksklusif masih dirasa kurang. Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI, gencarnya promosi susu formula, dan ibu bekerja (Depkes RI, 2005a).
Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu jam pasca persalinan 8%, pemberian hari pertama 52,7%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita. Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition & Health Surveillance System (NSS) kerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International di 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8 perdesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel), menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4%-12%, sedangkan dipedesaan 4%-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan berkisar antara 1%-13% sedangkan di pedesaan 2%-13% (Depkes RI, 2005a).
ASI, selain mengandung gizi yang cukup lengkap, mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi pun rawan diare. Kandungan gizinya pun tidak sama dengan kandungan gizi pada ASI (Arianto, 2008).
Kejadian diare pada balita dapat saja terjadi karena ketidaktahuan ibu mengenai tata cara pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai aspek kehidupan kota telah membawa pengaruh terhadap ibu untuk tidak menyusui bayi mereka, padahal makanan pengganti yang bergizi tinggi, jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Pengaruh buruk itu kian hari kian jauh menjalar ke pedesaan, dan dapat dibuktikan dengan berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayi mereka dari tahun ke tahun. Keadaan ini juga membawa pengaruh buruk terhadap kejadian diare pada anak (Arianto, 2008).
Kecamatan mempunyai angka kejadian diare yang cukup tinggi untuk kota (BPS, 2007). Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang diare di kecamatan tersebut.


1.2 Perumusan Masalah
    Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah “apakah ada  perbedaan antara frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapat ASI eksklusif dengan yang tidak mendapat ASI eksklusif.”

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapat ASI eksklusif.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.    Mengetahui gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif pada bayi berusia 7-12 bulan di Puskesmas , tahun .
2.    Untuk mengetahui gambaran frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif di Puskesmas , tahun .
3.    Untuk mengetahui gambaran frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif di Puskesmas , tahun .

1.4 Manfaat
1.    Bagi puskesmas, sebagai bahan masukan untuk evaluasi program peningkatan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga angka kejadian diare dapat ditekan.
2.    Sebagai penambah pengetahuan tentang pemberian ASI bagi masyarakat di lokasi penelitian.
3.    Sebagai pengalaman yang sangat berharga sekaligus tambahan pengetahuan bagi penulis.
4.    Dengan terwujudnya hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran serta referensi bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya para peneliti berikutnya.
silahkan download KTI SKRIPSI
Perbedaan Antara Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7-12 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif dengan yang tidak Mendapat ASI Eksklusif
KLIK DIBAWAH 
READ MORE - Perbedaan Antara Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7-12 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif dengan yang tidak Mendapat ASI Eksklusif

Arsip Blog

tes