Kehamilan dengan Molahidatidosa

Kehamilan dengan Molahidatidosa:

A.Pengertian
Molahidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh vili korialisnya mengalami perubahan hidrofik. Uterus dan berkembang lebih cepat dari usia gestasi yang normal, tidak dijumpai adanya janin, kavum uteri hanya terisi oleh jaringan seperti rangkaian buah anggur (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000 dan Unpad, Obstetri Patologi, 1984)

B.Etiologi
Belum diketahui pasti ada yang menyatakan akibat infeksi, defisiensi makanan dan genetik. Faktor risiko terdapat pada golongan sosioekonomi rendah, usia di bawah 20 tahun dan paritas tinggi (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000).

C.Patogenesis
Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih biasanya tidak ada janin, hanya pada molapartialis kadang-kadang ada janin. Gelembung itu sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur gelembung ini dapat mengisi seluruh cavum uteri.
Di bawah mikroskop nampak degenerasi hydropik dari stroma jonjot, tidak adanya pembuluh darah dan proliferasi trofoblast. Pada pemeriksaan chromosom didapatkan poliploid dan hampir pada semua kasus mola susunan sek chromatin adalah wanita. Pada mola hidatidosa, ovaria dapat mengandung kista lutein. Kadang-kadang hanya pada satu ovarium kadang pada keduanya (UNPAD, Obstetri Patologi, 1984).

D. Manifestasi klinis
  1. Aminore dan tanda – tanda kehamilan
  2. Perdarahan kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, karena perdarahan ini pasien biasanya anemis.
  3. Perbesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan
  4. Tidak teraba adanya janin, tidak adanya balloment, tidak ada bunyi jantung anak dan tidak nampak rangka janin pada rotgen foto. Pada mola partialis, keadaan yang jarang terjadi, dapat di ketemukan janin
  5. Hiperemisis lebih sering terjadi, lebih keras dan dan lebih lama.
  6. Pre eklampsi atau eklamsi yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu
  7. Gejala klinik mirip dengan kehamilan muda dan abortus imminens, tetapi gejala mual dan muntah berat. (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000)


E. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan sonde uterus (hanifa)
2. Tes acorta sison dengan tang abortus, gelembung mols dapat dikeluarkan
3. Peningkatan kadar beta HCG darah atau urin
4. Ultrasonografi menunjukkan gambaran badai salju (snow flake pattern)
5. Foto torake ada gembaran emboli udara
6. Pemeriksana T3 dan T4 bila ada gejala hiotoksikosis
(Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000)

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Perdarahan pervaginam / gambaran NOK, gejala toksemia pada trimester I dan II, hipermisis gravidarum, gejala tirotoksikosis dan gejala emboli paru
2. Pemeriksaan fisik
Uterus lebih besar dari usia kehamilan, kista lotein balotemen negatif denyut jantung janin negatif
3. Pemeriksaan penunjang (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000)

G. Diagnosis Banding
Hampir 20% molahidatidosa komplet berlanjut menjadi choriocarcinoma. Sedangkan molahidatidosa parsial jarang. Mola yang terjadi berulang disertai tirotoksikosi atau kista lutein memiliki kemungkinan menjadi ganas lebih tinggi (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, 2000).

H. Penatalaksanaan
  1. Perbaiki keadaan umum
  2. Keluarkan jaringan mola dengan vakum kuretas dilanjutkan dengan kuret tajam. Lakukan kuretas bila tinggi fundus uterus lebih dari 20 minggu sesudah hari ketujuh.
  3. Untuk memperbaiki kontraksi, sebumnya berikan uterotonik (20-40 unit oksitosin dalam 250 cc/50 unit oksitosin dalam 500 ml NaCl 0,9%) bila tidak dilakukan vakum kuretase, dapat diambil tindakan histerotomi.
  4. His teroktomi perlu dipertimbangkan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup anak. Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga
  5. Terapi proflaksis dengan sitostatik metroteksat atau aktinomisin D pada kasus dengan resiko keganasan tinggi seperti umur tua dan paritas tinggi
  6. Pemeriksaan ginekologi, radiologi dan kadar Beta HCG lanjutan untuk deteksi dini keganasan. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola. Yang paling banyak dalam 6 bulan pertama, pemeriksaan kadar Beta HCG tiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu lalu tiap bulan selama 6 bulan pemeriksaan foto toraks tiap bulan sampai kadar Beta HCG negatif (Taber Benzlon, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi, 1994)


READ MORE - Kehamilan dengan Molahidatidosa

Persalinan dengan kala II Memanjang

Persalinan dengan kala II Memanjang:

A. Pengertian
Persalinan kala II memanjang (prolonged expulsive phase) atau disebut juga partus tak maju adalah suatu persalinan dengan his yang adekuat namun tidak menunjukkan kemajuan pada pembukaan serviks, turunnya kepala dan putaran paksi selama 2 jam terakhir. Biasanya persalinan pada primitua dapat terjadi lebih lama. Menurut Harjono, persalinan kala II memanjang merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul gejala – gejala seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu serta asfiksia dan kematian janin dalam kandungan (IUFD).

B. Etiologi
Sebab – sebab terjadinya yaitu multikomplek atau bergantung pada pengawasan selagi hamil, pertolongan persalinan yang baik dan penatalaksanaannya.

Faktor – faktor penyebabnya adalah :
1. Kelainan letak janin
2. Kelainan – kelainan panggul
3. Kelainan his dan mengejan
4. Pimpinan partus yang salah
5. Janin besar atau ada kelainan kongenital
6. Primitua
7. Perut gantung atau grandemulti
8. Ketuban pecah dini

C. Gejala Klinik
a. Pada ibu
Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernafasan cepat. Di daerah lokal sering dijumpai : Ring v/d Bandl, edema vulva, edema serviks, cairan ketuban berbau dan terdapat mekonium.
b. Pada janin
- Denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur bahkan negatif.
- Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan dan berbau
- Caput Succedeneum yang besar
- Moulage kepala yang hebat
- IUFD (Intra Uterin Fetal Death)

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada ibu dengan kala II memanjang yaitu dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, sectio caesaria, dan lain-lain. Penatalaksanaannya yaitu sebagai berikut :
a. Tetap melakukan Asuhan Sayang Ibu, yaitu :
- Anjurkan agar ibu selalu didampingi oleh keluarganya selama proses persalinan dan kelahiran bayinya. Dukungan dari suami, orang tua dan kerabat yang disukai ibu sangat diperlukan dalam menjalani proses persalinan.
Alasan : Hasil persalinan yang baik ternyata erat hubungannya dengan dukungan dari keluarga yang mendampingi ibu selama proses persalinan (Enkin, et al, 2000).
- Anjurkan keluarga ikut terlibat dalam asuhan, diantaranya membantu ibu untuk berganti posisi, melakukan rangsangan taktil, memberikan makanan dan minuman, teman bicara dan memberikan dukungan dan semangat selama persalinan dan melahirkan bayinya.
- Penolong persalinan dapat memberikan dukungan dan semangat kepada ibu dan anggota keluarganya dengan menjelaskan tahapan dan kemajuan proses persalinan atau kelahiran bayi kepada mereka.
- Tentramkan hati ibu dalam menghadapi dan menjalani kala II persalinan. Lakukan bimbingan dan tawarkan bantuan jika diperlukan.
- Bantu ibu memilih posisi yang nyaman saat meneran
- Setelah pembukaan lengkap, anjurkan ibu hanya meneran apabila ada dorongan kuat dan spontan untuk meneran. Jangan menganjurkan untuk meneran berkepanjangan dan menahan nafas. Anjurkan ibu untuk beristirahat diantara kontraksi.
Alasan : Meneran secara berlebihan menyebabkan ibu sulit bernafas sehingga terjadi kelelahan yang tidak perlu dan meningkatkan resiko asfiksia pada bayi sebagai akibat turunnya pasokan oksigen melalui plasenta (Enkin, et al, 2000).
- Anjurkan ibu untuk minum selama kala II persalinan
Alasan : Ibu bersalin mudah sekali mengalami dehidrasi selama proses persalinan dan kelahiran bayi. Cukupnya asupan cairan dapat mencegah ibu mengalami hal tersebut (Enkin, et al, 2000).
- Adakalanya ibu merasa khawatir dalam menjalani kala II persalinan. Berikan rasa aman dan semangat serta tentramkan hatinya selama proses persalinan berlangsung. Dukungan dan perhatian akan mengurangi perasaan tegang, membantu kelancaran proses persalinan dan kelahiran bayinya. Beri penjelasan tentang cara dan tujuan dari setiap tindakan setiap kali penolong akan melakukannya, jawab aetiap pertanyaan yang diajukan ibu, jelaskan apa yang dialami oleh ibu dan bayinya dan hasil pemeriksaan yang dilakukan (misalnya TD, DJJ, periksa dalam).

b. Mendiagnosa kala II persalinan dan memulai meneran :
- Cuci tangan (Gunakan sabun dan air bersih yang mengalir)
- Pakai sarung tangan DTT/steril untuk periksa dalam
- Beritahu ibu saat, prosedur dan tujuan periksa dalam
- Lakukan periksa dalam (hati-hati) untuk memastikan pembukaan sudah lengkap (10cm) lalu lepaskan sarung tangan sesuai prosedur PI
- Jika pembukaan belum lengkap, tentramkan ibu dan bantu ibu mencari posisi nyaman (bila ingin berbaring) atau berjalan-jalan disekitar ruang bersalin. Ajarkan cara bernafas selama kontraksi berlangsung. Pantau kondisi ibu dan bayinya dan catatkan semua temuan dalam partograf
- Jika ibu merasa ingin meneran tapi pembukaan belum lengkap, beritahukan belum saatnya untuk meneran, beri semangat dan ajarkan cara bernafas cepat selama kontraksi berlangsung. Bantu ibu untuk memperoleh posisi yang nyaman dan beritahukan untuk menehan diri untuk meneran hingga penolong memberitahukan saat yang tepat untuk itu.
- Jika pembukaan sudah lengkap dan ibu merasa ingin meneran, bantu ibu mengambil posisi yang nyaman, bimbing ibu untuk meneran secara efektif dan benar dan mengikuti dorongan alamiah yang terjadi. Anjurkan keluarga ibu untuk membantu dan mendukung usahanya. Catatkan hasil pemantauan dalam partograf. Beri cukup minum dan pantau DJJ setiap 5-10 menit. Pastikan ibu dapat beristirahat disetiap kontraksi.
- Jika pembukaan sudah lengkap tapi ibu tidak ada dorongan untuk meneran, bantu ibu untuk memperoleh posisi yang nyaman (bila masih mampu, anjurkan untuk berjalan-jalan). Posisi berdiri dapat membantu penurunan bayi yang berlanjut dengan dorongan untuk meneran. Ajarkan cara bernafas selama kontraksi berlangsung. Pantau kondisi ibu dan bayi dan catatkan semua temuan dalam partograf.
- Berikan cukup cairan dan anjurkan / perbolehkan ibu untuk berkemih sesuai kebutuhan. Pantau DJJ setiap 15 menit, stimulasi puting susu mungkin dapat meningkatkan kekuatan dan kualitas kontraksi.
- Jika ibu tidak ada dorongan untuk meneran setelah 60 menit pembukaan lengkap, anjurkan ibu untuk mulai meneran disetiap puncak kontraksi. Anjurkan ibu mengubah posisinya secara teratur, tawarkan untuk minum dan pantau DJJ setiap 5-10 menit. Lakukan stimulasi puting susu untuk memperkuat kontraksi.
- Jika bayi tidak lahir setelah 60 menit upaya tersebut diatas atau jika kelahiran bayi tidak akan segera terjadi, rujuk ibu segera karena tidak turunnya kepala bayi mungkin disebabkan oleh disproporsi kepala-panggul (CPD).
- Upaya mengedan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi jumlah oksigen ke plasenta. Dianjurkan mengedan secara spontan (mengedan dan menahan nafas terlalu lama, tidak dianjurkan)
a. Jika malpresentasi dan tanda-tanda obstruksi bisa disingkirkan, berikan infus oksitosin
b. Jika tidak ada kemajuan penurunan kepala :
1) Jika kepala tidak lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis atau bagian tulang kepala di stasion (O), lakukan ekstraksi vakum atau cunam
2) Jika kepala diantara 1/5-3/5 di atas simfisis pubis, atau bagian tulang kepala di antara stasion (O)-(-2), lakukan ekstraksi vakum
3) Jika kepala lebih dari 3/5 di atas simfisis pubis atau bagian tulang kepala di atas stasion (-2) lakukan seksio caesarea.

READ MORE - Persalinan dengan kala II Memanjang

Persalinan dengan Kala III Memanjang

Persalinan dengan Kala III Memanjang:

Kala III dimulai segera setelah lahir sampai lahirnyanya plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Waktu yang paling kritis untuk mencegah perdaraan post partum adalah ketika plasenta lahir. Ketika plasenta terlepas atau sepenuhnya terlepas atau tidak keluar, maka perdarahan terjadi di belakang plasenta sehingga uterus tidak dapat sepenuhnya berkontraksi karena plasenta masih di dalam. Kontraksi pada otot uterus merupakan mekaniske fisiologi yang menghentikan perdarahan. Manajemen aktif pada kala III persalinan mempercepat kelahiran plasenta dan dapat mencegah atau mengurangi perdarahan post partum.

1. Tanda-Tanda Lepasnya Plasenta
Tanda-tanda lepasnya plasenta menurut Buku Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusui Dini (2008 : 124) yaitu :
a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada di atas pusat.
b. Tali pusat memanjang
Tali pusat terlihat menjulur melalui vulva
c. Semburan darah mendadak dan singkat
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah dalam ruang didalam dinding uterus dan permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar dari tepi plasenta yang terlepas.

2. Manajemen Aktif Kala III
Tujuan manajemen aktif kala tiga adalah menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala tiga persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanan fisiologi. Sebagian besar besar kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan dimana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta yagn sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala tiga.

Keuntungan-Keuntungan Manajemen Aktif Kala III
a. Persalinan kala tiga yang lebih singkat
b. Mengurangi jumlah kehilangan darah
c. Mengurangi kejadian retensio plasenta

Manajemen Aktif Kala III terdiri dari tiga langkah utama, yaitu :
a. Pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir
b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali
c. Masase fundus uteri

3. Pemberian Suntikan Oksitosin
a. Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk diberi ASI
b. Letakkan kain bersih di atas perut ibu
c. Periksa uterus untuk memastikan tidak ada bayi yang lain
d. Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik
e. Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir) suntik oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis)


4. Penegangan Tali Pusat Terkendali
a. Berdiri disamping ibu
b. Pindahkan klem (penjepit untuk memotong tali pusat saat kala dua) pada tali pusat sekitar 5-20 cm dari vulva
c. Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan menekan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat. Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah luma dan kepala ibu (dorso-kranial). Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadi inversio uteri
d. Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali (sekitar dua atau tiga menit berselang) untuk mengulangi kembali penegan tali pusat terkendali.
e. Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat) atau tali pusat menjulur) tegangkan tali pusat ke arah bawah, lakukan tekanan dorso-kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.
f. Tetapi jika langkah 5 di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya penegangan tali pusat dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan tali pusat.
1) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke perineum pada saat tali pusat memanjang. Pertahankan kesabaran pada saat melahirkan plasenta.
2) Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat terkendali dan tekanan dorso-kranial pada korpus uteri secara serentak. Ikuti langkah-langkah tersebut pada setiap kontraksi hingga terasa plasenta terlepas dari dingin uterus.
g. Setelah plasenta terpisah, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong keluar melalui introitus vagina. Tetap tegangkan tali pusat dengan arah sejajar lantai (mengikuti poros jalan lahir).
h. Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk diletakkan dalam wadah penampung. Karena selaput ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan kedua tangan dan secara lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin menjadi satu.
i. Lakukan penarikan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan selaput ketuban
j. Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama. Gunakan jari-jari tangan anda atau klem DTT atau streil atau forsep untuk keluarkan selaput ketuban yang teraba.

Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 unit oksitosin IM dosis kedua. Periksa kandung kemih, jika ternyata penuh, gunakan teknik aseptik untuk memasukkan kateter Netalon disinfeksi tingkat tinggi atau steril untuk mengosongkan kandung kemih. Ulangi kembali penegangan tali pusat dan tekanan dorso kranial seperti yang diuraikan di atas.
Setelah lahirnya plasenta harus diperiksa kelengkapannya dan masase uterus dilakukan untuk merangsang kontraksi uterus serta periksa perineum dari perdarahan aktif. Pada prinsipnya pencegahan perdarahan postpartum yaitu dengan meningkatkan kontraksi uterus dan mempercepat kala III persalinan ini.

READ MORE - Persalinan dengan Kala III Memanjang

Heating Perineum

Heating Perineum:

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat bersal dari perineum vagina, servik dan robekan uterus. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan yang bersifat arteril atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam atau spekulum.
Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai pada pertolongan persalinan. Jika perlukaan hanya mengenai bagian luar (superfisial) saja atau jika perlukaan tersebut idak mengeluarkan darah, biasanya tidak perlu dijahit. Hanya perlukaan yang lebih dalam dimana jaringannya tidak bisa didekatkan dengan baik atau perlukaan yang aktif mengeluarkan darah memerlukan suatu penjahitan.
Tujuan dari pejahitan perlukaan perineum / episiotomi adalah :
1. Untuk mendekatkan jaringan-jaringan agar proses penyembuhan bisa terjadi, proses penyembuhan itu sendiri bukanlah hasil dari penjahitan tersebut tetapi hasil dari pertumbuhan jaringan.
2. Untuk menghentikan perdarahan
Robekan perineum dibagi 4 tingkat :
- Tingkat I : robekan terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa kulit perineum
- Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot pernei aransersalis, tetapi tidak mengenai otot sfingerani
- Tingkat III : robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingerani
- Tingkat IV : robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingterani dan mukosa rektum

Langkah-langkah pejahitan robekan perineum (Rasionalisasi)

a. Persiapan Alat
1. Siapkan peralatan untuk melakukan penjahitan
- Wadah berisi :
Sarung tnagna, pemegang jarum, jarum jahit, benang jahit, kasa steril, pincet
- Kapas DTT
- Buka spuit sekali pakai 10 ml dari kemasan steril, jatuhkan dalam wadah DTT
- Patahkan ampul lidokain
2. Atur posisi bokong ibu pada posisi litotomi di tepi tempat tidur
3. Pasang kain bersih di bawah bokong ibu
4. Atur lampu sorot atau senter ke arah vulva / perineum ibu
5. Pastikan lengan / tangan tidak memakai perhiasan, cuci tangan dengan sabun dan air mengeliar
6. Pakaian satu sarung tangan DTT pada tangan kanan
7. Ambil spuit dengan tangan yang berasarung tangan, isi tabung suntik dengan lidokain dan letakkan kembali ke dalam wadah DTT
8. Lengkapi pemakaian sarunga tangan pada tangan kiri
9. Bersihkan vulva dan perineum dengan kapas DTT dengan gerakan satu arah dari vulva ke perineum
10. Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa laserasi hanya merupakan derajat satu atau dua.

b. Anestesi Lokal
1. Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan
2. Tusukkan jarum suntik pada daerah kamisura posterior yaitu bagian sudut bahwa vulva.
3. Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang terhisap
4. Suntikan anestesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka daerah perineum
5. Tanpa menarik jarum suntik keluar dari luka arahkan jarum suntik sepanjang luka pada mukosa vagina
6. Lakukan langkah 2-5 diatas pada kedua tepi robekan
7. Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan

c. Penjahitan Laserasi pada Perineum
1. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm diatas ujung laserasi di mukosa vagina. Setelah itu buat ikatan dan potong pendek benang dari yang lebih pendek. Sisakan benang kira-kira 1 cm.
2. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin himen
3. Tepat sebelum cincin himen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke belakang cincin himen sampai jarum ada di bawah laserasi kemudian ditarik keluar pada luka perineum
4. Gunakan teknik jelujur saat menjahit lapisan otot. Lihat kedalam luka untuk mengetahui letak ototnya.
5. Setelah dijahit sampai ujung luka, putarlah jarum dan mulailah menjahit kearah vagina dengan menggunakan jahitan subkutikuler
6. Pidahkan jahitan dari bagian luka perineum kembali ke vagina di belakang cincin hymen untuk diikat dengan simpul mati dan dipotong benangnya
7. Masukkan jari ke dalam rektum
8. Periksa ulang kembali pasa luka
9. Cuci daerah genital dengan lembut kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang diinginkan
10. Nasehat iibu untuk :
a. Menjaga perineum selalu bersih dan kering
b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya
c. Cuci perineum dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3-4 x per hari
d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa luka

MACAM – MACAM JAHITAN
a. Jahitan Kulit
1. Jahitan interrupted :
a) Jahitan simple interrupted (Jahitan satu demi satu)
Merupakan jenis jahitan yang paling dikenal dan paling banyak digunakan. Jarak antara jahitan sebanyak 5-7 mm dan batas jahitan dari tepi luka sebaiknya 1-2 mm. Semakin dekat jarak antara tiap jahitan, semakin baik bekas luka setelah penyembuhan.
2. Jahitan Matras
a) Jahitan matras vertikal
Jahitan jenis ini digunakan jika tepi luka tidak bisa dicapai hanya dengan menggunakan jahitan satu demi satu. Misalnya di daerah yang tipis lemak subkutisnya dan tepi satu demi satu. Misalnya di daerah yang tipis lunak subkutisnya dan tepi luka cenderung masuk ke dalam.
b) Jahitan matras horizontal
Jahitan ini digunakan untuk menautkan fasia dan aponeurosis. Jahitan ini tidak boleh digunakan untuk menjahit lemak subkutis karena membuat kulit diatasnya terlihat bergelombang
3. Jahitan Continous
a) Jahitan jelujur : lebih cepat dibuat, lebih kuat dan pembagian tekanannya lebih rata bila dibandingkan dengan jahitan terputus. Kelemahannya jika benang putus / simpul terurai seluruh tepi luka akan terbuka.
b) Jahitan interlocking, feston
c) Jahitan kantung tembakau (tabl sac)

4. Jahitan Subkutis
a. Jahitan continous : jahitan terusan subkutikuler atau intrademal. Digunakan jika ingin dihasilkan hasil yang baik setelah luka sembuh. Juga untuk menurunkan tengan pad aluka yang lebar sebelum dilakukan penjahitan satu demi satu.
b. Jahitan interrupted dermal stitch
5. Jahitan Dalam
Pada luka infeksi misalnya insisi abses, dipasang dren. Dren dapat dibuat dari guntingan sarunga tangan fungsi dren adalah mengelirkan cairan keluar berupa darah atau serum.

Penanganan Komplikasi
1. Jika terdapat hematoma, darah dikeluarkan. Jika tidak ada tanda infeksi dan perdarahan sudah berhenti, lakukan penjahitan.
2. Jika terdapat infeksi, buka dan drain luka
- Lalu berikan terapi ampisilin 500 mg per oral 4 x sehari selama 5 hari
- Dan metronidazol 400 mg per oral 3 x sehari selama 5 hari
Perawatan Pasca Tindakan
1. Apabila terjadi robekan tingkat IV (Robekan sampai mukosa rektum), berikan anti biotik profilaksis dosis tunggal
- Ampisilin 500 mg per oral
- Dan metronidazol 500 mg per oral
2. Observasi tanda-tanda infeksi
3. Jangan lakukan pemeriksaan rektal atau enam selama 2 minggu
4. Berikan pelembut feses selama seminggu per oral

READ MORE - Heating Perineum

Tehnik Insersi dan Pengeluaran Implant

Tehnik Insersi dan Pengeluaran Implant:

Tehnik Insersi Implant
Pemasangan dilakukan pada bagian dalam lengan atas atau lengan bawah kira-kira 6-8 cm diatas /bawah siku, melalui insisi tanggal dalam bentuk kpas dan di masukan tepat di bawah kulit, perhatikan aseptis dan anti septis untuk memasang Implant (norplant)
  • Cuci daerah insersi dengan alcohol dan anti septic dan tutup sekotar daerah insersi dengan kain steril
  • Lakukan anesrtesi local (lidocain 1%) pada daerah insersi
  • Dengan pisan scalpel di buat insisi 3 mm sejajar dengan tekanan ke atas dan tanpa merubah sudut pemasukan
  • Masukkan ujung torcar melalui insisi sambil melakukan tekanan keatas dan tanpa merubah sudut pemasukan.
  • Masukan Implant kedalam trocarnya dengan batang pendorong Implant di dorong perlahan-lahan keujung trocar sampai treasa adanya tahunan, kemudian trocar perlahan-lahan di tarik kembali sampai garis batas dekat uung trocar terlihat pada insisi dan terasa implant keluar dari trocarnya. Raba lengan dengan jari untuk memastikan implant sudah berada pada tempatnya dengan baik.
  • Ubah arah trocar sehingga implant berikutnya berada 15o dari implant sebelumnya
  • Setelah semua implant terpasang lakukan penekanan pada tempat luka insisi dengan kasa steril untuk mengurangi perdarahan.
  • Luka insisi ditutup dengan kopres kering lalu lengan di balut dengan kasa untuk mencegah perdarahan.


Teknik pengeluaran Implan
Up implant umumnya lebih sulit dari insersi personal dapat timbul bila implant di pasang terlalu dalam atau bila timbul jaringan fibrous sekeliling implant.

Untuk Mengeluarkan Implant :
1. Cuci tangan akseptor dengan aseptis dan anti septis
2. Ttuka lokasi dari implant dengan jari-jari tangan
3. Suntikan anestasi local di bawah implant
4. Buat satu insisi 4 mm sedekat mungkin pada ujung-ujung implant pada daerah alat kipas
5. keluarkan implant pertama yang terletak paling dekat ke insisi atau yang treletak paling dekat ke permukaan
6. lakukan up implant dengan cara pop out/standard
7. berikan anestesi lagi bila di perluka untuk mengluarkan implant yang lain
8. tutup dan bungkus luka insisi seperti pada aat insersi.
9. up im;ant di batasi sampai wkatu 45 menit
10. setelah selesai up implant, rendam semua alat-alat yang sudah terpakai dalam cairan klorin 0,5% untuk dekontaminasi alat-alat tersebut.

4 (Empat) cara pengeluaran UP Implant (Norplant)
1. Cara Pop Out
Dorong ujung kapsul (arah bahu) kearah distal dengna ibu jaring sehingga mendekati lubang insisi, sementara jari telunjuk menahan bagian tengah kapsul sehingga ujung distal kapsul mendalam kulit.

2. Cara Standard
Jepit ujung distal kapsul dengan klem mosguito sampai kira-kira 0,5-1 cm dan ujung klemnya masuk di bawah kulit melalui lubang insisi, putar klem pada posisi 180 derajat di sekitar sumbu utamanya mengarah ke bahu akspetor
Berihksan jaringan-jaringan yang menempel di sekeliling klem dan kapsul dengan scalpel atau kasa steril sampai kapsul terlihat dengan klem circle, lepaskan klem mosquito dan keluarkan kapsul dengan klem circle.

3. Cara "U"
Dibuat insisi memanjang selebar 4 mm kira-kira 5 mm proksimal porksimal dari ujung kapsul ketiga dan ke empat. Kapsulnya yang akan di cabut di fiksasi dengna melatakkan jari telunjuk tangan kiri sejajar di samping kapsul-kapsul dipegang dengan klem lebih kurang 5 mm dari ujung distalnya kemudian di putar kearah pangkal atas bahu akspetor sehingga jaringan yang menyelubungi dengna memakia scalple untuk sterusnya di cabut keluar.

4. Cara tusuk "MA"
Memakai alat Bantu kawat atau jari roda sepada, satu ujung di lengkungkan sepanjang 0,5-1,5 mm sudut 90o dan di perkecil serta di runcingkan, sedang ujung yang lain di lengkungkan dalam satu bidang dengan lengkungan runcing tadi di pakai untuk pegangan operator, setelah kapsul di jept dngan pinset/klem arteri, jaringan ikat di bersihkan dengna pisau sampai kpasul tampak putih kemudian alat tusuk "MA" di tusukkan pada kapsul serta terus di kait keluar atua setelah kapsul di jepit dengan pinset/klem arteri, alat tusuk "MA" di tusukkan kedalam kapsul sambil di ungkit kearah luka insisi lalu pinset/kelm arteri, di lepaskan dan dengan pisau kapsul di bebaskan dari jaringan ikat, lalu di ungkit keluar dari luka insisi.

READ MORE - Tehnik Insersi dan Pengeluaran Implant

Gastroenteritis pada Balita

Gastroenteritis pada Balita:

2.1 Definisi
Gastroenteritis berasal dari kata gaster = lambung dan entera = usus Gastroenteritis adalah radang dari lambung dan usus dimana didapatkan gejala diare dengan atau tanpa muntah.
Gastroenteritis adalah pengeluaran tinja yang encer dengan frekuensi lebih dari 4x / hari, dapat atau tidak disertai perubahan warna, darah dan lendir.

2.2 Etiologi
Etiologi diare dapt di bagi dalam beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor Infeksi.
a. Infeksi Enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyakit utama diare pada anak. Inflasi enternal ini meliputi :
Infeksi bakteri : Vigrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Compylobacter, Yersnia, Aeromonas dan sebagainaya.
Infeksi virus : Enteroovirus, (Virus echo, Coxsackie, Poliamyelitis) Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain
b. Infeksi Parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti Otitis Media Akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis, dan sebagainya.
2. Faktor Mal aborsi
a. Malabsorbsi karbohidrat : Disakarida (intoleransi lactosa, maltosa dan
sukrosa) monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa) pada bayi dan anak-anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.

b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, alergi terhadap
makanan.
4. Faktor psikologis : Rasa takut dan cemas, walaupun jarang dapat
menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.

Patogenesis diare akut
1. Masuknya jasad renik yang masih hidup kedalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung.
2. Jasad renik tersebut berkembang biak di dalam usus halus.
3. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin
4. Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.

Potogenesis diare kronis.
Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi malnutrisi, dan lain-lain

Patofisiologis diare akut maupun kronis akan terjadi :
1. Kehilangan air dan elektrolit, yang mengakibatkan terjadinya ganguan keseimbangan asam basa.
2. Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan.
3. Hipoglikemia
4. Gangguan sirkulasi darah.

2.3 Gejala / Tanda-tanda.
1. Mula-mula cengeng dan gelisah
2. Suhu tubuh biasanya naik
3. Anoreksia
4. Timbul diare yaitu tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah
5. Timbul muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare.
6. Sekitar anus dapat menjadi lecet karena seringnya defekasi dan tinja yang asam, dan timbullah keadaan yang disebut dengan dehidrasi dengan tanda-tanda :
a. Mata cekung
b. Turgor kulit jelek
c. BB menurun
d. Kencing sedikit
e. Selaput lendir bibir, mulut dan kulit kering
f. Timbul demam

Pemeriksaan laboraturium.
1. Pemeriksaan tinja.
a. Makroskopis dan Mikroskopis
b. PH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinetest.
c. Bila perlu dilakukan pembikan dan uji resitensi
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah
3. Pemiriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faat ginjal
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan posfor dalam serum.
5. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik

Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti :
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik
3. Hipokalsemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi)
4. Hipoglikemia
5. Intoleransi laktosa sekunder
6. Kejang
7. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.

2.4 Pengobtan
Dasar pengobatan diare ialah :
1. Pemberian cairan
2. Dietetik (pemberian makanan)
3. Obat-obatan
4. Education = Pendidikan kesehatan untuk ibu-ibu tentang anak-anak yang sehat atau makanan untuk anak diare.

Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung besar, dan lain-lain).

PENATALAKSANAAN
1. Atasi Dehidrasi
a. Oralit
Pada dehidrasi ringan diberikan oralit atau pengganti oralit sesering mungkin. Contoh pengganti oralit :
~ Air teh + 1 sendok gula + seujung sendok garam
~ Air tajin + gula + garam.
Kalau anak masih muntah diberikan oralit sedikit-dikit tapi sering kalau tidak bisa di kirim ke RS.
b. Pemberian Makanan Semula
c. Kembali makanan semula secara bertahap, setelah dehidrasi hilang.
Misal : SGM diencerkan 1/3 takaran semula, biasanya makan nasi tim di ganti bubur dahulu.
Keperluan cairan
Dehidrasi ringan : 150 cc / kg BB / hari
Dehidrasi sedang : 200 cc / kg BB / hari
Dehidrasi berat : infus RL, nacl, D10 %.

2. Therapi
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidarat lain (gula, air, tajin, dan lain-lain).
- Obat-obatan Anti Sekresi
o Asetosal dosis 25 mg / hari dengan dosis minimal 30 mg.
o Klorpromazin dosis 0,5 – 1 mg / kg BB / hari
- Obat Spasmolitik
Umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, tidak boleh di gunakan
- Obat Antibiotik
Umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas. Bila penyebab yang jelas. Bila penyebabnya kolera diberikan tetrasiklin 25-50 mg / kg BB / hari. Antibiotik juga diberikan bila terdapat penyakit penyerta, spt : OMA, faringitis, bronkitis atau bronkopneumonia.

READ MORE - Gastroenteritis pada Balita

Bayi dengan Fraktur Klavicula

Bayi dengan Fraktur Klavicula:

A.Pengertian
Fraktur atau patah tulang ialah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.(Mansjoer; Suprohaita; Wardhani; Setiowulan, 2000: 346) Fraktur klafikula adalah patahnya tulang klavikula pada saat proses persalinan biasanya kesulitan melahirkan bahu pada letak kepala dan melahirkan lengan pada prosentase bokong karena adanya penekanan pada lengkung bahu selama persalinan berlangsung terdapat 1,5 – 3% dari persalinan pervaginam fractur klavikula ini merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering ditemukan dibanding dengan trauma tulang lainnya. . (Wahab, 1995: 1209). Jenis fraktur pada trauma lahir ini umumnya jenis fraktur freenstick, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi suatu fraktur total, fraktur ini sering ditemukan 1 – 2 minggu kemudian setelah teraba adanya pembentukan kalus. http://ayurai.wordpress.com/2009/04/10/askeb-neo-trauma-kelahiran-pada-bayi-baru-lahir/. Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10 hari dengan imobilisasi dengan posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat dari siku yang tertekan.(Wiknjosastro, 2005: 720) Pembentukan kalus bertambah beberapa bulan ( 6 – 8 minggu ) terbentuk tulang normal.

B. Etiologi
1. Persalinan letak sungsang
2. Persentasi verteks dengan kesukaran mengeluarkan bahu dan pundak (distosia). (Markum, 1981: 158)

C. Faktor predisposisi fraktur klavikula adalah :
1. Bayi yang berukuran besar
2. Distosia bahu
3. Partus dengan letak sungsang
4. Persalinan traumatic
5. Gejala (a. samik wahab, 2000)

D. Diagnosis
1. Diagnosis pasti dibuat dengan palpasi serta rontgen (American College Of Surgenons, 1983)
2. Diagnosis pasti dengan jalan melakukan palpasi untuk menemukan letak fraktur dan melakukan foto rontgen (Manuaba, 1998: 321).

E. Tanda dan Gejala terjadinya Fraktur Klavikula
Fraktur klavikula merupakan trauna lahir yang terjadi selama proses persalinan yang insidennya adalah 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Bayi akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
1. Gerakan abnormal/ posisi asimetris dengan lengan /tungkai
2. Bengkak pada daerah tulang yang terkena
3. Menangis apabila lengan, kaki atau bahu di gerakkan
4. Terdapat perubahan bentuk atau deformitas (http://www.bedahtkv.com/indek.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan-Spesifik.html)
5. Hilangnya fungsi anggota gerak dan persendian yang terdekat ( paralisis )
6. Reflek moro negatif pada sisi yang terkena.
7. Pemeriksaan diagnostik foto sinar X dari ekstremitas yang sakit atau lokasi fraktur.
8. Bayi secara khas tidak menggerakkan lengan secara bebas
9. Pada palpasi teraba ketidakteraturan tulang dan krepitasi.
10. (Wahab, 2000: 581)
11. Hilangnya lengkung supraklavikula pada sisi fraktur. (Cunningham, dkk: 2005)

Jenis fraktur pada trauma lahir ini umumnya jenis fraktur greenstick, walau kadang-kadang dapat juga terjadi suatu fraktur total secara klinis fraktur jenis greenstick sering tidak diketahui segera setelah bayi lahir, tetapi baru ditemukan 1 – 2 mg kemudian setelah teraba adanya pembentukan kalus.

F. Beberapa gejala klinis fractur klavicula greenstick :
1. Gerakan tangan kanan dan kiri tidak sama.
2. Refleks moro asimetris.
3. Bayi akan menangis pada perabaan kalvicula.
4. Gerakan pasif tangan yang sakit.
5. Riwayat persalinan yang sukar.

G. Jenis fraktur klavicula yang sakit :
1. Adanya crepitasi.
2. Deformitas pada tulang klavikula yang sakit.
http://stasiunbidan.blogspot.com/2009/05/askeb-patologis-pada-bayi-baru-lahir.html
H. Konseling yang harus diberikan pada ibu dan keluarga yaitu :
1. Bayi jangan sering diangkat atau digerakkan
2. Imobilisasi lengan dan bahu pada sisi yang sakit
3. Rawat bayi dengan hati – hati.
4. Nutrisi yang adekuat ( pemberian ASI yang adekuat dengan cara mengajarkan kepada ibu cara pemberian ASI dengan posisi tidur, dengan sendok atau pipet)
5. Bila mengganti popok, usahakan seminimal mungkin mengangkat bayi terutama extrimitas atas
6. Rujuk kerumah sakit / pelayanan kesehatan lainnya.

I. Komplikasi
Timbul penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia yaitu pembuluh darah yang berada diantara klavikula dan iga pertama. (http://www.bedahtkv.com/indek.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan-Spesifik.html)

J. Penatalaksanaan
1. Fraktur klavikula dapat di atasi dengan pemasangan balutan klavikula berbentuk angka delapan. dengan cara dari pundak kanan pembalut di silangkan dari punggung ketiak kiri, selanjutnya dari ketiak kiri ke depan dan ke atas pundak kiri. Dari pundak kiri disilangkan lagi ke ketiak kanan lalu ke pundak kiri. Demikian seterusnya dan akhirnya dengan sebuah peniti di kaitkan di ujung pembalut pada bagian bawahnya. Bentuk ini akan mengekstensikan bahu dan meminimalkan besarnya tumpang tindih fragmen fraktur.
(http://www.bedahtkv.com/indek.php?/e-Education/Toraks/Trauma-Toraks-II-Kelainan-Spesifik.html
2. Imobilisasi bayi dan informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama ekstrmitas atas untuk mencegah komplikasi. (Aston, 1983: 66)
3. Bayi tetap di berika ASI yang dapat di lakukan dengan berbaring.

K. Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula
1) Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat pembentukan kalus.
2) Lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi pergelangan siku 900.
3) Umumnya dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus telah terjadi.

READ MORE - Bayi dengan Fraktur Klavicula

Febris (Demam)

Fibris (Demam):

A. Definsi
Demam (badan panas) ialah kenaikan suhu tubuh di atas normal (37ºC aksila; 37,2-37,5ºC rektal) (Markum, 1981).

B. Dasar
Demam adalah sebab tersering bagi orang tua untuk membawa anak ke dokter, suatu hal yang darurat. Orang tua pada umumnya mengira bahwa lebih tinggi suhu badan lebih berat penyakitnya, yang sebetulnya tidak benar.

Suhu di daerah dubur (temperatur rektal) paling mendekati suhu tubuh sebenarnya (core body temperature). Suhu di daerah mulut atau ketiak (aksila) sekitar 0,5 sampai 0,8 derajat lebih rendah dari suhu rectal, dengan catatan setelah pengukuran selama minimal 1 menit. Tidak dianjurkan mengukur (menebak) suhu tubuh berdasarkan perabaan tangan (tanpa menggunakan termometer).

Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit melepaskan “zat penyebab demam (pirogen endogen)” yang selanjutnya memicu produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian meningkatkan nilai ambang temperature dan terjadilah demam. Selama demam, hipotalamus cermat mengendalikan kenaikan suhu sehingga suhu tubuh jarang sekali melebihi 41ºC.

C. Dampak Demam
1. Dampak Positif
Beberapa bukti penelitian “in-vitro” (tidak dilakukan langsung terhadap tubuh manusia) menunjukkan fungsi pertahan tubuh manusia bekerja baik pada temperature demam, dibandingkan suhu normal. Pirogen endogen lainnya akan “mengundang’ lebih banyak leukosit dan meningkatkan aktifitas mereka dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Demam juga memicu pertambahan jumlah leukosit serta meningkatkan produksi/fungsi interferon (zat yang membantu leukosit memerangi mikroorganisme).

2. Dampak Negatif
a. Kemungkinan dehidrasi (kekurangan cairan tubuh). Ketika mengalami demam, terjadi peningkatan penguapan cairan tubuh sehingga anak bisa kekurangan cairan.
b. Kekurangan oksigen. Saat demam, nak dengan penyakit paru-paru atau penyakit jantung-kelainan pembuluh darah bisa mengalami kekurangan oksigen sehingga panyakit paru-paru atau kelainan jantungnya semakin berat.
c. Demam di atas 42ºC bisa menyebabkan kerusakan neurologis (saraf), meskipun sangat jarang terjadi.
d. Anak di bawah usia 5 tahun (balita), terutama pada umur di antara 6 bulan sampai 3 tahun, berada dalam resiko kejang demam (febrile convulsion), khususnya pada temperature rectal di atas 40ºC. kejang demam biasanya hilang dengan sendirinya, dan tidak menyebabkan gangguan neurologis (kerusakan saraf).

D. Penatalaksanaan Demam
1. Pengobatan dengan Antipiretik
Mekanisme Kerja
Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) lainnya adalah antipiretik yang efektif. Bekerja dengan cara menghambat produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior (yang meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen).

a. Parasetamol
Parasetamol adalah obat pilihan pada anak-anak, dosisnya sebesar 10-15 mg/kg/kali. Parasetamol dikonjugasikan di hati menjadi turunan sulfat dan glukoronida, tetapi ada sebagian kecil dimetabolisme membentuk intermediet aril yang hepatotoksik (menjadi racun untuk hati) jika jumlah zat hepatotoksik ini melebihi kapasitas hati unutk memetabolismenya dengan glutation atau sulfidril lainnya (lebih dari 150 mg/kg). Maka sebaiknya tablet 500 mg tidak diberikan pada anak-anak (misalnya pemberian 3 kali tablet 500 mg dapat membahayakan bayi dengan berat badan di bawah 10 kg). Kemasan berupa sirup 60 ml lebih aman.

b. Aspirin
Merupakan antipiretik yang efektif namun penggunaannya pada nak dapat menimbulkan efek samping yang serius. Aspirin bersifat iritatif terhadap lambung sehingga meningkatkan resiko ulkus (luka) lambung, perdarahan, hingga perforasi (kebocoran akibat terbentuknya lubang di dinding lambung). Aspirin juga dapat menghambat aktifitas trombosit (berfungsi dalam pembekuan darah) sehingga dapat memicu resiko perdarahan. Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti meningkatkan resiko Syndrom Reye, sebuah penyakit yang jarang (insidennya sampai tahun 1980 sebesar 1-2 per 100 ribu anak per tahun), yang ditandai dengan kerusakan hati dan ginjal. Oleh karena itu, tidak dianjurkan untuk anak berusia < 16 tahun.

c. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Jenis OAINS yang paling sering digunakan pada anak adalah ibuprofen. Dosis sebesar 5-10 mg/kg/kali mempunyai efektifitas antipiretik yang setara dengan aspirin atau parasetamol. Sama halnya dengan aspirin dan OAINS lainnya, ibuprofen bisa menyebabkan ulkus lambung, perdarahan, dan perforasi meskipun komplikasi ini jarang pada nak-anak. Ibuprofen juga tidak direkomendasikan untuk anak demam yang mengalami diare dengan atau tanpa muntah.

2. Terapi Suportif
a. Upaya Suportif yang Direkomendasikan
1) Tingkatkan asupan cairan (ASI, susu, air, kuah sup, atau jus buah)
2) Hindari makanan berlemak atau yang sulit dicerna karena demam menurunkan aktivitas lambung.
3) Kenakan pakaian tipis dalam ruangan yang baik ventilasi udaranya.
4) Mengompres anak dengan air hangat. Umumnya mengompres dapat menurunkan demamnya dalam 30-45 menit.
b. Upaya Suportif yang Tidak Direkomendasikan
1) Mengompres dengan alkohol
2) Melepaskan pakaian anak

Jika nilai-ambang hipotalamus sudah direndahlan terlebih dahulu dengan obat, melepaskan pakaian anak atau mengompresnya dengan air dingin justru akan membuatnya menggigil (dan tidak nyaman), sebagai upaya tubuh dalam menjaga temperatur pusat berada pada nilai-ambang yang telah disesuaikan. Selain itu alkohol dapat pula diserap melalui kulit, masuk ke dalam peredaran darah, dan adanya resiko toksisitas.

READ MORE - Febris (Demam)

Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibu hamil memiliki kebutuhan makanan yang berbeda dengan ibu yang tidak hamil, karena ada janin yang tumbuh dirahimnya. Kebutuhan makanan dilihat bukan hanya dalam porsi tetapi harus ditentukan pada mutu zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi (Derek, 2005). Untuk pertumbuhan maupun aktivitas janin memerlukan makanan yang disalurkan melalui plasenta. Untuk itu ibu hamil harus mendapat gizi yang cukup untuk dirinya sendiri maupun bagi janinnya. Maka bagi ibu hamil, kualitas maupun jumlah makanan yang biasanya cukup untuk kesehatannya harus ditambah dengan zat-zat gizi dan energi agar pertumbuhan janin berjalan dengan baik. Selama hamil ibu akan mengalami banyak perubahan dalam tubuhnya agar siap membesarkan janin yang dikandungnya, memudahkan kelahiran, dan untuk memproduksi ASI bagi bayi yang akan dilahirkannya (Francin, 2005).
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya, antara lain : anemia, perdarahan dan berat badan ibu tidak bertambah secara normal, kurang gizi juga dapat mempengaruhi proses persalinan dimana dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, premature, perdarahan setelah
persalinan, kurang gizi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, cacat bawaan dan berat janin bayi lahir rendah (Zulhaida, 2005).
WHO melaporkan bahwa setengah ibu hamil mengalami anemia, secara global 55% dimana secara bermakna trimester III lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan trimester I dan II. Masalah ini disebabkan kurangnya defesiensi zat besi dengan defisiensi zat gizi lainnya (Mc Carthy dan Maine, 1992).
Di negara yang berkembang termasuk Indonesia masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan penyebab kematian wanita. Tidak dapat dipungkiri lagi dari masa kehamilan menjadi saat yang paling berbahaya bagi wanita dalam hidupnya (Nurn, 2002).
Di Indonesia prevalensi anemia tahun 1970-an, wanita hamil sekitar 46,5-70% pada Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 dengan angka anemia ibu hamil sebesar 63,5% sedangkan data SKRT turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%, tahun 2001, didapatkan anemia zat gizi pada ibu hamil mencapai 40,1%, banyak faktor yang terkait dengan status anemia ibu hamil yaitu status sosial ekonomi, serta perolehan tablet zat besi (Fe) (Pasaribu, 2006).
Di Sumatera Utara tahun 2001 terdapat 77,9% ibu hamil yang tidak memenuhi asupan gizi yang benar terutama dalam mengkonsumsi zat besi (Fe), sehingga menyebabkan ibu menderita anemia (Amiruddin, 2007).
Selain itu di daerah pedesaan banyak dijumpai ibu hamil dengan malnutrisi atau kekurangan gizi sekitar 33%. Secara umum penyebab kekurangan gizi pada ibu hamil ini adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi yang dianjurkan. Jarak kehamilan dan persalinan yang berdekatan dengan ibu hamil dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sehingga menyebabkan ibu tidak mengerti cara pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan si ibu selama kehamilannya (Depkes RI, 2002). Dari data yang didapatkan di Kantor Dinas Kesehatan Sibolga jumlah ibu hamil selama tahun 2008 sebanyak 2224 orang orang dan ibu hamil yang mengalami anemia sebanyak 325 orang.
Berdasarkan hasil survey, data yang didapatkan bahwa jumlah ibu hamil di Kelurahan Aek Muara Pinang pada bulan Maret-Juni sebanyak 40 orang yang mengalami anemia 15 orang (26,7%) mengalami anemia.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetahui “Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan Aek Muara Pinang Sibolga Selatan Tahun 2008”.

READ MORE - Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan

Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Katarak merupakan masalah nasional yang perlu ditanggulangi. katarak dapat menyebabkan penurunan aktivitas dimana katarak merupakan penyebab umum kehilangan pandangan secara bertahap. Berdasarkan peneletian tahun 1989-1999, lebih dari separuh (54%) kebutuhan disebabkan katarak (Bougman, 2000).
Katarak merupakan kelainan mata yang terjadi akibat adanya perubahan lensa yang jernih dan tembus cahaya, sehingga keruh. Akibatnya mengalami gangguan penglihatan karena obyek menjadi kabur. Ganguan penglihatan yang terjadi tidak secara spontan. Melainkan secara perlahan dan dapat menimbulkan kebutaan. Meski tidak menular, namun katarak dapat terjadi di kedua mata secara bersama (Rahmi, 2008).
Menurut data organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) dapat 50 juta kebutaan di dunia akibat katarak dan yang paling banyak adalah mereka yang tinggal di negara miskin dan berkembang yaitu Asia dan Afrika. Penduduk yang tinggal dinegara berkembanag beresiko 10 kali lipat mengalami kebutaan dibandingkan penduduk negara maju. Sedangkan menurut Institute Kesehatan Nasional atau National Institute of Health (NIH) di negara maju seperti Amerika Serikat terdapat 4 juta orang beresiko menjadi buta karena proses kemunduran mascular (titik kuning retina) yang berhubungan dengan faktor usia sehingga pada akhirnya menyebabkan kebutaan, sebagai perbandingan di Banglades angka kebutaan mencapai 1%, di India 0,1 -0,3%.
Tingkat kebutaan yang diakibatkan katarak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 1,5% sedangkan dalam catatan WHO, tingkat kebutaan di Indonesia berada diurutan ketiga di dunia yaitu sebesar 1,47%. Tingginya katarak di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografis yang berada di daerah garis khatulistiwa sehingga berdasarkan penelitan menilai resiko 15 tahun lebih cepat terkena katarak dibanding penduduk di Eropa (Rahmi,2008).
Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya yaitu dengan tindakan operasi. Katarak merupakan penyakit degenaratif namun saat ini katarak juga telah ditemukan pada usia muda (35-40 tahun). Selama ini katarak dijumpai pada orang yang berusia diatas 55 tahun sehingga sering diremehkan kaum muda. Hal ini disebabkan kurangnya asupan Gizi dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh (Irawan, 2008).
Kebutaan yang terjadi akibat katarak akan terus meningkat karena penderita katarak tidak menyadarinya, daya penglihatan baru terpengaruh setalah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun dan menyadari penyakitnya setelah memasuki stadium kritis. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai gejala katarak. Salah satu penyebab tingginya kasus kebutaan yang diakibatkan oleh katarak karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata.
Dari data yang diperoleh dipoliklinik mata RSU Dr. F.L Tobing Sibolga pada tahun 2008/2009 penderita katarak berjumlah 72 orang, yang telah dioperasi berjumlah 27 orang sedangkan yang tidak dioperasi 45 orang dikarenakan oleh faktor ekonomi (RSU F.L Tobing Sibolga)
Berdasarkan hasil survey yang didapatkan dari dokumentasi dan arsip Lurah Aek Manis Sibolga bahwa jumlah KK 1139 dan yang menderita katarak 34 orang (Profil Kelurahan Aek Manis, 2009).
Dari uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui “Bagaimana Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan Aek Manis Kota Sibolga tahun 2009 “

READ MORE - Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan

Gambaran Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang PAP Smear Di Kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker leher rahim merupakan jenis penyakit kanker yang paling banyak diderita wanita diatas usia 18 tahun. Kanker leher rahim ini menduduki urutan nomor dua penyakit kanker didunia bahkan sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia di diagnosa menderita kanker leher rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahun (Depkes RI, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2010 kanker leher rahim menjadi penyebab utama mortalitas diseluruh dunia dan pada tahun 2030 diperkirakan terjadi kasus kanker baru sebanyak 20 hingga 26 juta jiwa dan 13 hingga 17 juta jiwa meninggal akibat kanker leher rahim. Peningkatan angka kejadian kanker diperkirakan sebesar 1% per tahun. Pada tahun 2008 disampaikan dalam world cancer report bahwa terjadi 12 juta jiwa pasien yang baru didiagnosis kanker leher rahim.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar sepertiga kanker dapat disembuhkan jika didiagnosis dan ditangani pada stadium dini, untuk itu perlunya skrining kanker seperti melakukan papsmear untuk mendeteksi kelainan sel-sel pada leher rahim (Nofa, 2003).
Kini pap smear telah dikenal sebagai suatu pemeriksaan yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk mendeteksi kelainan sel-sel leher rahim. Semakin dini sel-sel abnormal terdeteksi semakin rendah resiko seseorang menderita kanker leher rahim (Wim De Jong, 2004).
Sekitar 80% kasus kanker leher rahim terjadi pada wanita yang hidup berkembang. Di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker leher rahim per 100.000 penduduk. Kanker leher rahim adalah kematian nomor satu yang sering terjadi pada wanita Indonesia. Setiap wanita tanpa memandang usia dan latar belakang beresiko terkena kanker leher rahim.
Tingginya kasus di negara berkembang ini disebabkan terbatasnya akses screening dan pengobatan. Masih banyak wanita dinegara berkembang, termasuk Indonesia kurang mendapat informasi dan pelayanan terhadap penyakit kanker leher rahim. Ini disebabkan karena tingkat ekonomi rendah dan tingkat pengetahuan wanita yang kurang tentang papsmear (Meutia, 2008).
Kanker leher rahim disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV). Menurut Bambang (2008) mengatakan kaum lelaki berperan sangat bersar dalam penularan HPV. Laki-laki yang suka berganti-ganti pasangan beresiko besar menularkan virus Papiloma dari pasangannya yang menderita kanker leher rahim ke pasangannya yang baru (Andreas, 2008).
Pada umumnya penderita Ca serviks adalah umur 30-60 tahun tapi sangat rentan terjadi pada wanita usia 35-55 tahun. Saat ini usia remaja juga beresiko terkena kanker leher rahim, ini disebabkan karena remaja mulai berhubungan seksual pada usia dibawah 18 tahun serta sering berganti pasangan, ini akan beresiko tinggi teerkena infeksi virus HPV. Semua wanita yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah aktif secara seksual harus melakukan papanicolaou (papsmear). Semakin dini sel-sel abnormal dideteksi semakin rendah resiko wanita menderita kanker leher rahim (Bobak, 2004).
Berdasarkan data rekam medik yang dilakukan oleh penulis, diperoleh jumlah Wanita Usia Subur (WUS) pada bulan Januari sampai Desember 2008 di Kelurahan Aek Muara Pinang 108 orang, yang melakukan pap smear sebanyak 47 orang, sedangkan yang tidak melakukan papsmear 61 orang.
Dari uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan wanita usia subur (WUS) tentang pap semar di Kelurahan Aek Muara Pinang Tahun 2009.

READ MORE - Gambaran Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang PAP Smear Di Kelurahan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Balita Dalam Pemanfaatan Posyandu Di Desa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau individu agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Posyandu merupakan salah satu bentuk kesehatan bersumber daya manusia guna memberdayakan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.1 Menurut data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2010 Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 34 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu (AKI) mencapai kisaran 228/100.0000 kelahiran hidup 2. Adapun penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain terdiri dari perdarahan, infeksi dan eklampsia3, data tersebut menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir, rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya pada masa persalinan dan segera sesudahnya, serta perilaku (baik yang bersifat preventif maupun kuratif) ibu hamil dan keluarga serta masyarakat yang bersifat negatif bagi perkembangan kehamilan sehat, persalinan yang aman dan perkembangan dini anak 4.
Upaya yang dilakukan baik yang bersifat preventif maupun kuratif adalah posyandu yang merupakan tempat atau media yang paling dekat dengan masyarakat dalam pemantauan gizi pada balita. Masyarakat secara langsung dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan status gizi balitanya. Oleh karena itu dalam rangka menurunkan angka kematian anak adalah pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat seperti pos pelayanan terpadu (posyandu), penanggulangan kurang energi protein, pendidikan gizi, penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit melalui survilans dan imunisasi. Upaya menggerakkan masyarakat dalam keterpaduan ini digunakan pendekatan Pos pelayanan terpadu ini merupakan wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat5. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu merupakan proses keadaan ketika individu, keluarga maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan keluarga atau kesehatan masyarakat lingkungannya. Namun berbagai hambatan dalam memelihara kesehatan diri dan keluarganya perlu mendapatkan perhatian 1.
Sebagai indikator pencapaian dalam program Posyandu yang yang kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar, kerjasama lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Pada masa krisis ekonomi keberadaanya kurang mengembirakan, hal ini ditandai dengan rendahnya cakupan kegiatan Posyandu. Cakupan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu adalah Jumlah Balita yang ditimbang di Posyandu (D) dibagi dengan jumlah balita yang ada (S) di wilayah kerja Posyandu kemudian dikali 100%. Persentase D/S disini, menggambarkan berapa besar jumlah partisipasi masyarakat di dareah tersebut yang telah tercapai. Cakupan D/S dalam kegiatan Posyandu di Indonesia tahun 2008 85%, Jawa Barat salah satu provinsi yang memiliki cakupan rendah yaitu 79% masih dibawah target Dinas Kesehatan sebesar 90%. 6
Menurut laporan hasil kegiatan tahunan program KIA-KB kesehatan Puskesmas Singaparna tahun 2009, pencapaian target D/S (jumlah bayi dan anak Balita yang datang dan ditimbang di Posyandu dibanding dengan semua bayi dan anak Balita yang ada) sebesar 67,34%. Adapun cakupan per desa yakni desa Cikunir mencapai 81.93%, Cikadongdong 70,82%, Singasari 45.03%, Singaparna 47,59%, Sukamulya 83.49%, Ciparay 59.70%, Suka asih 93.26 dan Singajaya 63.93%. 7
Kunjungan ibu balita ke Posyandu erat kaitannya dengan perilaku kesehatan, perilaku kesehatan hakikatnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan ibu dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan balitanya. Kesehatan seseorang dipengaruhi atau terbentuk dari beberapa faktor. Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).7
Melihat paparan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu balita dalam pemanfaatkan posyandu di Desa Singaparna Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010.

READ MORE - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Balita Dalam Pemanfaatan Posyandu Di Desa

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah. (Depkes RI, 2007)
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan. Upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang optimal adalah tingkat kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat dicapai suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus diusahakan peningkatannya secara terus-menerus. (UU Kes. No. 23, 1992)
Program kesehatan ibu dan anak yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan AKI dan AKB. Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan program kesehatan ibu dan anak yang bertujuan untuk memanfaatkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien. (Depkes RI, 2008)
Badan Pusat Statistik mengestimasikan Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007 di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan AKB tahun 2002-2003 sebesar 35per 1.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2008)
Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 Angka Kematian Bayi sedikitnya mencapai 38 per 1.000 kelahiran hidup dari 1.000 kelahiran di Jawa Barat, sementara itu, di Negara-negara Asia lainnya, dari 1.000 kelahiran yang meningggal di bawah 20 bayi. Ini membuktikan bahwa angka kematian bayi saat dilahirkan di wilayah Jawa Barat tergolong tinggi. (Dinkes Jabar, 2009)
Sedangkan di Kabupaten Majalengka pada tahun 2008 jumlah kematian bayi mencapai 385 dari 18.873 bayi yaitu sebesar 21 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Majalengka, 2009)

READ MORE - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I

BAB I
PENDAHUALUAN

1.1 Latar belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Undang-undang kesehatan No.25 tahun 1992).
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendidikan pemeliharaan kesehatan (promotif), pencegahan secara menyeluruh, terarah, dan berkesinambungan (Undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992).
Pelayanan kesehatan diperkirakan dapat menurunkan angka kematian ibu sampai 20% namun dengan sistem rujukan yang efektif, angka kematian dapat ditekan sampai 80%. Menurut UNICEF 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan. Dengan demikian maka upaya peningkatan derajat kesehatan ibu mendapat perhatian serius (Sastro ASmoro, 2000).
Pelayanan kesehatan tersebut merupakan bagian integral dari pelayanan dasar yang terjangkau oleh seluruh rakyat. Didalamnya termasuk pelayanan kesehatan ibu yang berupaya agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinannya dengan selamat. Upaya dapat tercapai bila dalam memberikan pelayanannya bermutu dan berkesinambungan atau komprehensif.
Pengelolaan program KIA pada prinsipnya bertujuan menetapkan peningkatan jangkauan serta mutu pemeriksaan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pemeriksaan KIA dewasa ini diutamakan pada keinginan pokok yaitu peningkatan pemeriksaan antenatal di semua fasilitas pemeriksaan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Di Kabupaten Majalengka yaitu cakupan ibu hamil yang memeriksakan kehamilanya ke Puskesmas untuk pertama kalinya (K1) pada tahun 2007 adalah 14,68 % dari target 100 % dan cakupan ANC lengkapnya (K4) sebanyak 12,53 % sedangkan target cakupan adalah 95% ( Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2007).
Di Puskesmas Kadipaten cakupan ibu hamil yang memeriksakan kehamilanya ke puskesmas untuk pertama kalinya ( K1) pada tahun 2007 yaitu sebanyak 92,15 %. dari target 100%. Sedangakan cakupan ANC lengkapnya atau (K4) sebanyak 79,74 % dari target 95% ( Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2007)
Dengan memperhatikan kejadian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimeseter I di Puskesmas Kadipaten Kecamatan Kadipaten Kabupaten Majalengka Tahun 2008.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalahnya adalah “Belum Diketahuinya Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008 ”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
b. Diketahuinya hubungan pendapatan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada Trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008
c. Diketahuinya hubungan pendidikan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
d. Diketahuinya hubungan jarak dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada Trimester I di Puskesmas Kadipaten tahun 2008.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas
Diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilanya Pada Trimester I dapat dijadikan pedoman dalam memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil diwilayah kerjanya khususnya di bagian KIA, memberikan pendidikan kesehatan untuk kunjungan ANC dalam menurunkan angka morbilitas dan moralitas pada wanita hamil.
1.4.2 Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi pada perpustakaan Program Studi Kebidanan YPIB Majalengka serta dapat dikembangkan lebih luas dalam penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk menambah wawasan dalam hal mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilanya Pada Trimester I serta menjadi suatu kesempatan yang berharga bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikanya ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa kuliah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I yang terdiri dari faktor pendapatan, pendidikan dan jarak yang dilakukan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kadipaten Kabupaten Majalengka tahun 2008 dengan populasi yaitu ibu hamil yang berkunjung pada trimester I.

READ MORE - Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I
tes