Gambaran Karakteristik Ibu Hamil dengan Hidramnion di Rumah Sakit


KTI SKRIPSI
GAMBARAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN HIDRAMNION DI RUMAH SAKIT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Hidramnion pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah besar di Negara berkembang termasuk Indonesia. Cairan ketuban paling banyak dihasilkan oleh proses urinasi atau produksi air seni janin. Si jabang bayi minum air ketuban dalam jumlah yang seimbang dengan air seni yang dihasilkannya. Volume air ketuban tidak persis dari waktu ke waktu. Volume ini mengalami dari puncak di umur kehamilan 33 minggu, yakni sekitar 1 – 1,5 liter yang berangsur berkurang mendekati kehamilan cukup bulan (40 minggu) (Rachmuddin, 2006).
Menurut salah satu jurnal yang diterbitkan dalam Pubmed, insiden terjadinya hidramnion adalah 0,4% dan berkaitan dengan prematur, kehamilan kembar, diabetes dan kelainan pada janin. Berdasarkan penelitian, yang diterbitkan oleh British Medical Journal hidramnion akut dapat diatasi dengan cara parasintensis uteri (rahim) (Manuaba, 2008).
Menurut WHO angka kejadian hidramnion berkisar 1,1 – 2,8% dari seluruh kehamilan disebabkan oleh komplikasi pada kehamilan dan persalinan dan 8 – 18% dengan kelainan janin. Biggio dan kawan-kawan di University Of Alabama melaporkan insidensi kelebihan air ketuban 1% diantara lebih dari 36.000 kehamilan. Sampai sekarang penyebab hidramnion masih belum jelas, banyak kasus hidramnion berhubungan dengan kelainan janin (Rachmuddin, 2006).
Dalam penelitian oleh Hill dan kawan-kawan dari Maya Clinic lebih dari 9000 persen pasien prenatal menjalani evaluasi USG rutin menjelang awal trimester III insidensi hidramnion yaitu 0,1% dari seluruh kehamilan dengan kelebihan air ketuban ringan atau kantung yang berkurang 8-11 cm dan 80% cairan yang berlebihan hidramnion sedang 12-15 cm terdapat pada 15% sedangkan yang berat 16 cm terdapat 5% atau yang sering dijumpai hidramnion pada kongential animaly sebesar 17,7-29%. (Dr. Hilmansyah).
Di Bandung ditemukan hampir 65% dinyatakan hidramnion. Damata dan koleganya melaporkan bahwa 105 wanita yang diteliti mengalami kelebihan air ketuban, sedangkan di Rumah Sakit Martha Friska Medan ditemukan frekuensi 20% dan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung 4-6% (Rachmuddin, 2006).
Hidramnion juga dapat berkembang mendadak bila terjadi peningkatan air ketuban dalam waktu 14 hari. Hidramnion juga menimbulkan gejala pada ibu hamil yang meliputi dispnea (sesak napas), kaki tungkai bawah membengkak dan perut membesar dan tampak mengilat dan ini terjadi dalam waktu yang sedikit / yang tidak lama dan diperlukan tindakan untuk meringankan ibu hamil. (Manuaba, 2008).
Oleh karena angka kejadian hidramnion ibu dan janin yang cukup tinggi maka ibu hamil dengan kelebihan air ketuban lebih sering dipantau sehinga dapat diambil sikap untuk melakukan obeservasi dan penanganan yang tepat.
Hasil survey awal tanggal 18-02-2010 yang dilakukan di Rekam ibu yang mengalami kelebihan air ketuban sebanyak 35 orang yakni tahun 2007 sebanyak 10 orang, tahun 2008 sebanyak 11 orang, tahun 2009 sebanyak 14 orang.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Karakteristik Ibu Hamil dengan Hidramnion di Rumah Sakit”.

1.2    Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam Penelitian ini adalah "Bagaimanakah Gambaran Karakteristik Ibu Hamil Dengan Hidramnion di Rumah Sakit”

1.3    Tujuan Penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui Karakteristik ibu hamil dengan hidramnion di Rumah Sakit .
1.3.2    Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui distribusi ibu hamil dengan hidramnion berdasarkan umur di Rumah Sakit.
2.    Untuk mengetahui distribusi ibu hamil dengan hidramnion berdasarkan paritas di Rumah Sakit.
3.    Untuk mengetahui distribusi ibu hamil dengan hidramnion berdasarkan usia kehamilan di Rumah
4.    Untuk mengetahui distribusi ibu hamil dengan hidramnion berdasarkan faktor penyebab di Rumah Sakit.

1.4    Manfaat Penelitian
1.4.1    Bagi Pihak Rumah Sakit
Bagi pihak Rumah Sakit dapat menjadi bahan masukan dan informasi dalam meningkatkan pelayanan berdasarkan kebidanan khususnya yang berhubungan dengan kasus hidramnion.
1.4.2    Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan perbandingan dengan penelitian selanjutnya dan sebagai bahan informasi dan bahan bacaan di perpustakaan Akademi tentang kelebihan air ketuban.
1.4.3    Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hidramnion.
silahkan download KTI SKRIPSI  
GAMBARAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN HIDRAMNION DI RUMAH SAKIT
READ MORE - Gambaran Karakteristik Ibu Hamil dengan Hidramnion di Rumah Sakit

Efektivitas dalam Penanganan Nyeri Dismenorea Non Farmakologis pada Remaja Putri Akper

KTI SKRIPSI
EFEKTIVITAS DALAM PENANGANAN NYERI DISMENOREA NON FARMAKOLOGIS PADA REMAJA PUTRI AKPER

Dismenorea atau nyeri haid mungkin suatu gejala yang sering menyebabkan wanita-wanita muda pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan, karena gangguan ini sifatnya subjektif. Berat atau intensitasnya sukar dinilai, walaupun frekuensi dismenorea cukup tinggi dan penyakit ini sudah lama dikenal namun sampai sekarang patogenesisnya belum dapat dipecahkan dengan memuaskan.
Hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak diperut bawah sebelum dan selama haid dan sering kali rasa mual, maka istilah dismenorea hanya dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau ciri hidupnya sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari.
Tidak ada angka pasti mengenai jumlah penderita dismenorea di Indonesia, namun di Surabaya didapatkan angka 1,07%hingga 1,31% dari jumlah penderita dismenorea yang dating bagian kebidanan (www.google.com).
Banyak cara untuk menghilangkan atau menurunkan nyeri, baik secara farmakologis misalnya obat-obatan analgesik ataupun menghilangkan cara dengan intervensi keperawatan yang bersifat non farmakologis dan independen (www.google.com).
Manajemen nyeri non farmakologis lebih aman digunakan karena tidak menimbulkan efek samping yang seperti obat-obatan, karena terapi non farmakologis menggunakan proses fisiologis. Oleh karena itu, untuk mengatasi nyeri tingkat ringan atau sedang lebih baik menggunakan manajemen nyeri non farmakologis (www.google.com)
Salah satu intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri adalah pengalihan perhatian, dimana teknik ini dengan memfokuskan diri kepada lingkungan. Lingkungan yang sangat tenang dan sedikit membangkitkan input sensori. Perhatian harus cukup kuat untuk melibatkan seluruh perhatian yang berarti yang digunakan yaitu teknik nafas dalam dan terapi musik. Musik dapat membuat menjadi rileks, sehingga hanya perlu menggunakan obat-obatan yang lebih sedikit mengingat pentingnya hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitasnya dalam penanganan nyeri (dismenorea) non farmakologis pada remaja putri.

Dismenorea (nyeri haid) adalah suatu gejala yang paling sering menyebabkan wanita – wanita mengalami rasa tidak enak diperut bawah sebelum dan selama haid dan sering kali rasa mual sehingga menyebabkan mereka pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan. Tidak ada angka pasti sehingga mengenai jumlah penderita dismenorea di Indonesia namun di Surabaya didapatkan angka 1,07% hingga 1,31%. Dari jumlah penderita Dismenorea yang datang bagian kebidanan. Cara menghilangkan atau menurunkan nyeri yaitu secara farmakologis misalnya obat –obatan analgesik dan secara non farmakologis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Cara Yang Efektivitas Dalam Penanganan nyeri Dismenorea Non Farmakologis berdasarkan pemberian teknik nafas dalam dan pemberian terapi musik, serta membandingkan intensitas nyeri haid Dismenorea dengan menggunakan kedua teknik tersebut. Disemenorea dibagi atas dua bagian yaitu : Dismenorea primer dan dismenorea sekunder. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi langsung kelapangan dengan jumlah populasi dari sampel sebanyak 24 responden. Hasil penelitian ini ditemukan berdasarkan teknik nafas dalam baik sebanyak 8 responden (67%), cukup sebanyak 4 responden (33%), sedangkan yang kurang tidak ada, kemudian berdasarkan terapi musik baik sebanyak 7 responden (58%), cukup sebanyak 5 responden (42%) dan kurang tidak ada. berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan bagi responden agar dapat lebih meningkatkan pengetahuan tentang teknik nafas dalam dan terapi musik dalam mengatasi nyeri haid.
Kata Kunci    : Keefektivitas Penanganan Nyeri Dismenorea Non Farmakologis
Daftar Pustaka    : 7 Referensi (2005 – 2009).

silahkan download KTI SKRIPSI  
EFEKTIVITAS DALAM PENANGANAN NYERI DISMENOREA NON FARMAKOLOGIS PADA REMAJA PUTRI AKPER
READ MORE - Efektivitas dalam Penanganan Nyeri Dismenorea Non Farmakologis pada Remaja Putri Akper

Dampak Prilaku Remaja terhadap Penggunaan Minuman Keras

KTI SKRIPSI
DAMPAK PRILAKU REMAJA TERHADAP PENGGUNAAN MINUMAN KERAS

 ABSTRAK

Miras merupakan singkatan dari minuman keras, dimana minuman keras adalah jenis minuman yang mengandung alkohol, tidak peduli berapa kadar alkohol didalamnya, pemakaian miras dapat menimbulkan gangguan organik (GMO) yaitu gangguan fungsi berpikir, perasaan dan perilaku. Miras dikonsumsi dari berbagai umur dan yang mayoritas adalah kalangan remaja, dimana mereka tidak mengetahui dampak atau akibat yang akan terjadi dalam kehidupan mereka kemudian hari. Dan telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak prilaku remaja terhadap penggunaan minuman keras pada mahasiswa Akper pada hari. penelitian ini bersifat deskriptif dengan populasi penelitian ini adalah keseluruhan mahasiswa Akper dengan jumlah mahasiswa 150 orang, dengan sampel keseluruhan mahasiswa yang berjumlah 55 responden. Dengan memberikan kuesioner kepada 85 responden Akper untuk mengetahui dampak prilaku remaja terhadap penggunaan minuman keras. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa yang pernah meminum minuman yang keras sebanyak 55 responden (64,7%) dan berdasarkan kesehatan fisik yang tidak mengalami gangguan kesehatan fisik sebanyak 33 responden (60%) dari 55 responden, dan berdasarkan prestasi belajar yang tidak mengalami gangguan prestasi belajar sebanyak 31 responden (56,4%) dari 55 responden, dan berdasarkan keamanan dan ketertiban asrama sebanyak 39 responden (70,9%) dari 55 responden. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan kepada Direktris, Dosen-Dosen beserta Staff dan ibu / bapak asrama Kabupaten, diharapkan untuk memberikan arahaan dan pengawasan terhadap mahasiwa.
Kata Kunci    : Dampak Prilaku Remaja Terhadap Penggunaan Minuman Keras
Dafar Pustaka    : 12 Referensi (2004 – 2010).

Modernisasi yang dikatakan sebagai tonggak awal kemajuan zaman telah memberikan pengaruh dan dampak kemanusiaan yang luar biasa pada abad kedua puluh ini. Modernisasi yang membawa dampak perubahan yang fisik mental dalam berbagai bidang dan nilai kehidupan, yang tentunya akan memberi konsekuensi dan pengaruh bagi manusia sebagai komponen dalam kehidupan. Pada dasarnya modernisasi merupakan kemajuan teknologi yang mengakibatkan perubahan yang cukup kompleks, bahwasanya kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan moderisasi merupakan faktor sosial ekonomi baru yang juga akan memberikan dampak pengaruh dalam bidang kesehatan. ( Hawari 2003)
    Bahwa faktor sosial ekonomi yang ada di dalam masyarakat merupakan pemicu bagi individu untuk memunculkan perilaku dan pengalaman yang tidak sehat diantaranya adalah angka kelahiran rendah, ketidak stabilan dalam rumah tangga, kekerasan anak, orang tua perokok, orang tua peminum, askes kesehatan yang sulit, polusi lingkungan . perokok berat, peminum berat, penyalahgunaan minuman keras dan narkoba oleh remaja. (Putra 2007)
    Salah satu dampak modernisasi dari faktor sosial ekonomi baru ini cukup nyata di tengah masyarakat kita adalah penyalahgunaan minuman keras pada kalangan remaja. Bila keadaan ini dibiasakan maka bencana yang akan terjadi, remaja yang telah keracunan  alkohol atau minuman keras adalah remaja yang tidak efektif bagi kehidupan sosialnya. Minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol yang apabila dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus dapat merugikan dan membahayakan jasmani, rohani maupun bagi kepentingan perilaku dan cara berfikir kejiwaan sehingga akibat lebih lanjut akan mempengaruhi kehidupan keluarga dan hubungan dengan masyarakat sekitarnya. (Wresniwiro 1996)
    Dan masalah-masalah yang saat ini berkembang dikalangan remaja diantaranya penyebaran narkoba, penyebaran penyakit kelamin, kelamin dini serta ancaman HIV/AIDS. Yang juga mencemaskan 90% remaja sudah begitu akrab dengan rokok yang merupakan pintu masuk bagi narkoba dan MIRAS “ Minuman Keras” berdasarkan dari dinas kesehatan kota bogor penggunaan narkoba suntikan diperkirakan sudah mencapai 1.460 orang. Pada tahun 2005 diketahui telah mengatasi dan menyelesaikan secara hukum 149 kasus penyalah gunaan narkoba, 97 kasus narkotika dan 52 kasus psikotropika. Dan tahun 2007 tercatat 911 orang penggunaan narkoba yang terkontaminasi HIV/AIDS dan korban yang meninggal mencapai 24 orang. (Apriansyah 2008)
    Yang mengemukakan bahwa sebagian besar korban penyalah gunaan narkotika dan minuman keras adalah remaja terbagi dalam golongan umur 14-16 tahun (47,7%), golongan umur 17-20 tahun (51,3) dan golongan umur 21-24 tahun (31%). Dan berdasarkan hasil survey dinas penelitian dan pengembangan (DISLITBANG) polri memperlihatkan bahwa pemakaian narkotika dan minuman keras di Indonesia terbanyak dari golongan pelajar baik SLTP,SLTA maupun mahasiswa yang jumlahnya mencapai 70% dan sedangkan yang lulusan SD hanya 30%. (Purno mowardani & Koentjoro,2000)
    Dan alasan untuk memakai minuman keras adalah kenikamatan, tekanan kelompok pergaulan, rasa ingin tahu, jenuh/bosan, untuk mengatasi masalah tertentu, paksaan, ikut mode, prestise/gensi dan kesenian/inspirasi. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui Dampak Prilaku Remaja Terhadap Penggunaan Minuman Keras Pada.
silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
DAMPAK PRILAKU REMAJA TERHADAP PENGGUNAAN MINUMAN KERAS
READ MORE - Dampak Prilaku Remaja terhadap Penggunaan Minuman Keras

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Persalinan Kala 1 pada Ibu Bersalin di Klinik

KTI SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PERSALINAN KALA 1 PADA IBU BERSALIN DI KLINIK

Abstrak
Dalam menghadapi perjalanan persalinan kala 1 ibu mengalami kecemasan di mana menurut Mc Nerney and Grenberg menyebutkan kecemasan merupakan sebagai reaksi fisik, mental, kimiawi dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang. Berdasarkan penelitian dari Iis Riawati Simamora (2008) di Medan lebih dari 50% ibu bersalin pada ibu primigravida mengalami kecemasan sedang sebesar 65,6% dan pada multigravida dengan kecemasan ringan 81,3%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kecemasan Persalinan Kala 1 pada Ibu Bersalin. Penelitian ini menggunakan desain Analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 41 orang. Pengambilan sampel dengan teknik sampling jenuh (Total Sampling). Dilakukan di Klinik. Analisis data dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu bersalin mengalami kecemasan ringan dengan jumlah 25 orang (61%), dari faktor pengetahuan memiliki pengetahuan baik yaitu 39 orang (95,1%), dari faktor kondisi psikologi memiliki kecemasan ringan yaitu 30 orang (73,2%), dari faktor kondisi fisiologi memiliki kecemasan ringan yaitu 26 orang (63,4%) dan hubungan faktor kondisi fisiologi dengan kecemasan persalinan kala 1 didapatkan adanya hubungan yang signifikan dengan nilai p=0.036 < 0,05. Dari hasil penilitian ini diketahui faktor pengetahuan dan kondisi psikologi tidak terdapat hubungan tetapi faktor kondisi fisiologi ada hubungan dengan kecemasan persalinan kala 1 Disarankan pada petugas kesehatan memperhatikan dari segi kondisi psikologis dan kondisi fisiologis pada ibu bersalin sehingga tidak akan menimbulkan rasa kecemasan pada ibu bersalin pada kala I.
Kata kunci    : pengetahuan,kondisi psikologis,kondisi fisiologis kecemasan,persalinan kala I


silahkan download KTI SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PERSALINAN KALA 1 PADA IBU BERSALIN DI KLINIK
READ MORE - Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Persalinan Kala 1 pada Ibu Bersalin di Klinik

Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penimbangan di Posyandu

KTI SKRIPSI
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENIMBANGAN DI POSYANDU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur maka pembangunan dilakukan disegala bidang. Pembangunan di bidang kesehatan yang merupakan bagian interaksi dari pembangunan nasional yang secara keseluruhanya perlu digalakkan pula. Hal ini telah digariskan dalam sistem kesehatan nasional antara lain disebutkan bahwa sebagai tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau individu agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan pembangunan nasional. Pembangunan di bidang kesehatan mempunyai arti yang penting dalam kehidupan nasional, khususnya didalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut erat kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan SDM sebagai modal dasar pembangunan nasional (Digitized by USU Digital Library, 2003).
Dalam beberapa tahu terakhir AKB telah banyak mengalami penurunan yang cukup menggembirakan meskipun tahun 2001 meningkat kembali sebagai dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1971 Angka Kematian Bayi (AKB) diperkirakan  sebesar 152 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 117 pada tahun 1980, dan turun lagi menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Berdasarkan Estimasi Susenas tahun 2002-2003 Angka Kematian Bayi (AKB) berturut-turut pada tahun 2001 sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1000 kelahiran hidup (Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (Estimasi  SUPAS 1995) dan Estimasi Susenas 2002-2003).
Meskipun sudah banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia yang antara lain ditandai dengan berhasil diturunkan Angka Kematian Ibu dari 334 per 100.000 kelahiran hidup (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2003), Angka Kematian Bayi dari 46 per 1000 kelahiran hidup (1997) menjadi 35 per 1000 kelahiran hidup (2002). Dan Angka Kematian Balita dari 58 per 1000 kelahiran hidup menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup (2003), namun pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan. Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, kematian ibu melahirkan, bayi, dan balita di Indonesia adalah yang tertinggi. Depkes menargetkan pada tahun 2009 AKI menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2005).
Dalam upaya untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak balita, angka kelahiran agar terwujud keluarga kecil bahagia dan sejahtera, pelaksanaannya tidak saja melalui program-program kesehatan, melainkan berhubungan erat dengan program KB. Upaya menggerakkan masyarakat dalam keterpaduan ini digunakan pendekatan melalui pembangunan kesehatan masyarakat desa, yang pelaksanaanya secara operasional dibentuklah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Posyandu ini merupakan wadah titik temu antara pelayanan professional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat terutama dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan angka kelahiran nasional (Digitized by USU Digital Library, 2003).
Data Kabupaten pada tahun cakupan penimbangan balita yaitu yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 81,99%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 97,56%. Kabupaten menargetkan cakupan penimbangan balita di posyandu mencapai 90% (Dinkes Kabupaten ).
Data Puskesmas Kecamatan pada tahun 2007, cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 76%. Untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 86%. Puskesmas Kecamatan menargetkan penimbangan balita di posyandu mencapai 100% (Puskesmas Kec. ).
Di Kecamatan Kabupaten ada 6 desa yaitu desa Adirejo, Sidodadi, Gondangrejo, Siraman,  dan Tulus Rejo. Di desa Adirejo cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 86% di desa Sidodadi mencapai 78%, di desa Gondangrejo mencapai 83%, di desa Siraman mencapai 40%, di desa mencapai 66%  dan di desa Tulusrejo mencapai 79%. Dari keenam desa tersebut desa Siraman yang cakupan penimbangan balita di posyandu yang paling rendah. Desa Siraman Kecamatan menargetkan penimbangan di Posyandu mencapai 70%.
 Di desa Siraman terdapat empat posyandu yang tersebar di empat lingkungan yaitu Posyandu Nusa Indah, Ngudi Bahagia, dan Eko Purnomo. Jumlah bidan ada 1 orang dan jumlah kader 22 orang, di setiap posyandu terdapat 5 kader. Berdasarkan survey di lokasi diperoleh data dari tiga tahun terakhir (2005-2007) yaitu pada tahun 2005: cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran D/S di Posyandu Nusa Indah mencapai 49%, Posyandu Ngudi Bahagia mencapai 57%, Posyandu mencapai 29%, dan di Posyandu Eko Purnomo mencapai 44%, pada tahun 2006: cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran D/S di Posyandu Nusa Indah mencapai 50%, Posyandu Ngudi Bahagia mencapai 47%, Posyandu mencapai 32%, dan di Posyandu Eko Purnomo mencapai 42%, dan pada tahun 2007: cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran D/S di Posyandu Nusa Indah mencapai 49%, Posyandu Ngudi Bahagia mencapai 51%, Posyandu mencapai 30%, dan di Posyandu Eko Purnomo mencapai 39%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa dari keempat posyandu tersebut cakupan penimbangan balita yang paling rendah terdapat pada Posyandu
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Posyandu Kecamatan untuk mengetahui gambaran rendahnya cakupan penimbangan balita.

B.    Rumusan Masalah
Dari data yang ada, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Gambaran Rendahnya Cakupan Penimbangan Balita di Posyandu di Desa Siraman Kec. 

C.    Ruang Lingkup

1.    Sifat Penelitian    :    Deskriptif
2.    Objek Penelitian    :     Gambaran Rendahnya Cakupan Penimbangan Balita di Posyandu Kecamatan
3.    Subjek Penelitian    :    Semua ibu yang mempunyai balita untuk ditimbang di wilayah kerja Posyandu Kecamatan
4.    Lokasi Penelitian    :    Di Posyandu Kecamatan Kabupaten
5.    Waktu Penelitian     :    Bulan Mei .
6.    Alasan Penelitian    :     Rendahnya cakupan penimbangan balita di Posyandu Kecamatan Kabupaten

D.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui gambaran rendahnya cakupan penimbangan balita di Posyandu Kecamatan Kabupaten
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui gambaran ibu yang tidak membawa balitanya untuk ditimbang di Posyandu berdasarkan karakteristik ibu (umur, paritas, pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi).
b.    Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu yang tidak membawa balitanya untuk ditimbang di Posyandu.

E.    Manfaat Penelitian
1.    Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dalam penelitian serta sebagai bahan untuk penerapan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan.
2.    Bagi Tempat Penelitian
Sebagai masukan tentang cakupan kunjungan posyandu balita, partisipasi masyarakat terhadap kunjungan ke posyandu dan sebagai masukan untuk perencanaan kegiatan dimasa mendatang.
3.    Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian-penelitian di tempat lain.
4.    Bagi Ibu yang Mempunyai Balita
Menambah pengetahuan ibu tentang manfaat posyandu dan sebagai masukan dan evaluasi peran serta ibu dalam kegiatan pelayanan posyandu.

silahkan download KTI SKRIPSI
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENIMBANGAN DI POSYANDU
READ MORE - Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penimbangan di Posyandu

Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa



KTI SKRIPSI
POLA MAKAN DAN PENYAPIHAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari upaya pembangunan manusia yang seutuhnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi balita, dan pembinaan balita agar setiap balita yang dilahirkan akan tumbuh sehat dan berkembang menjadi manusia Indonesia yang tangguh dan berkualitas (Depkes RI, 1999).
Kesehatan merupakan salah satu aspek dari kehidupan masyarakat, mutu hidup, produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta terganggunya perkembangan mental adalah akibat langsung atau tidak langsung dari masalah gizi kurang. Terjadinya kerawanan gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan (Winarno, 1990).
Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. Setelah itu ASI hanya berfungsi sebagai sumber protein vitamin dan mineral utama untuk bayi yang mendapat makanan tambahan yang tertumpu pada beras atau makanan lainnya.
Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa .
ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping ASI (Evi, 1992).
Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi umur 0 -2 bulan yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 21,2%; makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berumur 3-5 bulan, yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 60,2%; lumat/lembik 66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes - BPS, 1992).
Sementara itu, hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu memberi makanan pralaktal (susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian kolostrum 62,6%. Selain itu, hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994 menunjukkan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif di pedesaan pada 1991 sebesar 54,9% dan menurun menjadi 48% pada 1994. Sedangkan di perkotaan pada 1991 sebesar 46,7% dan menurun menjadi 45,7% pada 1994 (Budiarso, 1995).
Data Unicef (2006), jumlah anak balita penderita gizi buruk di Indonesia sudah mencapai 2,3 juta jiwa naik sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Kasus gizi buruk di Sumatera Utara berdasarkan survei nasional Badan Pusat Statistik 2005 sebanyak 126.994 bayi bawah lima tahun (balita) atau berumur 0-59 bulan. Sumatera utara menempati urutan ke delapan di antara provinsi lain Provinsi tertinggi kasus gizi buruk terdapat di Gorontalo 15,41
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa .
persen, Maluku 15.19 persen, Papua 13,75 persen, Nusa Tenggara Timur 13,04 persen, Kalimantan Barat 11,50 persen, Kalimantan Timur 11,39 persen, dan Sumatera Barat 10,81 persen (Andy, 2007).
Penelitian Edmond K., di Ghana terhadap 10.947 bayi dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah Pediatrics, 22% kematian bayi barn lahir (dalam satu bulan pertama) dapat dicegah dengan bayi menyusu ibunya dalam satu jam pertama kelahiran. Sedangkan menyusu pada hari pertama lahir dapat menekan angka kematian bayi hingga 16% (Pusat Data Redaksi, 2006).
Penelitian di Langkat pada keluarga tidak miskin terdapat 63,64 % anak balita berusia 19-24 bulan tidak diberi ASI lagi. Sedangkan pada keluarga miskin ditemukan terdapat 100 % anak usia 12-24 bulan tidak mendapat ASI lagi dan ada sebanyak 27.78 % anak balita anak berusia 18-24 bulan hanya mengkonsumsi PASI (teh manis, air tajin,air putih) saja tanpa makanan tambahan (Sri, 2007).
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa anak-anak Indonesia yang lahir dengan keadaan gizi baik akan bertahan hingga usia 6 bulan, setelah usia 6 bulan, keadaan gizi mulai menurun. Hal ini terjadi karena semakin meningkat pula kebutuhan gizinya, sementara produksi ASI semakin menurun dan pemberian MP¬ASI belum sesuai dengan kecukupan gizi bayi. Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan kekurangan energi protein (KEP) pada bayi atau anak (Ali, 1999).
Penyebab gangguan pertumbuhan pada anak usia muda, antara lain dalam penggunaan ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang tepat (kurang memenuhi zat gizi baik macam maupun jumlahnya). Tingginya kasus
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa.
diare dan penyakit infeksi sehingga memperburuk kondisi status gizi dan kesehatan bayi/anak (Hadju, 1997).
Menginjak usia batita usia batita (12-36 bulan) para orang tua seringkali khawatir mengenai menurunnya napsu makan dan pertumbuhan fisik anak mereka. Berbeda dengan masa bayi 0-12 bulan yang pertumbuhan fisiknya sangat cepat, dengan kenaikan berat badan di tahun pertama yang mencapai 3 kali dari berat saat lahir. Biasanya pertumbuhan fisik anak melambat di usia 12 bulan dan melambatnya pertumbuhan fisik ini membuat kebutuhan kalori mereka tidak setinggi sebelumnya. Dengan demikian batita membutuhkan makanan lebih sedikit dibandingkan mat bayi, oleh sebab itu napsu makan mereka menurun. Jika anak sehat dan aktif, dan Ibu memberikannya makanan yang bernutrisi, maka tidak ada masalah pada anak, namun sebaliknya jika Ibu tidak memberi makanan yang bernutirsi maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan terhambat (Jocelyn, 2007). '
Sehubungan dengan fenomena diatas permasalahan yang juga ditemui pada masyarakat Desa  adalah adanya status gizi anak yang tidak baik (gizi buruk dan 'wrong), penyapihan yang terlalu dini (di bawah 2 tahun), pemberian makanan padat terlalu dini dan kualitas makanan tambahan yang diberikan rendah (Formulir PSG di posayandu, 2007).
Mengacu pada permasalahan tersebut diatas penulis ingin meneliti lebih tentang Pola Makan dan Penyapihan Serta Hubungannya dengan Status Gizi Batita di Desa

1.2. Permasalahan
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa .
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimana pola makan dan penyapihan serta hubungannya dengan status gizi batita, di Desa P?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola makan dan penyapihan serta hubungannya dengan status gizi anak batita di Desa
1.3.2. Tujuan Khusus 
1. Untuk mengetahui pola makan batita.   
2.    Untuk mengetahui pola penyapihan batita.
3.    Untuk mengetahui gambaran status gizi batita.
4.    Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan status gizi batita.
5.    Untuk mengetahui hubungan pola penyapihan dengan status gizi batita.

1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan bagi daerah yang diteliti khususnya bagi perencana pogram baik di tingkat Kabupaten maupun di tingkat Kecamatan dalam melakukan perbaikan gizi dan bagi
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa.
petugas kesehatan di Desa Palipi, diharapkan dapat memberi bantuan informasi dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan.

silahkan download KTI SKRIPSI
POLA MAKAN DAN PENYAPIHAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA
READ MORE - Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Stimulasi Perkembangan terhadap Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 3-5 Tahun



KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG STIMULASI PERKEMBANGAN TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK USIA 3-5 TAHUN
ABSTRAK
Masa kanak-kanak awal merupakan masa pemenuhan aktivitas mandiri anak dengan pergerakannya. Hal ini didukung oleh perkembangan motorik kasar. Perkembangan motorik kasar tidak hanya didukung melalui pemenuhan status gizi saja akan tetapi didukung oleh stimulasi yang diberikan Ibu memiliki peran yang besar dalam pemberian stimulasi. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan dan sikap ibu yang baik dalam pemberian stimulasi perkembangan anak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian stimulasi perkembangan anak dengan perkembangan motorik kasar anak usia 3-5 tahun. Penelitian dilakukan di Kelurahan pada tahun 2010 dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 32 orang ibu yang memilki anak usia 3-5 tahun. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji Spearmen. Dari hasil penelitian didapatkan nilai signifikansi (p)=0,782 (p>0,05) untuk hubungan pengetahuan ibu terhadap perkembangan motorik kasar anak dan didapatkan nilai p=0,569 (p>0,05) untuk hubungan sikap ibu terhadap perkembangan motorik kasar anak sehingga dinyatakan tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi perkembangan dengan perkembangan motorik kasar anak usia 3-5 tahun. Baiknya pengetahuan dan sikap ibu tidak mendukung baiknya perkembangan motorik kasar anak usia 3¬5 tahun. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi hubungan faktor lain seperti status kesehatan anak, kecukupan energi, atau aktivitas anak dengan perkembangan motorik kasar anak.
Kata kunci :ibu, pengetahuan, sikap, perkembangan motorik kasar, stimulasi, anak usia 3-5 tahun.

silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG STIMULASI PERKEMBANGAN TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR ANAK USIA 3-5 TAHUN
READ MORE - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Stimulasi Perkembangan terhadap Perkembangan Motorik Kasar Anak Usia 3-5 Tahun

Pengaruh Promosi Kesehatan tentang Sumber Vitamin A terhadap Pengetahuan dan Sikap dalam Mengkonsumsi Sumber Vitamin A




KTI SKRIPSI
PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG SUMBER VITAMIN A TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM MENGKONSUMSI SUMBER VITAMIN A

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 adalah untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan iptek serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Peningkatan kualitas manusia berkaitan dengan banyak faktor dan faktor gizi mempunyai peranan yang sangat strategis. Gizi baik merupakan hasil dari konsumsi makanan dengan kecukupan yang dianjurkan dan keseimbangan antar zat-zat gizi tersebut. Jika keseimbangan ini tidak tercapai, maka akan timbul berbagai kelainan gizi. Anak-anak yang mengalami kurang gizi berat berada pada risiko yang tinggi dari perkembangan kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A. Selain anak-anak, kelompok yang juga rentan defisiensi gizi adalah wanita hamil yang selanjutnya akan membahayakan janin yang dikandungnya (www.gizi.net, 2004 ).
Menurut UNICEF ( 1997 ), bhawa kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar satu juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat ( Xeropthalmia ) ¼ diantaranya menjadi buta dan 60% dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan. Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam risiko besar mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan angka kematian sebesar 30% antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A (Myrnawati, 1997 ).
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5% dari jumlah penduduk atau setara dengan tiga juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%) ( www.gizi.net, 2004 ).
Kekurangan vitamin A ( defisiensi vitamin A ) yang mengakibatkan kebutaan pada anak-anak  telah dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kebutaan karena kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak terdapat di daerah-daerah. Dari hasil survei karakterisasi defisiensi dan xeropthalmia yang dilaksanakan pada tahun 1976-1979 ternyata di Indonesia 60.000 anak pra sekolah terancam korneal xeropthalmia, lebih dari satu juta orang menderita buta. Penyebab utama kebutaan yang terjadi pada anak-anak adalah karena kekurangan vitamin A. Untuk Sumatera Barat penderita kekurangan vitamin A merupakan nomor lima terbesar di Indonesia setelah Aceh, Kalimantan Tengah, Bengkulu dan Sumatera Utara (Soehadi,1994 ).
Menurut kriteria WHO bila lebih dari 5% masyarakat mempunyai nilai serum vitamin A di bawah 10 μg/dl maka kekurangan vitamin A masih merupakan masalah . Studi prevalensi defisiensi vitamin  A dan gizi lainnya di wilayah Indonesia timur yang dilakukan pada tahun 1991 menunjukkan bahwa kadar serum vitamin A dalam darah di bawah  10 μg/dl  di provinsi  Timor-Timur adalah 14,7%, NTT 9,1%, Maluku 12,4% ( Myrnawati, 1997 ).
Selama krisis ekonomi melanda Indonesia insiden kurang vitamin A (KVA) pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan meningkat. Beberapa data menunjukkan hampir 10 juta balita menderita KVA sub klinis, 60.000 diantaranya disertai dengan bercak bitot yang terancam buta. Selain itu, dibeberapa provinsi di Indonesia ditemukan kasus-kasus baru KVA yang terjadi pada balita bergizi buruk di provinsi NTB misalnya pada tahun 2000 ditemukan beberapa kasus kekurangan vitamin A tingkat berat ( X3 ).   Kondisi ini berbeda dengan survai nasional xeropthalmia tahun 1978-1980 yang tidak banyak menemukan kasus tersebut, terlebih lagi pada tahun 1994 pemerintah Indonesia memperoleh piagam Helen Keller Award, karena dinilai berhasil menurunkan angka xeropthalmia dari 1,34 % atau sekitar tiga kali lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia ( WHO ) pada tahun 1978 menjadi 0,33% pada tahun 1992 ( www.suarapembarharuan.com, 2004  ).   
Survai di beberapa daerah di Indonesia oleh Oey ( 1967 ) didapatkan prevalensi xeropthalmia 7%. Survai serupa di tiga provinsi yang dilakukan oleh Darwin karyadi, dkk (1990), Jawa Barat, Sulsel dan Kalimantan Barat didapatkan prevalensi bitot spot rata-rata 0,2% dan xerosis kornea 0%. Khusus di Bogor diperiksa kadar vitamin A dalam serum didapatkan kadar di bawah 10 μg/dl (Deficient) 1,2% ; antara 10-19 μg/dl (Low) 38% dan  20 μg/dl (Acceptable) 67% ( Agus, 1994 ).
Pada tahun 1978-1980 Depkes, HKI dan rumah sakit mata cicendo, Bandung mengadakan survai ihwal gangguan mata akibat kekurangan vitamin A. Didapat hasil bahwa prevalensi xeropthalmia status X1B sebanyak 1,2 % dan status X2 dan X3 sebanyak 9,8 per 10.000. Dari sini tergambar bahwa problem ini tergolong masalah . ( www.gizi.net, 2004 )
Dari data terakhir WHO Mei 2003, ditemukan bahwa hingga kini masih ditemukan tiga provinsi yang paling kekurangan vitamin A. Ketiga provinsi tersebut adalah provinsi Sulsel yang memiliki tingkat prevalensi hingga 2,9%, selanjutnya provinsi Maluku setinggi 0,8% dan Sulawesi Utara mencapai prevalensi sebesar  0,6% ( www.gizi.net, 2004 )
 Dalam program perbaikan gizi, khususnya kegiatan UPGK di Posyandu, diadakan penimbangan berat badan balita bulanan. Kegiatan ini berfokus pada pertumbuhan berat badan yang lebih bersifat memantau kesehatan umum. Oleh karena KVA menghambat pertumbuhan anak terutama melalui terhambatnya pertumbuhan tinggi badan, maka sebaiknya kegiatan pemantauan pada penanggulangan KVA adalah pemantauan tinggi badan. Upaya ini biayanya lebih sedikit dibandingkan pengukuran berat badan.
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penanggulangan kekurangan vitamin A, dilakukan kegiatan SOMAVITA ( Social Marketing Vitamin A ) berupa kampanye peningkatan cakupan penggunaan kapsul vitamin A dan peningkatan konsumsi makanan kaya vitamin A. ( Purjanto, 1994).

B.    Rumusan Masalah
Hasil penelitian HKI tentang kecukupan gizi balita tahun 1999 memperlihatkan 50% atau hampir 10 juta balita Indonesia tidak mendapatkan makanan yang cukup kandungan vitamin A, sehingga berisiko untuk kekurangan vitamin A.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan dalam menurunkan angka kejadian KVA, baik bersifat promotif-preventif maupun kuratif-rehabilitatif. Bentuk promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan tersebut adalah melalui kegiatan SOMAVITA ( Social Marketing Vitamin A ).
Strategi yang dilakukan umumnya berjangka pendek dan menengah, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam penanggulangan KVA yang berkelanjutan dan berdampak secara jangka panjang, diantaranya adalah memberikan pendidikan gizi melalui jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar.  Sehingga dengan pengetahuan yang diberikan pada usia sekolah dasar dapat diperkenalkan secara dini makanan kaya vitamin A dan mengkonsumsi makanan tersebut, selanjutnya angka kekurangan vitamin A dapat dieleminir.
Dalam Penelitian ini perumusan masalahnya adalah bagaimana pengaruh promosi kesehatan dengan menggunakan media poster tentang sumber Vitamin A terhadap  pengetahuan dan sikap dalam mengkonsumsi sumber Vitamin A pada anak sekolah dasar.

C.    Pertanyaan Penelitian
Sejauh mana pengaruh promosi kesehatan dengan menggunakan media poster dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap dalam mengkonsumsi Vitamin A pada anak sekolah dasar di SD 031 Kabupaten ?

D.    Tujuan Penelitian
1.    Tujuan umum :
Untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan tentang sumber Vitamin A terhadap  pengetahuan dan sikap dalam mengkonsumsi sumber Vitamin A pada anak sekolah dasar di SD 031  Kabupaten
2.    Tujuan khusus :
a.    Untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan dengan menggunakan media poster tentang sumber Vitamin A terhadap pengetahuan dalam mengkonsumsi sumber Vitamin A pada anak sekolah dasar di SD 031 Kabupaten
b.    Untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan dengan menggunakan media poster tentang sumber Vitamin A terhadap sikap dalam mengkonsumsi sumber Vitamin A pada anak sekolah dasar di SD 031 Kabupaten 

E.    Manfaat Penelitian
1.    Sebagai bahan informasi bagi pihak yang terkait terutama pihak kesehatan ( Dinas Kesehatan dan Puskesmas ) dalam upaya penanggulangan kekurangan Vitamin A, khususnya pada anak sekolah dasar.
2.    Hasil penelitian ini diharapkan menambah ilmu pengetahuan serta diharapkan dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.
3.    Bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman berharga dalam rangka mengembangkan wawasan keilmuan dalam penelitian di lapangan.

silahkan download KTI SKRIPSI  
PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG SUMBER VITAMIN A TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM MENGKONSUMSI SUMBER VITAMIN A
READ MORE - Pengaruh Promosi Kesehatan tentang Sumber Vitamin A terhadap Pengetahuan dan Sikap dalam Mengkonsumsi Sumber Vitamin A

Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut pada Balita di Puskesmas


KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DENGAN KESEMBUHAN DIARE AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS

ABSTRAK


Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu manajemen untuk balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan, serta dilaksanakan secara terpadu. Salah satu masalah kesehatan pada balita yang biasanya ditangani dengan MTBS ini adalah masalah diare. Diare merupakan keadaan di mana seseorang menderita air berkali-kali, tinjanya encer dan kadang-kadang muntah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) diare dengan kesembuhan diare akut pada balita. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan “cross sectional”. Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik accidental sampling. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan Uji Kai Kuadrat. Hasil penelitian yang diperoleh dari 78 responden, dapat dilihat bahwa hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,002 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara klasifikasi penyakit dengan kesembuhan diare akut pada balita di Puskesmas. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,002 berarti P Value < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara identifikasi tindakan dengan kesembuhan diare akut pada balita. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,029 berarti P Value < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengobatan dengan kesembuhan diare akut pada balita. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,031 berarti P Value < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara identifikasi tindakan dengan kesembuhan diare akut pada balita. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai P Value = 0,004 berarti P Value < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara identifikasi tindakan dengan kesembuhan diare akut pada balita.
Kata Kunci    : MTBS, Diare Akut, Balita

silahkan download KTI SKRIPSI  
HUBUNGAN PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DENGAN KESEMBUHAN DIARE AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS
READ MORE - Hubungan Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare dengan Kesembuhan Diare Akut pada Balita di Puskesmas

Hubungan Pengetahuan Ibu Balita tentang Higiene Makanan dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa


KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BALITA TENTANG HIGIENE MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, utamanya penyakit infeksi (Notoatmodjo S, 2003 : 2004). Salah satu penykit infeksi pada balita adalah diare dan ISPA (Soetjiningsih, 2005 : 155). Diare lebih dominan menyerang balita karena daya tahan tubuh balita yang masih lemah sehingga balita sangat rentan terhadap penyebaran virus penyebab diare (http://G//dkk%20tangani%20diare.htm. Diakses tanggal 27 Mei 2009). Sampai saat ini penyakit diare merupakan masalah kesehatan di Indonesia, baik ditinjau dari angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkannya (Depkes RI, 2007 : 1).
Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada balita. Menurut Parashar tahun 2003, di dunia terdapat 6 juta balita yang meninggal tiap tahunnya karena penyakit diare. Dimana sebagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007 : 10). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, di Indonesia penyakit diare menempati urutan kedua dari penyakit infeksi (www.compas.com. Diakses tanggal 26 Mei 2009). Angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2006 adalah 43,2% dari semua golongan umur dan secara proporsional 55% terjadi pada golongan balita (Depkes RI, 2007 : 1). Hasil survei pemerintah Jawa Timur terdapat 346.207 balita menderita diare dan 4 1,33% balita yang baru bisa ditangani (DinKes Jatim, 2006). Tahun 2007 di Jawa Timur diare merupakan penyakit dengan frekuensi KLB terbanyak kelima (DinKes Jatim, 2008). Sedangkan di Kabupaten tahun 2007 diare merupakan penyakit dengan frekuensi KLB terbanyak ketiga (Profil Kesehatan tahun 2008). Berdasarkan penetapan Departemen Kesehatan angka kesakitan diare tahun 2008 adalah 10% dan angka kejadian diare pada balita di Kabupaten tahun 2008 adalah 11,99%. Dari laporan diare tahun 2008 di Puskesmas Trucuk jumlah balita yang diare sebanyak 285 (15,93%) dari 1.789 balita. Dan di Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk pada tahun 2008 jumlah balita yang diare adalah 56 (12,25%) dari 457 balita. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya diare adalah faktor lingkungan, praktik penyapihan yang buruk dan malnutrisi. Diare dapat menyebar melalui praktik-praktik yang tidak higienis seperti menyiapkan makanan dengan tangan yang belum dicuci, setelah buang air besar atau membersihkan tinja seorang anak serta membiarkan seorang anak bermain di daerah dimana ada tinja yang terkontaminasi bakteri penyebab diare (Ramaiah S, 2000 : 17). Perilaku ibu dalam menjaga kebersihan dan mengolah makanan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang cara pengolahan dan penyiapan makanan yang sehat dan bersih (http://G//penyebab_diare.htm. Diakses tanggal 30 Mei 2009). Pengetahuan dan kesadaran orang tua terhadap masalah kesehatan balitanya tentu sangat penting agar anak yang sedang mengalami diare tidak jatuh pada kondisi yang lebih buruk (http://www.rehidrasidantindakanpentingatasidiare.com. Diakses tanggal 01 Juni). Dampak yang ditimbulkan dari diare adalah terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi, gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik) yang secara klinis berupa pernafasan kussmaul, gangguan gizi akibat muntah dan gangguan sirkulasi darah yang dapat berupa renjatan hipovolemik (Mansjoer A, 2005 : 502). Dehidrasi dan malnutrisi adalah akibat yang paling berat dari diare, keduanya dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat jika tidak diobati dengan benar (Ramaiah S, 2000 : 23).
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian diare, pemerintah melalui Dinas Kesehatan melakukan beberapa upaya : 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas tatalaksana diare melalui pendekatan Menejemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan perkembangan Pojok Oralit, 2) Mengupayakan tatalaksana penderita diare di rumah tangga secara tepat dan benar, 3) Meningkatkan upaya pencegahan melalui kegiatan KIE, 4) Meningkatkan sanitasi lingkungan, 5) Meningkatkan kewaspadaan dini dan penanggulangan kejadian luar biasa diare (DepKes RI, 2000 : 6-7). Upaya pencegahan diare meliputi : memberikan ASI, memperbaiki makanan pendamping ASI, menggunakan air bersih yang cukup, mencuci tangan, menggunakan jamban, membuang tinja bayi dengan benar dan memberikan imunisasi campak karena pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare yang lebih berat lagi (Depkes, 2007 : 59).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan pengetahuan ibu balita tentang higiene makanan dengan kejadian diare pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten ?”

C. Tujuan Penelitian
1.    Tujuan umum
Untuk mengetahui adanya hubungan pengetahuan ibu balita tentang higiene makanan dengan kejadian diare pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten.
2.    Tujuan khusus
a.    Mengidentifikasi pengetahuan ibu balita tentang higiene makanan balita di Desa  Kecamatan Kabupaten.
b.    Mengidentifikasi kejadian diare pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten.
c.    Menganalisis hubungan pengetahuan ibu balita tentang higiene makanan dengan kejadian diare pada balita di Desa Kecamatan Kabupaten.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Sebagai pengalaman baru dalam melakukan penelitian dan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan keadaan yang ada di masyarakat.
2.    Bagi orang tua responden
Dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang higiene makanan dan diare sehingga diharapkan angka kejadian diare pada balita dapat berkurang.
3.    Bagi tenaga kesehatan
Dapat memberikan gambaran informasi tentang permasalahan yang terjadi pada balita sehingga lebih menggerakkan penyuluhan tentang higiene makanan dan penyuluhan tentang diare dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan pada balita.
4.    Bagi institusi pendidikan
Dapat dipergunakan sebagai acuan atau studi banding dalam penelitian mahasiswa selanjutnya tentang hubungan pengetahuan ibu balita tentang higiene makanan dengan kejadian diare pada balita.

silahkan download KTI SKRIPSI  
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU BALITA TENTANG HIGIENE MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA
READ MORE - Hubungan Pengetahuan Ibu Balita tentang Higiene Makanan dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa

Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Kemampuan Keluarga Menstimulasi anak Usia 0-12 Bulan


KTI SKRIPSI
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP KEMAMPUAN KELUARGA MENSTIMULASI ANAK USIA 0 – 12 BULAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan  merupakan anugrah dan amanah dari Allah Subhana Wata’ala. Anak mempunyai potensi dan kemampuan yang dahsyat  yang harus dikembangkan  agar dapat menjadi sumber daya manusia  yang handal kelak dikemudian hari. Menurut Soerdojojo. (2000) Anak mempunyai hak – hak yang salah satunya adalah hak untuk berkembang  (Developmental  Rights). Ketika anak sudah tumbuh  maka anak harus mendapatkan stimulasi – stimulasi agar bisa berkembang sesuai dengan tahap perkembanganya.
Upaya pembinaan kesejahteraan anak pada Dasawarsa Anak Indonesia kedua Tahun 1996 – 2006 diarahkan pada pembinaan  kelangsungan hidup, perkembangan  dan perlindungan dan partispasi anak dengan penekanan pada pembinaan perkembangan anak. (Depkes, 1998)
Dalam artian umum anak adalah pewaris, dan calon pengemban bangsa. Secara lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan modal sosio-ekonomi suatu bangsa. Menurut Sunarwati,(1996) Dalam artian individual, anak  bagi orang tuanya mempunyai suatu nilai khusus yang penting pula. Dalam kedua aspek tersebut, yang diharapkan adalah agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik – baiknya sehingga kelak menjadi orang dewasa  yang sehat, baik secara fisik, mental dan psikososial sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.
Tahun – tahun pertama kehidupan merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis yang merupakan masa / tahun – tahun keemasan (Golden Priod), dengan demikian sudah selayaknya dimanfaatkan secara maksimal.
Dalam ekologi anak  system mikro dan system mini (keluarga) adalah yang dekat dan penting serta mempunyai peranan  utama dalam proses perkembangan anak yang pada tahun – tahun pertama  kebutuhan dasarnya (Asuh, asah, asih)  secara totalitas  bergantung dengan lingkungan keluarga  terutama ibu yang sering berinteraksi dengan anak.
Perkembangan anak dapat dicapai secara optimal apabila orang tua terutama ibu melakukan berbagai upaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan asuh, asah, asih yang salah satunya adalah menstimulasi perkembangan anak. Stimulasi merupakan hal yang sangat penting. Anak yang sering mendapat stimulasi  yang terarah akan lebih cepat berkembang  dibandingka dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi. Namun  dalam realitanya masih banyak orang tua  yang tidak memahami  bagaimana mengasuh anak secara  efektif, menstimulasi anak untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Dari penjelasan tersebut diatas menunjukkan bahwa  kebutuhan anak akan stimulasi perkembangan sangatlah penting untuk mencapai perkembangan yang optimal. Penyuluhan kesehatan  merupakan strategi yang tepat  untuk menyiapkan dan meningkatkan  kemampuan orang tua  (terutama ibu)  dalam berperan secara aktif  dalam menstimulasi perkembangan anaknya.
Berdasarkan hasil wawancara  terhadap perawat bidan selama praktek keperawatan komunitas (Tanggal  23 November 2004 – 15 Januari 2008) di Kelurahan didapatkan bahwa penyuluhan mengenai perkembangan  anak jarang dilakukan. Demikian juga dengan ibu yang berada di Kelurahan sebagian dari mereka mengatakan bahwa penyuluhan  mengenai perkembangan anak dari petugas kesehatan tidak pernah didapatkan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh penyuluhan Kesehatan Terhadap Kemampuan Keluarga Menstimulasi Anak Usia 0 – 12 Bulan”.
    

B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas mengenai pentingnya  peran serta aktif orang tua terutama ibu  dalam hal pemberian stimulasi terhadap  optimalisasi perkembangan anak maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan  dalam bentuk pertanyaan penelitian  sebagai berikut : “Apakah ada Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Kemampuan Ibu Menstimulasi aperkembangan anak Usia 0 – 12 Bulan ?”.

C.    TUJUAN PENELITIAN
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui Pengaruh Penyuluhan Kesehatan  terhadap Kemampuan Keluarga Menstimulasi Perkembangan Anak Usia 0 – 12 Bulan.
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Peningkatan Pengetahuan Ibu mengenai Pemberian Stimulasi Perkembangan Anak
b.    Untuk mengetahui Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Peningkatan Sikap Ibu mengenai Pemberian Stimulasi Perkembangan Anak
c.    Untuk mengetahui Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Peningkatan Perilaku Ibu mengenai Pemberian Stimulasi Perkembangan Anak

D.    MANFAAT PENELITIAN
A.    Bagi ilmu pengetahuan  penelitian  diharapkan  dapat  menjadi khasana ilmu pengetahuan dan menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya dan siapa saja yang memiliki minat yang tinggi  pada ilmu  pengetahuan  terutama mengenai perkembangan anak.
B.    Bagi tempat penelitian diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan perhatian masyarakat terutama keluarga untuk menstimulasi perkembangan anaknya.
C.    Bagi Profesi keperawatan diharapkan dapat meningkatkan  pelayanan kepada masyarakat  dalam upaya preventif dan promotif
D.    Bagi penulis penelitian ini merupakan wadah untuk menuangkan ide dan buah pikiran ilmiah, merupakan pengalaman berharga untuk menambah wawasan ilmuah khususnya  dalam  metodeologi penelitian  dan perkembangan anak.         

silahkan download KTI SKRIPSI  
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP KEMAMPUAN KELUARGA MENSTIMULASI ANAK USIA 0 – 12 BULAN
READ MORE - Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Kemampuan Keluarga Menstimulasi anak Usia 0-12 Bulan

Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Polio di Puskesmas


KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI POLIO DI PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit polio merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pemerintah telah menargetkan bahwa penyakit polio sudah harus terberantas terutama di Jawa, Bali dan Sumatera. Dengan mengintensifkan imunisasi polio pada anak-anak yang berumur 2-11 bulan. Untuk mencapai maksud tersebut maka, oleh instansi yang berwenang sedang dikaji beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan yang ada terhadap program imunisasi yang sudah dilaksanakan sekarang ini. Beberapa masalah timbul di negara-negara yang sudah lama melaksanakan program imunisasi polio dengan oral vaksin. Salah satunya adalah bahwa ternyata respon imun terhadap virus vaksin polio dari anak-anak yang tinggal di daerah kumuh sangat rendah, yang mungkin disebabkan karena intervensi dari virus enterol lain non polio yang prevalensinya didaerah kumuh cukup tinggi (Momimes, 2002)
Menurut data yang ada dari kejadian-kejadian wabah yang terjadi selama ini pada kasus paralise karena poliomyelitis paling banyak menyerang anak-anak umur dibawah 3 tahun. Hasil-hasil penelitian serologis poliomyelitis dibeberapa tempat di Indonesia juga menunjukan bahwa antara 20-60% anak yang berumur kurang dari 3 tahun tidak mempunyai kekebalan sama sekali terhadap ketiga tipe virus polio (Momimes, 2002) .
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia pada tahun 2002/2003 angka kematian bayi sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. Umumnya bayi yang lahir diperkotaan mempunyai angka kematian lebih rendah dari pada yang lahir di pedesaan. Kematian bayi yang menjadi penyebab utamanya adalah infeksi oleh sebab itu dapat dicegah dengan pemberian imunisasi polio (Nasution,2008)
Jika dibandingkan dengan angka nasional maka angka kematian bayi di Sumatera Utara untuk tahun 2004, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian bayi berkisar 48 per 1000 kelahiran hidup. Pemberian imunisasi untuk tumbuh kembang anak sangat penting terutama untuk mengurangi morbilitas sebanyak 44 anak dan mortalitas sebanyak 14 anak yang tidak mendapat imunisasi polio. Dengan dilaksanakannya imunisasi maka kita harapkan dapat dicegah timbulnya penyakit-penyakit yang menimbulkan cacat dan kematian. ( Soetjiningsih, 1995).
Pada umumnya tanggung jawab untuk mengasuh anak diberikan pada orang tua khususnya ibu. Pengetahuan ibu tentang dampak anak yang tidak mendapat imunisasi polio dipengaruhi oleh faktor pendidikan, tingkat penghasilan dan kebiasaan. Sehingga dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu diharapkan adanya perubahan perilaku yang diharapkan dapat terwujud. Timbulnya kesadaran, kemampuan untuk hidup sehat disamping faktor sosial ekonomi masyarakat maupun dipihak tenaga kesehatan (Hilman, 2005).
Menurut data Depkes sampai tanggal 17 juli 2005 telah dilaporkan 291 kasus lumpuh layu ,  setelah dilakukan pemeriksaan yang di tunjuk , jumlah kasus politik polio liar berjumlah 149 anak dan telah tersebar 10 kabupaten di 4 provinsi. Di provinsi jawa barat , kasus polio liar di temukan di sukabumi  bogor , cianjur , bekasi. Di provinsi banten di temukan di lebank , serang  serta tangerang. Di jawa tengah di kabupaten demak , sedangkan di lampung di temui tanggamus dan lampung barat .
Virus polio liar bisa menybabkan lumph atau kematian . virus ini di bawa melalui kotoran manusia dan penyebab melalui air, virus polio liar ini sangat menular dan biasanya menyerang anak – anak balita . hanya sekitar 20 tahun yang lalu,  polio melumpuhkan 1000 anak setiap harinya dan hampir di setipa Negara di dunia tetapi pada tahun 1998 , gerkan anti polio dunia di canangkan .
Pada awal maret tahun 2005 , Indonesia muncul kasus polio pertama selam satu dasar warsa artinya,  reputasi bebas polio yang di sandang selama 10 tahun hilang ketika seorang berusia 20 bulan di jawa barat sangat terjankau penyakit (Pikas 2005).
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis merasa tertarik mengadakan penelitian tentang “ Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Polio di Puskesmas “.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‘’Bagaimanakah Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Polio Di Puskesmas ?’’.

C. Tujuan Penelitian
C.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi Polio di Puskesmas .
C.2. Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu balita  tentang imunisasi  Polio di Puskesmas berdasarkan Umur.
b.    Untuk mengetahui Pengetahuan ibu tentang imunisasi  polio di Puskesmas berdasarkan Pendidikan.
c.    Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang deteksi anak yang   tidak  dapat Imunisasi    Polio  di Puskesmas berdasarkan Pekerjaan.

D. Manfaat Penelitian
D.1. Bagi Ibu
Sebagai bahan masukan dan informasi kepada ibu agar lebih memahami dan lebih mengetahui Imunisasi polio di Puskesmas.
D.2. Bagi Peneliti
Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi peneliti dan juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Akademi Kebidanan.
D.3. Bagi Institusi Pendidikan
Bagi Institusi pendidikan Akbid dapat digunakan sebagai bahan bacaan diperpustakaan yang mana dapat dimanfaatkan oleh semua mahasiswa/i Akbid.

silahkan download KTI SKRIPSI  
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI POLIO DI PUSKESMAS
READ MORE - Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Polio di Puskesmas

Karakteristik Ibu Yang Melahirkan Bayi Prematur Di Rumah Sakit


KTI SKRIPSI
KARAKTERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI PREMATUR DI RUMAH SAKIT
ABSTRAK

Bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Kematian perinatal yang tinggi disebabkan oleh bayi prematur yaitu 65-75%. Di Rumah Sakit  terdapat 211 kasus persalinan prematur selama tahun 2004-2008.
Untuk mengetahui karakteristik ibu yang melahirkan bayi prematur di Rumah Sakit Tahun 2004-2008 dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi dan sampel 211 bayi. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan uji chi-square dan t-test.
Proporsi sosiodemografi tertinggi : umur 20-35 tahun 81%, suku Batak 60,7%, pendidikan tinggi 83,9%, pekerjaan ibu rumah tangga 50,2% dan berasal dari kota 87,7%. Proporsi mediko obstetri tertinggi : paritas nullipara 53,6%, riwayat kehamilan terdahulu baik 74,9%, riwayat tidak mengalami komplikasi langsung kehamilan 73% dan riwayat tidak mengalami komplikasi tidak langsung kehamilan 95,7%. Proporsi jarak kehamilan ibu, status anemia kehamilan ibu, lama rawatan ibu dan keadaan ibu sewaktu pulang tidak dapat didistribusikan karena tidak tersedia data pada kartu status. Proporsi keadaan bayi sewaktu dilahirkan lahir hidup 97,6%. Lama rawatan rata-rata bayi prematur 11,73 hari (12 hari). Proporsi keadaan bayi sewaktu pulang adalah pulang atas permintaan orangtua 35,1%. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi paritas berdasarkan riwayat komplikasi langsung kehamilan. (p= 0,07). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi keadaan bayi sewaktu pulang berdasarkan riwayat komplikasi langsung kehamilan. (p= 0,157). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi prematur berdasarkan riwayat komplikasi langsung kehamilan. (p=0,144)
Kepada pihak rumah sakit agar melengkapi pencatatan pada kartu status khususnya yang berkaitan dengan persalinan prematur, seperti jarak kehamilan ibu, status anemia kehamilan, lama rawatan ibu dan keadaan ibu sewaktu pulang. Kepada para petugas kesehatan di bagian obstetri dan ginekologi agar memberikan informasi antenatal care kepada ibu hamil yang datang berkunjung. Kepada ibu hamil yang mempunyai faktor resiko melahirkan bayi prematur seperti pernah melahirkan bayi prematur, abortus dan lahir mati sebelumnya agar memeriksakan kehamilannya kepada bidan dan ahli kandungan secara teratur.
Kata Kunci : Bayi Prematur, Karakteristik Ibu

silahkan download KTI SKRIPSI  
KARAKTERISTIK IBU YANG MELAHIRKAN BAYI PREMATUR DI RUMAH SAKIT
READ MORE - Karakteristik Ibu Yang Melahirkan Bayi Prematur Di Rumah Sakit

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ASI terhadap Pemberian PASI pada Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas



KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI TERHADAP PEMBERIAN PASI PADA BAYI 0-6 BULAN DI PUSKESMAS
 BAB I 
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Penelitian
Negara Republik Indonesia adalah negara yang memiliki tujuan nasional dan cita-cita luhur yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu dipersiapkan secara dini sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas (Muchtadi, 2002).
Pemberian ASI dari awal kelahiran sampai 4-6 bulan akan menjadikan sendi-sendi kehidupan yang terbaik baginya kelak. ASI juga menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupannya dalam cara yang paling sehat. Karena ASI adalah makanan terbaik diawal kehidupan bayi (Soetjiningsih, 1997).
Para ahli menemukan bahwa manfaat ASI akan sangat meningkat bila gizi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Peningkatan ini sesuai dengan lamanya pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI bersama-sama dengan makanan padat setelah bayi berumur 6 bulan. Melalui ASI eksklusif akan lahir generasi baru yang sehat secara mental emosional dan sosial (Soetjiningsih, 1997).
Namun, menurut para ahli saat ini banyak ibu-ibu baru yang memberikan bayi mareka PASI, tetapi mereka menghentikannya lebih awal. Hal tersebut terjadi karena banyak sekali hubungan pengetahuan ibu dengan pemberian PASI.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti pemberian ASI justru kadang terlupakan. Padahal kehilangan pengetahuan dalam pemberian ASI merupakan kehilangan yang besar, karena pemberian ASI adalah suatu pengetahuan yang berjuta-juta tahun mempunyai peran penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Pengaruh kemajuan tehnologi dan perubahan sosial budaya juga mengakibatkan ibu-ibu diperkotaan umumnya bekerja diluar rumah dan makin meningkat. Ibu-ibu golongan ini menganggap lebih praktis membeli dan memberikan susu botol daripada menyusui, semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja wanita diberbagai sektor, sehingga semakin banyak ibu harus meninggalkan bayinya sebelum berusia 4 bulan, setelah habis cuti bersalin. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan pemberian ASI eksklusif dan adanya mitos-mitos yang menyesatkan juga sering menghambat dalam pemberian ASI (Ebrahim, 1986).
Tingkat pengetahuan ibu yang kurang tentang pemberian PASI mengakibatkan kita lebih sering melihat bayi diberi susu botol dari pada disusui ibunya, bahkan kita juga sering melihat bayi yang baru berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Pemberian susu formula, makanan padat / tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu. Pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian susu formula, makanan padat / tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya (I Gde Manuaba, 1998).
Program peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif merupakan program prioritas, karena dampaknya luas terhadap status gizi dan kesehatan balita. Program prioritas ini berkaitan dengan kesepakatan global antara lain, deklarasi Incocenty (Italia) pada tahun 1990 tentang perlindungan, promosi dan dukungan terhadap penggunaan ASI, disepakati pula untuk pencapaian pemberian ASI eksklusif sebesar 80% pada tahun 2000 (Anwar, Harian Pelita, www.Depkes.co.id)
Pemberian ASI saja (ASI eksklusif) dianjurkan sampai bayi berumur 6 bulan kenyataannya di Indonesia hampir semua bayi mendapatkan ASI, namun hanya sekitar 52% ibu memberikan ASI eksklusif. Cakupan pemberian ASI eksklusif di Propinsi Lampung adalah 34,53% dari 57,208 (Laporan Tahunan Promkes tahun 2005). Cakupan pemberian ASI eksklusif di adalah 13,49% dari      2,950 (Laporan tahunan Dinkes 2004-2005. Di Puskesmas Pembantu hanya 20% dari 100 bayi yang diberikan PASI (Laporan Puskesmas Pembantu).
Berdasarkan hasil pra survey yang telah dilakukan oleh penulis di Wilayah Puskesmas Pembantu , didapatkan dari 100 bayi terdapat 20 bayi (20 %) yang tidak diberikan ASI eksklusif. Dilihat dari tingkat pendidikan ibu di wilayah Puskesmas Pembantu rata-rata pendidikan ibu SMP, sehingga ibu memberikan bermacam-macam makanan seperti susu formula, air teh, nasi lembut, pisang. 
Melihat hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan pemberian makanan atau minuman pendamping ASI pada ibu menyusui di Wilayah Puskesmas Pembantu 

1.2    Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, di Indonesia terdapat 52% ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif di Lampung; 34,53% ibu-ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif di 13,49%; ibu-ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif. Desa terdapat 20% ibu-ibu menyusui yang memberikan PASI pada usia 0-6 bulan. Dari hasil pra survey, ternyata  masih  banyak bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif di Wilayah Puskesmas Pembantu 

1.3    Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu  

1.4    Pertanyaan Penelitian
Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas 

1.5    Tujuan Penelitian
1.5.1    Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ASI terhadap pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu 
1.5.2    Tujuan Khusus
1.    Mengetahui karateristik responden yang memberikan PASI pada bayi 0 – 6 bulan (Umur, Paritas, Pendidikan, Pekerjaan, Wilayah Puskesmas Pembantu.
2.    Mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu.

1.6    Manfaat Penelitian
1.6.1    Bagi Institusi Akademi Kebidanan.
Sebagai salah satu bahan pustaka bagai peneliti selanjutnya.
1.6.2    Bagi Puskesmas Pembantu
Diharapkan akan memberi manfaat sebagai bahan masukan atau tambahan dalam memberikan pengetahuan pada ibu menyusui.
1.6.3    Bagi Ibu
Khususnya ibu menyusui diharapkan dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan ibu tentang cara pemberian PASI
1.6.4    Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan keilmuan dan pengalaman dalam memberikan Asuhan Kebidanan kepada ibu.

1.7    Ruang Lingkup Penelitian
1.7.1    Jenis  penelitian     :    Deskriptif
1.7.2    Objek penelitian     :    
    a. Variabel Terikat :     PASI
    b. Variabel Bebas    :     1. Karakteristik Responden
            2. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ASI  
                terhadap Pemberian PASI
1.7.3    Subjek Penelitian      :     Ibu menyusui yang mempunyai bayi 0-6 bulan
1.7.4    Lokasi Penelitian     :     Di Wilayah Puskesmas Pembantu
1.7.5    Waktu Penelitian     :     Januari s/d Mei 
silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN AKSEPTOR KB SUNTIK TENTANG EFEK SAMPING DEPO MEDROXYPROGESTERONE ASETAT (DMPA) DI RB
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka, Kuesioner, Lampiran)
READ MORE - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ASI terhadap Pemberian PASI pada Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas

Gambaran Pengetahuan Akseptor KB Suntik Tentang Efek Samping Depo Medroxyprogesterone Asetat (DMPA) di RB



KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN AKSEPTOR KB SUNTIK TENTANG EFEK SAMPING DEPO MEDROXYPROGESTERONE ASETAT (DMPA) DI RB
 
 Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Motherhood”. Dewasa ini, Program Keluarga Berencana (KB) sebagai pilar pertama, telah dianggap berhasil (Saifudin, 2002). Program Keluarga Berencana (KB) adalah bagian yang terpadu (Integral) dalam program Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk turut serta menciptakan kesejahteraan ekonomi, sprititual dan sosial budaya penduduk Indonesia (Dep. Kes RI, 1994).
Keluarga Berencana adalah salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan dengan jalan memberikan nasehat perkawinan, pengobatan kemandulan dan penjarangan kelahiran (Dep. Kes RI, 1994). Metode KB yang dapat digunakan terdiri dari 2 macam yaitu metode sederhana (kondom, spermiside, koitus interuptus, pantang berkala) dan metode efektif (hormonal, mekanis dan metode KB darurat) (Manuaba, 1998).
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan kaum ibu adalah KB suntik, ini disebabkan karena aman, efektif, sederhana dan murah. Cara ini mulai disukai masyarakat kita dan diperkirakan setengah juta pasangan memakai kontrasepsi suntikan untuk mencegah kehamilan (1983) (Muchtar. R, 2002). Namun demikian KB suntik juga mempunyai banyak efek samping, seperti amenorea (30%), spoting (bercak darah) dan menoragia, seperti halnya dengan kontrasepsi hormonal lainnya dan dijumpai pula keluhan mual, sakit kepala (<1-17%) (pusing), galaktorea (90%), perubahan berat badan (7-9%) (Hartanto, jones, 2005 ).
Berdasarkan data yang di peroleh dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat di Indonesia pada tahun 2003, jumlah akseptor KB suntik menduduki tingkat pertama (51,08%), dan untuk tingkat Propinsi berjumlah 337.257 peserta, sedangkan hasil survey BKKBN Kabupaten Lampung Timur (Desember 2006) jumlah PUS 184.379, akseptor KB suntik 41.538 dan untuk Kecamatan Sekampung jumlah PUS nya 11783 akseptor KB suntik 1890 dari survei akseptor KB suntik berjumlah 425 selama tiga bulan terakhir (Desember – Februari 2007) dan mempunyai keluhan yang dominan yaitu berupa gangguan haid 106 orang, perubahan BB 127 orang, sakit kepala 43 orang dan lain-lain 43 orang tidak ada keluhan 106 orang dan jumlah peserta KB aktif pada RB Do’a Ibu Sekampung Lampung Timur (Desember – Februari 2007) adalah berjumlah 510 dengan pemakaian suntik KB Depo Medroxyprogesterone Asetat (DMPA) berjumlah 371 akseptor.
silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN AKSEPTOR KB SUNTIK TENTANG EFEK SAMPING DEPO MEDROXYPROGESTERONE ASETAT (DMPA) DI RB
READ MORE - Gambaran Pengetahuan Akseptor KB Suntik Tentang Efek Samping Depo Medroxyprogesterone Asetat (DMPA) di RB
tes