Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit otoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki laki 5 : 1, dengan demikian terdapat peningkatan kejadian kehamilan dengan LES ini. Dari berbagai laporan kejadian LES ini tertinggi didapatkan di negara Cina dan Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia, RS Dr Soetomo Surabaya melaporkan 166 penderita dalam 1 tahun (Mei 2003 - April 2004). Dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES.
PATOGENESIS
Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya LES ini, interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES adalah, procainamine, hidralasin, quidine dan sulfazalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada LES ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam otoantibodi pada penderita LES. Peran antibodi antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli melaporkan kerusakan organ/sistem bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis LES tergantung dari organ/sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkapserta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis LES hendaknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang cermat sebab manifestasi LES
sangat luas, dan seringkali mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria saja maka diagnosis LES sudah dapat di tegakkan. Kriteria tersebut adalah:
PATOGENESIS
Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya LES ini, interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES adalah, procainamine, hidralasin, quidine dan sulfazalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada LES ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam otoantibodi pada penderita LES. Peran antibodi antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli melaporkan kerusakan organ/sistem bisa disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis LES tergantung dari organ/sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkapserta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis LES hendaknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang cermat sebab manifestasi LES
sangat luas, dan seringkali mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria saja maka diagnosis LES sudah dapat di tegakkan. Kriteria tersebut adalah:
- Ruam malar
- Ruam Diskoid
- Fotosensitifitas
- Ulserasi di mulut atau nasofaring
- Artritis
- Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
- Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/hari
- Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosis
- Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia
- Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau tes serologic untuk sifilis yang positip palsu
- Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif.
PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP LES
Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat LES sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka resiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas.
PENGARUH LES TERHADAP KEHAMILAN
Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan kedua keadaan diatas.
SINDROMA LUPUS ERTEMATOSUS NEONATAL (LEN)
LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La.
Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer
antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita LES dan ingin hamil.
PENATALAKSANAAN
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan yaitu:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritemtousus neonatal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obsterikus dan ahli penyakit dalam dalam merawat penderita LES yang hamil.
Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi
maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis LES yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi,dan osteoporosis.
Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah :
Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat LES sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka resiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas.
PENGARUH LES TERHADAP KEHAMILAN
Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan kedua keadaan diatas.
SINDROMA LUPUS ERTEMATOSUS NEONATAL (LEN)
LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La.
Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer
antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita LES dan ingin hamil.
PENATALAKSANAAN
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan yaitu:
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritemtousus neonatal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obsterikus dan ahli penyakit dalam dalam merawat penderita LES yang hamil.
Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi
maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis LES yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi,dan osteoporosis.
Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah :
- Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis Tinggi
- Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tingg
- Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulan
- Glomerulonefritis difus awal
- LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
- Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai dengan faktor ekstra renal lainnya
- LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Pemberian siklofosfamid pada wanita hamil tersebut tidak dianjurkan secara rutin kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat persalinan atau pembedahan maka sebaiknya penderita dipayungi dengan metil prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan.
Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.
Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.
Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita LES yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir. Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar