Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO  13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh  4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%), 72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Sedangkan penemuan penderita ISPA pada balita di Kabupaten Konawe dari tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 8.291 kasus (23,63%), 7.671 kasus (28,09%) dan 7.289 kasus (24,63%). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe tiga tahun terakhir (tahun 2006 sampai dengan tahun 2008), Puskesmas Sampara menduduki urutan kedua tertinggi ISPA dari 24 Puskesmas di Wilayah Kabupaten Konawe. Atas dasar tersebut maka penulis memilih Puskesmas Sampara sebagai lokasi penelitian (Anonim, 2008).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sampara, penemuan penderita ISPA pada balita tahun 2006 sebanyak 1.471 kasus (20,29%) dan sebanyak 415 (28,2%) kasus peneumonia. Tahun 2007 sebanyak 1.059 kasus (24,62%) dengan 258 (24,4%) kasus pneumonia. Kasus ISPA pada balita di Puskesmas Sampara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 1.149 dengan 383 (33,3%) kasus pneumonia (Anonim, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah faktor resiko kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe Tahun 2009 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Untuk mengetahui hubungan ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog

tes